Cari Blog Ini

Jumat, 28 Juni 2013

Tugas-Tugas Pendidik


Diambil dari: Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali

Oleh: Syahri Ramadhan, S.Psi


“Barang siapa yang menjalankan tugas sebagai pendidik, maka ia harus mempelajari hal besar. Oleh sebab itu, hendaklah ia memelihara tatakrama dan tugas-tugasnya".

Tugas pertama, menunjukan kasih sayang kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak sendiri. Sebagaimana sabda Rasulallah “Sesungguhnya (kasih sayang)-ku pada kalian laksana (kasih sayang) seorang ayah kepada anak-anaknya”. Bahkan jika dicermati secara mendalam, guru adalah orang tua yang sebenarnya. Sebab ayah adalah penyebab lahirnya seorang dikehidupan dunia fana ini, sedangkan seorang guru (bisa jadi) adalah penyebab seorang di kehidupan yang kekal di akhirat (surga). Oleh sebab itu, hak guru lebih di utamakan dari pada hak kedua orang tua.

Tugas kedua, meneladani perilaku Rasulallah yang tidak pernah meminta upah atas apa yang diajarkannya. Maka janganlah seorang pendidik meminta upah atas pelajaran yang diberikan kepada muridnya. Allah berfirman “Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih”. (QS. al-Insan: 9). Jikalau mereka memiliki hak untuk menerima upah (pemberian) atas mereka. Maka terimalah pemberian itu dalam bentuk dikarenakan mereka menjadi penyebab dirinya dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan menanamkan iman dan ilmu di dalam hati mereka”.

Tugas ketiga, jangan menyimpan nasehat; seperti menasehati muridnya untuk tidak melakukan perlawanan demi suatu kedudukan sebelum sang murid memang berhak memperolehnya dan melarangnya untuk mempelajari ilmu tersembunyi sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang tampak.

Tugas keempat, menasehati sang murid untuk tidak berperilaku tercela. Namun hal ini jangan dilakukan secara terang-terangan, melainkan dengan cara menunjukan kemuliaan. Seyogyanya seorang pendidik harus memiliki sifat istiqamah terlebih dahulu, baru kemudian meminta muridnya untuk ber-istiqamah pula. Jika tidak demikian, maka nasehat yang diberikan tidak berguna, sebab member teladan dengan perbuatan itu lebih kuat (pengaruhnya) dari pada dengan ucapan. (Ringkasan Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali: hal, 51-53. Jakarta: Sahara).

Namun, realitanya sekarang sebutan “guru” hanya sebatas symbol yang dilegalkan para pendidik untuk sebutan para murid mereka kepadanya. Ironisnya pada zaman yang serba canggih ini guru tidak lagi bisa memberikan tauladan kepada murid-murid mereka, mungkin tidak semuanya juga, masih ada sedikit “guru” satu dalam interval seratus yang masih bisa menjadi tauladan bagi murid-murid mereka. Walaupun demikian dunia pendidikan kita khususnya di Indonesia sangat disayangkan jika kedepannya masih seperti ini keadaannya.

Dua tahun belakangan ini tidak sedikit kita dengar maupun kita lihat di media masa atau pun mungkin ada diantara kita yang melihatnya dengan mata kepala kita sendiri kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan khususnya antara guru dengan murid. Guru tidak lagi merasa malu “menghajar” muridnya secar terang-terangan dihadapan semua siswa seperti yang kita lihat di beberapa rekaman yang diberitakan beberapa waktu yang lalu. Alasannya sepele, anak didik mereka tidak lagi mau diatur, sering cabut, merokok, tidak ikut upacara bendera, pakaiannya tidak rapi, atau keluyuran saat jam pelajaran berlangsung. Jelas, semua alasan ini ditujukan kepada anak didik, tampa ada sedikit pun para pendidik (guru) merasa bersalah atas semua ini.

Banyaknya terjadi kekerasan di dunia pendidikan menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak menemukan jawaban. Misalnya, siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Murid kah, guru kah, pemerintahkah, atau system pendidikan kita yang salah? Sebetulnya semua ini tidak perlu terjadi jika kita kembali memegang teguh kode etik yang telah disyari’atkan oleh Rasulallah sang utusan pembawa kebenaran dari yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Sebagaimana yang telah dipaparkan di awal tulisan ini Imam al-Ghazali telah menyebutkan di dalam kitabnya “Ihya’ ‘Ulumuddin” bagaimana seharusnya seorang guru beretika terhadap murid-muridnya? Jelas bahwa guru sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang baik untuk di dunia maupun kelak di kehidupan sesudah mati.

Sekarang, mari kita coba mengintrospeksi diri kita masing-masing (para guru), sudah sejauh manakah kita menganggap murid kita? Apakah hanya sebatas anak didik di dalam ruangan kelas saja? Sudahkah kita ikhlas dalam memberikan ilmu kita kepada anak didik kita? Apakah kita mendidik hanya sekedar memenuhi tugas sebagai seorang PNS atau memang kita tulus untuk mengabdi dan mengharap ridho Allah? Apakah selama ini kita hanya memberikan contoh (tauladan), ataukah kita sudah bisa menjadi contoh (tauladan yang baik) bagi para anak didik kita? Dan banyak lagi peretanyaan yang harus kita jawab, maka renungkanlah!

Jika seorang pendidik sudah bisa menjadi suri tauladan yang baik bagi para muridnya maka keharmonisan dalam proses belajar mengajar (pendidikan) akan tercipta antara seorang guru dengan muridnya. Perintah guru akan dipatuhi oleh muridnya, guru akan dihargai, dihormati dan dianjung oleh para muridnya karena kemuliaan akhlak seorang guru akan selalu lekat dihati seorang murid.

Guru yang memiliki akhlak yang mulia dan sadar bahwa dia adalah orang yang akan di contoh oleh para muridnya, tidak akan pernah sedikitpun merusak atau melanggar kode etik seorang guru. Sehingga tidak akan kita temui lagi guru yang kelayapan waktu jam dia seharusnya mengajar di dalam kelas, guru yang merokok dilingkungan sekolah padahal dia melarang para muridnya untuk merokok, guru yang “menghajar” para muridnya karena berbuat salah padahal dia melarang kekerasan, guru (perempuan) yang memakai pakaian ketat sedangkan mereka melarang para siswinya untuk tidak berpakaian ketat, guru yang egois mengatakan bila ditegur muridnya “Itu hak kami, kalian tidak usah mengatur-atur kami” padahal mereka (guru) melakukan kesalahan, tapi tidak mau menerima kebenaran dari muridnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate