Oleh : Syahri Ramadhan
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna,
salah satu kesempurnaan Islam terletak pada kitab suci al-Qur’an yang
diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman bagi seluruh
umat manusia. Allah menurunkan al-Qur’an yang tidak memiliki cela, cacat, serta
keragu-raguan dalam isinya. Kebenaran al-Qur’an relevan dengan semua zaman
sampai hari kiamat nanti.
Kebenaran al-Qur’an bersifat
mutlak, tidak ada yang bisa membantah kebenaran al-Qur’an, sebab al-Qur’an
merupakan doktrin dari Allah Swt. yang disampaikan kepada manusia. Maka semua
kebenaran wajib bersesuaian dengan al-Qur’an, sebab standarisasi kebenaran
adalah ajaran-ajaran di dalam al-Quran. Sehingga kebenaran yang diklaim manusia
jika bertentangan dengan al-Qur’an tidak bisa dikataan benar atau tertolak
kebenarannya.
Salah satu kebenaran al-Qur’an
terletak pada mukjizat-mukjizat yang terkandung Al-Qur’an. Kemukjizatan al-Qur’an
tidak bisa ditandingi oleh kitab suci manapun di muka bumi ini. Sebab al-Qur’an
terjamin keasliannya, tidak ada satu huruf pun, bahkan satu baris pun yang
berubah dari al-Quran sejak diturunkan di masa kerasulan Muhammad Saw.
Mukjizat al-Qur’an menjadi
perhatian kebanyakan ulama dan menarik untuk dikaji, diantara ulama-ulama itu
adalah Al-Rummany, Al-Zamlakany, Al-Imam Al-Razy, Ibn Suraqah, Abu Bakar
Al-Baqillany, dan Ibnu Al-‘Araby berkata bahwa karya-karya mereka sangat
bernilai tinggi tentang mukjizat al-Qur’an (As-Suyuthy, 2008 : 1873). Mu’jizat
al-Qur’an dalam perkembangan zaman bisa dibuktikan, terutama oleh temuan
ilmiah. Seperti cerita-cerita yang terkandung dalam al-Qur’an yang ditemukan
kebenarannya oleh ilmu pengetahuan dan semakin menguatkan al-Qur’an sebagai
mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. yang masih eksis sampai saat ini. Hal ini
kemudian semakin menarik minat ilmuwan dunia baik muslim maupun non-muslim
untuk “membicarakan” mukjizat al-Qur’an.
Maka penulis kembali akan membahas
mukjizat al-Qur’an. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian mukjizat al-Qur’an dan mukjizat-mukjizat
al-Qur’an dari berbagai segi, yaitu segi bahasa, segi sejarah, segi ramalan
masa depan, segi ilmu pengetahuan, dan sharfah.
B. Pengertian Mukjizat Al-Qur’an
Secara etimologi (bahasa/lughawy)
mukjizat berasal dari kata ‘ajaza yang berarti lemah. Lalu kata kerja
pasif ini dijadikan kata kerja aktif ‘ajaza-yu’jizu-i’jaz yang berarti
melemahkan. Sedangkan mukjizat adalah ism mashdar mimi yang berarti
kekuatan mengalahkan. Maka mukjizat secara terminologi (ma’nawy/istilah)
berarti suatu perkara yang berada diluar jangkauan kebiasaan, dan diluar
sebab-sebab yang diketahui manusia (Hamid, 2002 : 169). Sedangkan menurut
Shihab, dkk (2001 : 105-106) mengatakan bahwa kata mukjizat sudah menjadi
khazanah bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa Arab, digunakan istilah i’jaz
al-Qur’an, atau mu’jizat al-Qur’an. Dilihat dari sudut kebahasaan,
kata mukjizat merupakan salah satu bentuk ubahan dari lafal i’jaz yang
bermakna melemahkan. Dan i’jaz al-Qur’an bermakna mengokohkan al-Qur’an
sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya
sejenis.
Dengan demikian menurut Sya’ban
Muhammad Isma’il (dalam Shihab, 2001 : 106) al-Qur’an sebagai mukjizat bermakna
bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang mampu melemahkan tantangan penciptaan
karya yang serupa dengannya. Dalam kaitan dengan fungsi kerasulan serta
kenabian Muhammad terhadap umatnya, kemukjizatan al-Qur’an tersebut berarti
memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi kenabiannya serta kitab suci yang
dibawanya. Selain itu untuk memperlihatkan kekeliruan Bangsa Arab yang
menentangnya, karena tantangan-tangtangan yang dilontarkan Allah Swt. dalam al-Qur’an
tidak mampu mereka layani.
Hal yang sama juga dikemukakan
oleh al-Qaththan (1999 : 259) bahwa al-Qur’an al-Karim digunakan Nabi
untuk menentang orang-orang Arab, tapi mereka tidak sanggup menghadapinya,
padahal tingkat fashahah dan balaghah mereka semakin tinggi, hal
ini tidak akan terjadi kecuali kerana kemukjizatan al-Qur’an.
Adapun unsur-unsur yang menyertai mukjizat
berdasarkan pengertian diatas adalah seperti yang diungkapkan (Shihab, 2013 :
26-27) sebagai berikut :
1. Mukjizat merupakan perkara atau peristiwa yang luar biasa.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh orang yang mengaku nabi.
3. Mengandung tantangan terhadap orang yang maragukan kenabian.
4. Tantangan tersebut gagal atau tidak mampu dilayani oleh
penantangnya.
Shihab lebih lanjut juga
menjelaskan tentang tujuan dan fungsi mukjizat. Dimana, mukjizat berfungsi
sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluar biasaan yang ada atau tampak pada
nabi diibaratkan sebagai ucapan Allah Swt. Mukjizat bukan semata-mata bersifat
melemahkan seperti makna kata mukjizat. Namun, mukjizat lebih bermakna sebagai
pembuktian akan kebenaran ajaran yang dibawa para nabi. Sehingga mukjizat dari
pemahaman ini mengandung dua konsekuensi.
Pertama, bagi yang telah
percaya kepada Nabi, maka dia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Sehingga mukjizat
bagi orang semacam ini berfungsi sebagai penguat keimanannya kepada Allah dan
ajaran Nabi-Nya. Kedua, sejak Nabi Adam as. sampai Nabi Isa as. mukjizat
yang diturunkan hanya terbatas pada masa tertentu dan masyarakat tertentu.
Sehingga mukjizat itu hanya tidak bisa dilakukan oleh umat pada masa itu, tapi
bukan berarti tidak bisa dilakukan oleh umat selain itu atau sesudah itu.
Kemungkinan kedua ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat mukjizat itu
hakikatnya berada dalam jangkauan hukum-hukum Allah Swt. yang berlaku di Alam.
Sehingga mukjizat itu terjadi ketika hukum-hukum Allah Swt. tersebut belum lagi
diketahui oleh umat pada masa itu.
C. Mukjizat Al-Qur’an Dari Segi Bahasa
Bahasa yang digunakan al-Qur’an
merupakan bahasa Arab yang memiliki nilai tinnggi dari segala aspek bahasa. Az-Zarqany
(1995 : 260) mengatakan bahwa tidak ada yang mampu menandingi bahasa yang
digunakan al-Qur’an, bahasa al-Qur’an lebih dari syair dan merupakan puncak balaghah,
walaupun hanya satu ayat tidak ada satu makhluk pun yang mampu menandingi
bahasa al-Qur’an, dan kemu’jizatan bahasa al-Qur’an bersifat abadi.
Tidak ada bantahan dalam
ketinggian bahasa al-Qur’an, para ilmuwan sudah membuktikan ketinggian bahasa al-Qur’an
dan temuan mereka membuktikan tidak ada bahasa di dunia ini yang setara dengan
bahasa al-Qur’an bahkan bahasa Arab sendiri pun tidak mampu menandingi ketinggian
bahasa al-Qur’an.
Penelitian yang dilakukan Abdul
Razak Naufal ketika meneliti al-Qur’an menemukan keseimbangan-keseimbangan
dalam bilangan kata yang digunakan al-Qur’an. Sementara Rasyad Khalifah
menemukan konsistensi pemakaian jumlah huruf pembuka surah dalam surah yang
bersangkutan. Sedangkan al-Rumani, al-Baqilani, dan Rasyid Ridha melihat sudut
keindahan bahasa al-Qur’an yang jauh melebihi keindahan sastra Arab (Shihab,
dkk, 2001 : 114).
Lebih lanjut Dr. Sulaiman
al-Qarawie (Hamid, 2002 : 172) dalam bukunya menjelaskan tentang mukjizat
al-Qur’an dari segi ushlubnya bahwa al-Qur’an diakui keluar biasaannya tidak
saja oleh manusia tapi juga oleh bangsa Jin. Tidak seorang pun manusia yang
menirunya secara naratif dan deskriptif (nadzam dan bayan-nya). Kemukjizatan
al-Qur’an di seluruh jazirah Arab ialah lafadz al-Qur’an dan nazam-nya
(diksi yang dipilihnya) maupun kejelasannya yang merupkan bidang sentra
keutamaan al-Qur’an yang sudah dipahami oleh bangsa Arab sejak dulu hingga
sekarang.
Lebih lanjut Shalahuddin Hamid
(2002 : 172) mengatakan bahwa al-Qur’an yang diturunkan pada masa ketinggian
masa sastra Arab pada kaum Quraiys. De Boer menyebutnya sebagai bahasa
yang tepat untuk memimpin dunia. Bila dikompromikan dengan bahasa Latin atau
bahasa Persia akan kita temukan perbedaan istimewa dengan keanggunan format
pendek yang abstrak dan memiliki ketinggian ekspresi keilmuan. Disamping itu
menurutnya bahasa ini elegant, ekspresif, sulit ditiru, dan selalu
mengundang banyak kajian, dimana bahasa ini menjadi bahasa bijak orang Syiria
dan Persia.
1. Keseimbangan dalam pemakaian kata
Abdul Razak Naufal (Shihab dkk,
2001 : 114-116) menemukan setidaknya ada lima bentuk kesimbangan kosa kata
dalam al-Qur’an, yaitu keseimbangan antara jumlah kata dengan antonimnya,
keseimbangan jumlah kata dengan sinonimnya, keseimbangan jumlah kata dengan yang
menunjuk akibatnya, keseimbangan jumlah kata dengan penyebabnya, dan
keseimbangan-keseimbangan khusus.
a. Keseimbangan jumlah kata dengan antonimnya
1) Al-hayy (hidup) dan al-mawt (mati)
masing-masing sebanyak 145 kali.
2) An-naf (manfaat) al-mudharah
(madharat) masing-masing sebanyak 50 kali.
3) Al-har (panas) dan al-bard (dingin)
masing-masing sebanyak 4 kali.
4) Ash-shalihat (kebajikan) dan as-sayyi’at
(keburukan) masing-masing sebanyak 167 kali.
5) Al-rabh (cemas/takut) dan raghbah (harap)
masing-masing sebanyak 8 kali.
b. Keseimbangan jumlah kata dengan sinonimnya
1) Al-harts dan al-zira’ah (membajak/bertani)
masing-masing sebanyak 14 kali.
2) Al-ushb dan al-dhurur (membanggakan
diri/angkuh) masing-masing sebanyak 27 kali.
3) Al-dhallun dan mawta (orang sesat/mati
jiwa) masing-masing sebanyak 17 kali.
4) Al-Qur’an, al-wahy, dan al-islam
(al-Qur’an, wahyu, dan Islam) masing-masing sebanyak 70 kali.
5) Al-‘aql dan al-nur (akal dan cahaya) masing-masing
sebanyak 49 kali.
6) Al-jahr dan al-‘alaniyyah (nyata)
masing-masing sebanyak 16 kali.
c. Keseimbangan jumlah antara satu kata dengan kata lain yang
menunjuk akibatnya
1) Al-infaq (infak) dan al-ridha (kerelaan)
masing-masing sebanyak 73 kali.
2) Al-bukhl (kekikiran) dan al-khasanah
(penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali.
3) Al-kafirun (orang-orang kafir) dan al-nar/al-ahraq
(neraka/pembakaran) masing-masing sebanyak 154 kali.
4) Al-zakah (zakat/penyucian) dan barakah
(kebajikan) masing-masing 32 kali.
5) Al-fasyah (kekejian) dan al-ghadab (murka)
masing-masing 26 kali.
d. Keseimbangan antara jumlah kata dengan kata penyebabnya
1) Al-isyraf (pemborosan) dengan al-sur’ah
(ketergesa-gesaan) masing-masing sebanyak 23 kali.
2) Al-maw’izah (nasehat/pituah) dengan al-lisan
(lidah) masing-masing 25 kali.
3) Al-asra’ (tawanan) dengan al-harb (perang)
masing-masing 6 kali.
4) As-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat
(kebajikan) masing-masing sebanyak 60 kali.
e. Keseimbangan-keseimbangan lainnya yang bersifat khusus
1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal ada sebanyak 365
kali, sesuai dengan jumlah hari dalam setahun. Sedangkan kata ayyam
(hari dalam bentuk jamak), atau yaumayni (bentuk mutsanna),
jumlah pemakainnya hanya 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Di
sisi lain, kata yang berarti “bulan” (syahr) hanya terdapat sebanyak 12
kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
2) Kata-kata yang menunjuk pada utusan Tuhan, yakni rasul,
nabiy, basyir, nadzir, keseluruhannya berjumlah 518. Jumlah ini seimbang
dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi-rasul pembawa berita ajaran keagamaan,
yakni sebanyak 518.
2. Konsistensi pemakaian huruf yang menjadi pembuka surah
Hasil penelitian Rasyad Khalifah
memperlihatkan keajaiban al-Qur’an yang sekaligus memperlihatkan otensitasnya,
yaitu konsistensi pemakaian huruf yang digunakan sebagai pembuka surah. Dalam
surah-surah yang dimulai dengan huruf, jumlah huruf dalam surah itu selalu
habis dibagi 19, yang merupakan jumlah huruf dalam basmalah. Bahkan semua kata
dalam al-Qur’an yang terhimpun dalam basmalah juga habis bila dibagi 19. Kata ism
terulang 19 kali, Allah terulang sebanyak 2698 kali, yakni 142 x 19, kata al-rahman
terulang sebanyak 57 kali, yakni 3 x 19 kali, kata al-rahim terulang
sebanyak 114 kali, yakni 6 x 19.
Sebagai contoh huruf qaf
yang merupakan pembuka surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali, yakni
3 x 19. Huruf nun yang merupakan pembuka surah al-Qalam terulang
sebanyak 133 kali, yaitu sebanyak 7 x 19 kali, huruf ya’ dan sin pembuka
surah Yasin ditemukan terulang sebanyak 285 kali, yakni 15 x 19. Demikian pula
dengan huruf-huruf yang dipakai sebagai pembuka pula surah lain.
3. Keindahan susunan kata dan pola-pola kalimatnya.
Syeikh Fahruddin al-Razi, penulis
tafsir al-Qur’an berjudul mafatih al-ghaib, menyatakan bahwa kefasihan
bahasa, keindahan susunan kata, dan pola-pola kalimat al-Qur’an amat luar
biasa. Sementara itu Qadhi Abu Bakar dalam i’jaz al-Qur’an menyatakan
bahwa memahami kemukjizatan al-Qur’an dari sisi keindahan kebahasaannya jika
dibandingkan dengan sya’ir dan sastra Arab, amat sukar ditandingi. Abu Hasan
Hazim al-Quthajani menyatakan bahwa keluar biasaan al-Qur’an itu antara lain
terlihat dalam konsistensi, kefasihan bahasanya, dan keindahan susunan
kalimatnya. Bahkan al-Qur’an amat sempurna dilihat dari semua segi, sehingga
tidak mungkin menentukan tingkatan keindahan susunannya itu karena tidak ada
alat untuk mengukurnya.
Dari uraian-uraian yang disampaikan di
atas, memberikan gambaran kemukjizatan al-Qur’an yang tidak bisa ditandingi
oleh sastra manapun. Bahkan seorang ilmuwan dan sastrawan besar Bundar ibn
Husein al-Farisi mengatakan bahwa tingkat kefasihan dan keindahan bahasa
al-Qur’an berada diluar jangkauan manusia, kalau mereka mencoba malah-malah
bisa sesat.
Adapun
bentuk-bentuk kebahasaan yang menjadi pusat perhatian ilmuwan adalah i’jaz,
tasybih, majaz, dan isti’arah (Shihab, dkk, 2001 : 118-124).
a) Bentuk kalimat I’jaz
Yang dimaksud dengan i’jaz adalah
menyederhanakan komposisi kalimat tanpa mengurangi arti. Pertama, membuang
penggalan tertentu agar terformulasikan dengan ringan dan indah, dengan tidak
mengabaikan arti, karena makna tersebut dapat dipahami dengan baik dari konteks
kalimat secara keseluruhan. Contoh dalam surat Yusuf/12 : 82, kata was alil
qaryah adalah hasil ringkasan dari was alu ahlal qaryah.
وَسَۡٔلِ
ٱلۡقَرۡيَةَ ٱلَّتِي كُنَّا فِيهَا وَٱلۡعِيرَ ٱلَّتِيٓ أَقۡبَلۡنَا فِيهَاۖ
وَإِنَّا لَصَٰدِقُونَ ٨٢
82. Dan tanyalah
(penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang
bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar"
Kedua, peringkasan kalimat adalah
penyederhanaan redaksional ini selain formulasinya ringan, pengungkapannya
indah, juga maknanya dapat berkembang, kian sarat jumlah kata kian terikat
makna. Pola ini juga banyak digunakan dalam al-Qur’an dalam bentuk kalimat
maupun tema-temanya. Contoh al-Baqarah/2 : 179.
وَلَكُمۡ
فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩
179. Dan dalam qishaash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa.
“Walakum fil qishashi hayatuy
yaa ulil albaab”, merupakan satu rumusan padat yang mencerminkan penyederhanaan
redaksional secara sempurna, sehingga melahirkan bentuk kalam yang indah namun
tetap utuh, karena makna yang dimaksud dapat dipahami dari konteks kalimat
secara keseluruhan. Menurut Tafsir al-Azhar maksud dari kalimat di atas adalah Artinya,
dengan adanya hukum qishash, nyawa bayar nyawa, sebagai hukum tingkat
pertama, terjaminlah kehidupan masyarakat. Orang yang akan membunuh berfikir
terlebih dahulu sebab diapun akan dibunuh. Lantaran itu hiduplah orang dengan
aman dan damai, dan dapatlah dibendung kekacauan dalam masyarakat karena yang
kuat berlaku semena-mena kepada yang lemah (http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179.htm).
Menurut Rasyid Ridha,
penyederhanaan redaksional juga terjadi dalam pengungkapan tema-tema al-Qur’an.
Misalnya pengungkapan tentang doktrin-doktrin akidah, norma-norma hukum dan
etik, yang menurut dia, kalau diungkapkan secara detil, akan membuat kitab suci
al-Qur’an menyerupai buku-buku hasil karya ulama.
b) Bentuk-bentuk tasybih
Bentuk tasybih dalam ilmu balaghah
biasa diartikan sebagai ungkapan yang memperlihatkan bahwa sesuatu itu sama
dengan sesuatu yang lain dalam satu atau beberapa sisi atau sifat. Contoh surah
an-Nur/24 : 39.
وَٱلَّذِينَ
كَفَرُوٓاْ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَسَرَابِۢ بِقِيعَةٖ يَحۡسَبُهُ ٱلظَّمَۡٔانُ مَآءً
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمۡ يَجِدۡهُ شَيۡٔٗا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ
فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٣٩
39. Dan orang-orang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan
amal ibadah orang kafir, untuk menjelaskannya secara aktual, dia menyamakan
sifat amal tersebut dengan sifat fatamorgana, yaitu terlihat seperti ada,
padahal tidak ada. Dengan pola ini Allah menjelaskan sesuatu yang konsepsional
kepada kehidupan aktual agar lebih dipahami para pembaca. Pola seperti
sekaligus membuat susunan redaksi al-Qur’an jauh lebih indah, sehingga nikmat
untuk dibaca, disimak, dan dihayati.
Disamping itu, ada pula tasybih
yang membuat sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal, dengan mudah dapat
dipahami, seperti al-Hadid/57: 21.
سَابِقُوٓاْ
إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا كَعَرۡضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ
أُعِدَّتۡ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ
يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢١
21. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan)
ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang
disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.
Dalam ayat ini Allah memperkenalkan surga pada
manusia, tapi sifat-sifat surga tersebut tidak dapat dijangkau akal manusia.
Lebih lanjut Subhi Ash-Sholih lebih jauh
menjelaskan bahwa pemakaian tasybih dalam al-Qur’an adakalanya berbentuk
tasybih tunggal dan tasybih ganda. Tasybih tunggal adalah
penyamaan sesuatu pada sesuatu yang lain karena ada sifat atau unsur
kesamaannya, seperti contoh ayat 21 surah al-Hadid di atas. Sedangkan tasybih
ganda adalah bentuk penyamaan sesuatu yang sukar dipahami maksudnya, baik
secara nalar maupun empirik, pada sesuatu yang lain yang aktual bagi kehidupan
manusia, seperti surah Yunus/10 : 24. Yang memberitahu umat manusia tentang
kehidupan dunia seperti air hujan, yang dapat membawa rahmat bagi manusia, dan
juga bisa membawa malapetaka.
إِنَّمَا
مَثَلُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ
بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ مِمَّا يَأۡكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلۡأَنۡعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ
أَخَذَتِ ٱلۡأَرۡضُ زُخۡرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتۡ وَظَنَّ أَهۡلُهَآ أَنَّهُمۡ
قَٰدِرُونَ عَلَيۡهَآ أَتَىٰهَآ أَمۡرُنَا لَيۡلًا أَوۡ نَهَارٗا فَجَعَلۡنَٰهَا
حَصِيدٗا كَأَن لَّمۡ تَغۡنَ بِٱلۡأَمۡسِۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ
لِقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢٤
24. Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi
itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah
dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana
tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang
berfikir.
c) Bentuk majaz dan isti’arah
Ilmu balaghah membagi majaz
menjadi dua, yaitu majaz ‘aqli yaitu menyandarkan sesuatu perbuatan
kepada yang lain, karena ada hubungan antara keduanya, dan ada faktor tertentu
yang menuntut pengalihan penyandaran tersebut, dan majaz lughawy adalah
penggunaan lafal bukan pada makna sebenarnya, karena ada faktor tertentu yang
menghalangi pengunaannya. Perbedaan mendasar diantara keduanya adalah majaz
‘aqli menyandarkan suatu perbuatan atau keadaan pada subjek yang bukan
sebenarnya. Sedangkan majaz lughawy menyandarkan perbuatan atau
keadaan pada subjek yang sebenarnya. Pola ungkapan seperti ini tidak merubah
makna, malah melahirkan ungkapan-ungkapan yang jauh lebih bagus dari ungkapan
hakikinya.
Contoh majaz ‘aqli dalam surah
al-Qari’ah/101 : 11.
وَأَمَّا مَنۡ خَفَّتۡ
مَوَٰزِينُهُۥ ٨ فَأُمُّهُۥ هَاوِيَةٞ ٩
وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا هِيَهۡ ١٠
نَارٌ حَامِيَةُۢ ١١
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya.
9. Maka ibunya (tempat kembalinya) adalah
neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu.
11. (Yaitu) api yang sangat panas.
Dalam ayat ini Allah menyandarkan hawiyah
yakni neraka yang panas, maka ummu yang berarti ibu, padahal neraka Hawiyah
itu bukanlah ibu setiap orang, termasuk mereka yang kurang baik amalnya. Namun,
dalam ayat ini Allah menggunakan kata ummu sebagai pinjaman kata agar
mereka dapat memahaminya, yakni bahwa ibu, bagi anak-anaknya, merupakan tempat
berlindung, melekat, dan ibulah yang memegang anak-anaknya itu. Demikian pula
neraka Hawiyah bagi orang-orang yang sedikit amalnya.
Contoh majaz lughawy dalam surah
al-Baqarah/2 : 19.
أَوۡ
كَصَيِّبٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ فِيهِ ظُلُمَٰتٞ وَرَعۡدٞ وَبَرۡقٞ يَجۡعَلُونَ
أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِم مِّنَ ٱلصَّوَٰعِقِ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِۚ وَٱللَّهُ
مُحِيطُۢ بِٱلۡكَٰفِرِينَ ١٩
19. atau seperti (orang-orang yang ditimpa)
hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab
takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
Dalam ayat ini Allah memperlihatkan
sikap orang-orang kafir yang sangat resisten terhadap ajaran Islam yang dibawa
Muhammad Saw. bahwa setiap kali mendengar seruan kebenaran, mereka menyumbatkan
jari-jarinya (ashabi’ahum) pada telinga, padahal sebenarnya yang mereka
sumbatkan adalah ujung jari.
Sedangkan isti’arah adalah
bentuk-bentuk majaz yang disusun dengan meminjam kata untuk ditempatkan pada
posisi bukan sebenarnya. Atau al-Rumany dan al-Baqilany menyamakan isti’arah
dengan majaz.
D. Mukjizat Al-Qur’an Dari Segi Sejarah
Al-Qur’an memuat banyak kisah-kisah masa
lalu atau sejarah masa lampau yang mengandung banyak pelajaran bagi peradaban
umat manusia sampai saat ini. Sehingga keunggulan al-Qur’an dari segi sejarah
ini yang tidak bisa ditandingi oleh ahli sejarah (sejarahwan sekalipun) menjadi
salah satu segi kemukjizatan al-Qur’an. Allah berkalam dalam surah Hud/11 : 49,
تِلۡكَ
مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلۡغَيۡبِ نُوحِيهَآ إِلَيۡكَۖ مَا كُنتَ تَعۡلَمُهَآ أَنتَ
وَلَا قَوۡمُكَ مِن قَبۡلِ هَٰذَاۖ فَٱصۡبِرۡۖ إِنَّ ٱلۡعَٰقِبَةَ لِلۡمُتَّقِينَ
٤٩
“Itu adalah
diantara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), tidak pernah kamu mengetahuinya, dan tidak pula kaummu sebelum ini”.
Shihab, dkk (2001 : 125) mengatakan
bahwa ayat ini turun dalam konteks pemberitaan kisah Nabi Nuh dan para
pengikutnya yang menyelamatkan diri dari musibah banjir besar sebagai cobaan
bagi kaum yang menentang dakwahnya. Selain itu al-Qur’an juga mengisahkan
nabi-nabi lain, seperti Ibrahim, Ismail, Isa, Musa, Luth, Ya’kub, Yusuf, Musa,
dan Harun.
Lebih lanjut Shihab, ddk, mengatakan
bahwa rangkaian kisah-kisah tersebut di atas diungkapkan guna menguraikan
ajaran-ajaran keagamaan, serta menggambarkan akibat-akibat bagi penentangnya.
Ini merupakan salah satu keistimewaan dan kekuatan al-Qur’an. Kisah-kisah
tersebut bukanlah fiktif, tapi diyakini sebagai sejarah yang pernah ada di muka
Bumi. Hal ini terbukti dengan kontribusi besar kisah Nabi Nuh dalam keilmuan
antropologi, seperti yang diungkapkan Umar Anggara bahwa berdasarkan
tradisi-tradisi kisah Yahudi dan diperkuat hadis Nabi, keragaman umat manusia
di Dunia diawali dari kisah Nabi Nuh yang memiliki empat orang anak, yaitu Sam,
Ham, Yafat, dan Kan’an. Kan’an mrupakan anak Nabi Nuh yang menentang dakwahnya
sehingga terkena azab banjir besar dan mati, namun dia punya keturunan yang
selamat.
Lebih lanjut Umar Anggara mngatakan
bahwa Sam anak pertama Nabi Nuh, melahirkan keturunan yang kemudian menjadi bangsa
Arab dan Persia. Ham adalah nenek moyang orang Afrika. Yafat adalah bangsa Arya
yang kemudian melahirkan bangsa Eropa dan Asia Tengah. Sedangkan Kan’an
melahirkan bangsa Phinisia, namun dibasmi dan diserap oleh Israel. Sebab
itulah, bangsa-bangsa Timur Tengah sering disebut bangsa Samit atau Semit, dan
bangsa Afrika biasa disebut Hamit. Sedangkan Eropa banyak yang membangsakan
dirinya sebagai bangsa Arya. Inilah rekonstruksi historis yang berdasarkan pada
kisah-kisah dalam tradisi Yahudi dan sunah Nabi.
Selain itu lanjut Shihab, dkk (2001 :
125-126), terdapat pula kisah-kisah peradaban yang sukar dibuktikan dengan
penelitian sejarah karena sukarnya pelacakan data, kecuali melalui
penelitian-penelitian arkeologis yang sangat mahal. Seperti penelitian tentang
kota Iram yang diungkap al-Qur’an dalam Surah al-Fajr/89 : 6-8.
أَلَمۡ
تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ ٦ إِرَمَ ذَاتِ ٱلۡعِمَادِ ٧ ٱلَّتِي لَمۡ يُخۡلَقۡ مِثۡلُهَا فِي ٱلۡبِلَٰدِ
٨
“Apakah kamu
tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad. Yaitu penduduk
Iram yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun
(suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain”.
Melalui penelitian yang sangat
mahal kota Iram tersebut bisa ditemukan kembali di Gurun Arabia Selatan, pada
Februari 1992 pada kedalaman 183 m. dibawah permukaan pasir. Kota tersebut
menurut Umar Anggara ditemukan tim peneliti yang dipimpin Nichilas Clapp dari California
Institute of Technology’s Jet Propulision (CIT-JTL). Dia mengawali
penelitiannya dengan bantuan pesawat ulang alik Challenger yang memiliki
sistem Satellit Imaging Radar (SIR), dan satelit Prancis dengan
sistem penginderaan optik, Clapp mampu mendeteksi permukaan bawah gurun Arabia
Selatan. Sehingga pada kedalaman 183 m. menemukan keajaiban besar, sebuah
bangunan segi delapan, dengan dinding-dinding dan menara mencapai ketinggian 9
meter. Diperkirakan, gedung tersebut menampung sebanyak 150 orang. Disamping
itu, dia juga menemukan situs perjalanan kafilah beratus-ratus kilometer.
Dengan demikian dia menyimpulkan bahwa bangunan tua tersebut merupakan bagian
dari kota Iram, pusat kegiatan dakwah Nabi Hud, cucu Nabu Nuh, dan merupakan
peninggalan historis dari kaum ‘Ad, yang tetap hidup dalam legenda Arab berupa
legenda kota Ubhar. Kini bangsa Arab sendiri meyakini bahwa Ubhar dan Iram
adalah dua nama untuk subjek yang sama.
E. Mukjizat Al-Qur’an Dari Segi Ramalan Masa Depan
Tema-tema al-Qur’an juga berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa masa depan yang akan terjadi di dunia maupun
diakhirat nanti. Peristiwa-peristiwa yang digambarkan al-Qur’an akan terjadi,
beberapa telah terjadi dalam sejarah. Seperti kalamullah dalam surah
al-Qamar/54: 43-45, yang bercerita tentang kaum musyrikin Quraisy yang
bisa dikalahkan oleh kaum muslimin.
أَكُفَّارُكُمۡ
خَيۡرٞ مِّنۡ أُوْلَٰٓئِكُمۡ أَمۡ لَكُم بَرَآءَةٞ فِي ٱلزُّبُرِ ٤٣ أَمۡ يَقُولُونَ نَحۡنُ جَمِيعٞ مُّنتَصِرٞ ٤٤ سَيُهۡزَمُ
ٱلۡجَمۡعُ وَيُوَلُّونَ ٱلدُّبُرَ ٤٥
43. Apakah orang-orang kafirmu (hai kaum
musyrikin) lebih baik dari mereka itu, atau apakah kamu telah mempunyai jaminan
kebebasan (dari azab) dalam Kitab-kitab yang dahul.
44. Atau apakah mereka mengatakan: "Kami
adalah satu golongan yang bersatu yang pasti menang".
45. Golongan itu pasti akan dikalahkan dan
mereka akan mundur ke belakang.
Ayat ini diturunkan ketika Rasul
masih tinggal di Mekah. Kemudian pada tahun ke 8 hijriah mereka (kaum
musyrikin) dikalahkan secara total dalam peristiwa Fathul Makkah
(Shihab, 2001 : 127).
Selain contoh di atas, al-Qur’an juga
menyatakan bahwa kerajaan Romawi Timur (Byzantium) akan dikalahkan umat
Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam Surah al-Rum/30 :1-4.
الٓمٓ
١ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ ٢ فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ
غَلَبِهِمۡ سَيَغۡلِبُونَ ٣ فِي بِضۡعِ سِنِينَۗ لِلَّهِ ٱلۡأَمۡرُ مِن قَبۡلُ
وَمِنۢ بَعۡدُۚ وَيَوۡمَئِذٖ يَفۡرَحُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٤
1. Alif Laam Miim.
2. Telah dikalahkan bangsa Rumawi.
3. di negeri yang terdekat dan mereka sesudah
dikalahkan itu akan menan.
4. dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah
urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.
Berkaitan dengan ayat ini
al-Zarqany menjelaskan bahwa pada tahun 614 M, kurang lebih tiga tahun setelah
masa kerasulan Muhammad Saw., kerajaan Romawi Timur dikalahkan oleh kerajaan
Persia dalam pertempuran besar, yang populer sebagai peperangan Thahihah.
Kekalahan tersebut merupakan salah satu tragedi besar bagi kehidupan umat
beragama, karena bangsa Romawi adalah penganut agama samawi penerus Musa as.
dan Isa as., sedangkan Bangsa Persia adalah penganut Majusi, sebuah ajaran
keagamaan produk manusia. Sebab itu bangsa Quraiys mencemooh dakwah
Muhammad, karena penganut agama samawi terkalahkan oleh penganut agama majusi.
Kini Muhammad Saw. dengan kitab yang dibawanya hendak mengalahkan orang
Quraisy. Bagaimana mungkin keinginan itu terwujud, yang akan terjadi justru
orang-orang Quraisy akan mengalahkan mereka, sebagaimana penganut Majusi
mengalahkan Romawi (Shihab, 2001 : 127-128).
F. Mukjizat Al-Qur’an Dari Segi Ilmu Pengetahuan
Walaupun al-Qur’an mengandung
banyak sinyal-sinyal sain atau ilmu pengetahuan. Namun, al-Qur’an bukanlah
kitab ilmiah seperti karangan manusia. Hal ini seperti yang dikatakan Shihab
(2013 : 169) bahwa al-Qur’an bukan kitab ilmiah sebagaimana halnya kitab-kitab
ilmiah yang dikenal selama ini. Salah satu hal yang membuktikan kebenaran
pernyataan tersebut adalah sikap al-Qur’an terhadap pertanyaan yang diajukan
oleh para sahabat Nabi tentang bulan dalam QS. Al-Baqarah/2 : 189.
يَسَۡٔلُونَكَ
عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ
189. “Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah “Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji...”
Apa yang disampaikan dalam ayat di
atas tidak dijawab oleh al-Qur’an sebagaimana jawaban ilmiah yang dikenal oleh
astronom, tetapi jawabannya justru diarahkan kepada upaya memahami hikmah
dibalik kenyataan itu. Namun demikian, karena al-Qur’an adalah kitab petunjuk
untuk kebahagian dunia dan akhirat, tidak heran jika al-Qur’an mengandung
banyak pesan tersurat maupun tersirat tentang ilmu pengetahuan guna mendukung
fungsinya sebagai kitab petunjuk.
Hakikat-hakikat ilmiah yang
disinggung dalam al-Qur’an disampaikan secara singkat dan padat makna. Tapi
memuaskan banyak orang dan para pemikir. Orang kebanyakan memahami isyarat
ilmiah tersebut ala kadarnya, namun, para pemikir akan melakukan perenungan
yang mendalam untuk memahi isyarat-isyarat ilmiah tersebut, sehingga
menghasilkan karya ilmiah yang kebanyakan orang tidak memahaminya.
Adapun mukjizat al-Qur’an berupa
isyarat-isyarat ilmiah dapat dilihat dari kebanyakan ayat-ayat yang berisi
sinyal-sinyal ilmu pengetahuan atau sains (Ilyas, 2013 : 258-268). Berikut
isyarat-isyarat ilmiah yang dirangkum Ilyas dari ayat-ayat al-Qur’an :
1. Tentang reproduksi manusia
Terdapat sedikitnya tiga ayat
al-Qur’an yang berbicara tentang reproduksi manusia.
Surah al-Qiyamah/75 : 36-39.
أَيَحۡسَبُ
ٱلۡإِنسَٰنُ أَن يُتۡرَكَ سُدًى ٣٦ أَلَمۡ
يَكُ نُطۡفَةٗ مِّن مَّنِيّٖ يُمۡنَىٰ ٣٧ ثُمَّ كَانَ عَلَقَةٗ فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ
٣٨ فَجَعَلَ مِنۡهُ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ ٣٩
36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggung jawaban).
37. Bukankah dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim).
38. kemudian mani itu menjadi segumpal
darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.
39. lalu Allah menjadikan daripadanya
sepasang: laki-laki dan perempuan.
Surah an-Najm/53 : 45-46.
وَأَنَّهُۥ
خَلَقَ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰ ٤٥ مِن نُّطۡفَةٍ إِذَا تُمۡنَىٰ ٤٦
45. dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan
pria dan wanita. 46. dari air mani, apabila dipancarkan.
Surah al-Waqi’ah/56 : 58-59.
أَفَرَءَيۡتُم مَّا
تُمۡنُونَ ٥٨ ءَأَنتُمۡ تَخۡلُقُونَهُۥٓ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡخَٰلِقُونَ ٥٩
58. Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu
pancarkan.
59. Kamukah yang menciptakannya, atau
Kamikah yang menciptakannya.
Surah
al-Qiyamah di atas secara tegas menyatakan bahwa nuthfah merupakan
bagian kecil dari mani yang dituangkan ke dalam rahim. Keterangan al-Qur’an ini
sejalan dengan hasil penelitian ilmiah pada abad ke 20 yang menginformasikan
bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin laki-laki mengandung
sekitar 200 juta benih manusia, sedangkan yang berhasil membuahi sel telur
hanya satu.
Surat
an-Najm menginformasikan bahwa dari setetes nuthfah yang memancar
tersebut Allah ciptaan manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal
ini sejalan dengan penelitian bahwa sperma (mani laki-laki) mengandung dua
unsur, yaitu kromoson laki-laki dengan lambang “Y”, dan kromoson perempuan
dengan lambang “X”. Apa bila kromoson “Y” membuahi ovum maka jenis kelamin yang
dihasilkan laki-laki. Sedangkan kromoson “X” membuahi ovum menghasilkan jenis
kelamin perempuan. Maka yang menjadi penentu jenis kelamin adalah nuthfah
yang dituangkan ayah.
2. Tentang pemisah dua laut
Surah al-Furqan/25 : 30.
وَهُوَ
ٱلَّذِي مَرَجَ ٱلۡبَحۡرَيۡنِ هَٰذَا عَذۡبٞ فُرَاتٞ وَهَٰذَا مِلۡحٌ أُجَاجٞ
وَجَعَلَ بَيۡنَهُمَا بَرۡزَخٗا وَحِجۡرٗا مَّحۡجُورٗا ٥٣
53. Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang
mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi
pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.
Ayat di atas mengandung penjelasan bahwa ada
dua air laut yang berbeda sifatnya, yang satu tawar dan segar, sedangkan yang
lain pahit dan asin. Diantara kedianya dibatasi oleh dinding (barzakh).
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ibrahim as-Sumaih, seorang ilmuwan
Universitas Qatar di Teluk Oman dan Teluk Persia (1984-1988), menemukan
perbedaan rinci dengan angka-angka dan gambar pada kedua teluk tersebut. Dia
menemukan adanya dua daerah diantara kedua teluk tersebut yang dinamai mixed
water area atau daerah barzakh (istilah al-Qur’an). Penelitian ini juga menemukan dua tingkat air
pada area tersebut. Pertama, tingkat permukaan yang bersumber dari Teluk
Oman. Kedua, tingkat permukaan yang bersumber dari Teluk persia. Adapun
area yang jauh dari daerah barzakh tersebut tingkat airnya seragam.
Jadi, penemuan ini menunjukkan benar-benar ada
dua sifat air laut yang berbeda. Bukan seperti anggapan orang selama ini
tentang pertemuan air sungai dan air lait. Sebab garis pemisah atau barzakh
yang memisahkan kedua tingkat air laut tersebut berupa daya tarik stabil (grativitional
stability). Garis pemisah tersebut terdapat pada kedalaman 10 hingga 50
meter jika pertemuan air itu secara horizontal.
3. Tentang kejadian alam semesta
Surah al-Anbiya’/21 : 30.
أَوَ
لَمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ كَانَتَا رَتۡقٗا
فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ أَفَلَا
يُؤۡمِنُونَ ٣٠
30. Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.
Enstein menduga bahwa alam semeta statis,
namun, observasi Edwin P. Huble (1889-1953) melalui teropong bintang raksasa
pada tahun 1929 menunjukkan adanya pemuaian alam semesta, yang menunjukkan bahwa
alam semesta berekspansi, hal ini membantah dugaan Einstein.
Ekspansi itu menurut fisikawan Rusia George
Gamow (1904-1968) melahirkan sekitar seratus milyar galaksi yang masing-masing
rata-rata memiliki seratus milyar bintang. Tetapi sebelumnya bila ditarik
kebelakang kesemuanya merupakan satu gumpalan yang terdiri dari neutron.
Gumpalan itu meledak yang dikenal dengan Big Bang (teori ledakan besar).
4. Tentang awan
Surah an-Nur/24 : 43.
أَلَمۡ
تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُزۡجِي سَحَابٗا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيۡنَهُۥ ثُمَّ يَجۡعَلُهُۥ
رُكَامٗا فَتَرَى ٱلۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلَٰلِهِۦ وَيُنَزِّلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ
مِن جِبَالٖ فِيهَا مِنۢ بَرَدٖ فَيُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ وَيَصۡرِفُهُۥ عَن
مَّن يَشَآءُۖ يَكَادُ سَنَا بَرۡقِهِۦ يَذۡهَبُ بِٱلۡأَبۡصَٰرِ ٤٣
43. Tidaklah kamu
melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan
(butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti)
gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan
kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.
Ayat tersebut di atas menggambarkan tentang
awan dan proses terjadinya hujan, dimulai dari pernyataan Allah yang mengarak
awan, kemudian mengumpulkan kawanan awan, kemudian menjadikan awan
bertindih-tindih, lalu turunlah hujan ke bumi. Hal ini sejalan dengan ilmu
pengetahuan modern, awan yang mengandung hujan menurut ilmuwan adalah awal
tebal cumulus rain clouds, sebelumnya berupa cumulus clouds. Ini
salah satu awan yang mengandung embun tinggi (es), kilat, dan guruh. Awan
ini memiliki atap yang besar mencapai 15 km. dan menyerupai gunung.
5. Tentang gunung
Surah an-Naml/ 27 : 88.
وَتَرَى
ٱلۡجِبَالَ تَحۡسَبُهَا جَامِدَةٗ وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ ٱلسَّحَابِۚ صُنۡعَ ٱللَّهِ
ٱلَّذِيٓ أَتۡقَنَ كُلَّ شَيۡءٍۚ إِنَّهُۥ خَبِيرُۢ بِمَا تَفۡعَلُونَ ٨٨
88. Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu
sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.
(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu;
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Gunung-gunung bergerak, bukan diam. Hal ini
terbukti dari rekaman satelit tentang gunung-gunung di Jazirah Arabia bergerak
mendekati Iran beberapa sentimeter setiap tahunya. Sebelumnya sekitar lima
tahun yang lalu Jazirah Arab bergerak memisahkan diri dari Afrika dan membentuk
Laut Merah. Di sekitar Somalia sepanjang pantai Timur ke selatan saat ini
berada dalam proses pemisahan yang lamban dan telah membentuk Lembah Belah yang
membujur keselatan deretan danau Afrika.
6. Tentang pohon hijau
Surah Yasin/36 : 80.
ٱلَّذِي
جَعَلَ لَكُم مِّنَ ٱلشَّجَرِ ٱلۡأَخۡضَرِ نَارٗا فَإِذَآ أَنتُم مِّنۡهُ
تُوقِدُونَ ٨٠
80. yaitu Tuhan yang
menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api)
dari kayu itu".
Pada plasma sel tumbuh-tumbuhan terdapat zat
yang dinamai chromotophone (pembawa zat warna). Dari sekian warna yang
dibawa warna hijaulah yang terpenting , dikenal dengan nama chlorophyll,
dari bahasa Yunani yang berarti “zat hijau daun”. Namun, istilah ini tidaklah
tepat dimana zat di atas tidak hanya pada daun, tapi juga pada ranting-ranting
yang muda, terutama pada semua ranting yang hijau. Maka terbuktilah istilah
yang digunakan al-Qur’an lebih dapat, yaitu “asy-syajar al-akhdhar”,
secara harfiah berarti pohon hijau.
Chlorophyll terdiri dari ikatan zat-zat karbon, hidrogen,
nitrogen, dan magnesium. Aktivitas utama chlorophyll adalah merubah zat
organik dari zat anorganik sederhana dengan bantuan sinar matahari, yang
disebut dengan photosyinthesis (fotosintesis) yakni mengadakan sintesis
dengan photon (cahaya). Ringkasnya chlorophyll mengubah tenaga
radiasi matahari menjadi tenaga kimiawi melalui proses fotosintesis atau dengan
kata lain menyimpan tenaga matahari dalam tubuh tumbuhan berupa makanan dan
bahan bakar yang nantinya akan muncul sebagai api atau tenaga kalori sewaktu
terjadi pembakaran.
Proses fotosintesis ini dikemukakan oleh
seorang sarjana Belanda J. Ingenhousz, di akhir abad ke 18 M. Sedangkan
al-Qur’an telah memberitakannya pada abad ke 7 M.
7. Tentang kalender Syamsiah dan Qamariah
Surah al-Kahfi/18 : 25.
وَلَبِثُواْ
فِي كَهۡفِهِمۡ ثَلَٰثَ مِاْئَةٖ سِنِينَ وَٱزۡدَادُواْ تِسۡعٗا ٢٥
25. Dan mereka tinggal
dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).
Dijelaskan pada ayat di atas bahwa Ashhabul Kahfi
(penghuni gua) ditidurkan dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah
sembilan tahun lagi. Penambahan semibilan tahun ini adalah akibat penanggalan Syamsiah
dan Qamariyah. Penanggalan Syamsiah dikenal dengan Gregorian Calender
yang baru ditemukan pada abad ke 16, berselisih sekitar sebelas hari dengan
penanggalan Qamariyah, sehingga tambahan sembilan tahun yang disebutkan
dalam ayat di atas adalah hasil perkalian 300 X 11 hari = 3300 hari atau
sekitar sembilan tahun lamanya.
Selain mukjizat-mukjizat yang
disebutkan diatas, masih banyak lagi mukjizat al-Qur’an (lihat buku Iktisar
‘Ulumul Qur’an Praktis, karangan Syaikh Ash-Shabuni) seperti segi
pendidikan, segi memenuhi kebutuhan manusia, segi pengaruhnya dalam hati, segi
terbebasnya isi al-Qur’an dari pertentangan, segi menepati janji, dan segi
tidak adanya pertentangan dengan ilmu pengetahuan (kesatuan alam, pembagian
atom, berkurangnya oksigen, perkawinan antara tiap-tiap benda, perkawinan
lantaran angin, sel-sel mani, perbedaan sidik jari manusia).
G. Paham Sharfah
Uraian di atas telah dijelaskan
tentang berbagai kemukjizatan al-Qur’an tentang bahasa, sejarah, berita gaib,
dan kandungan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan. Inilah pendapat kebanyakan
ulama berkaitan dengan mukjizat al-Qur’an. Namun, sebagian ulama Muktazilah,
yakni Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar al-Nazam dan para pengikutnya memiliki
pendapat lain tentang kemukjizatan al-Qur’an, yaitu paham sharfah.
Abu Ishak Al-Nazzam dan pengikutnya
berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur’an bukan terletak pada faktor-faktor
sebagaimana yang diuraikan di atas, melainkan Allah mengalihkan perhatian
bangsa Arab untuk tidak bisa menandingi al-Qur’an, padahal mereka sebenarnya
mampu melakukannya (Az-Zarkasyi, : 93-94),
pendapat serupa juga dikemukakan oleh Abu Hasan ‘Ali ibn Isa al-Rumani yang
merupakan tokoh besar Muktazilah. Namun, pendapat ini diantah oleh ulama-ulama
lain, seperti Imam Murtadha dari ulama Syi’ah, yang mengaakan bahwa
pendapat Abu Ishak al-Nazzam menyimpang, sebab, seolah-olah dia mengatakan
bahwa kalaulah Allah Swt. tidak memalingkan orang Arab, niscaya kemampuan
sastra mereka bisa menandingi al-Aqur’an. Ash-Shabuni sendiri pun membantah
pendapat ini di dalam bukunya (Ash-Shabuni, 1999 : 134).
Ash-Shabuni
(1999 : 134-135) juga membantah paham sharfah, dan mengatakan bahwa itu
merupakan pendapat yang batil. Berikut sanggahannya :
1. Jika paham sharfah benar, maka letak kemukjizatan
alQur’an itu bukan pada al-Qur’an, tapi pada sharfah. Ini tidak
dibenarkan oleh ijma’.
2. Jika benar paham sharfah, maka al-Qur’an itu dimukjizatkan,
bukan mukjizat. Sama halnya kita memotong lidah seseorang lalu kita suruh dia
berbicara. Dengan demikian dia tidak bisa bicara bukan karena tidak mampu, tapi
karena dibuat tidak mampu.
3. Seandainya benar bahwa ada rekayasa Allah yang membuat mereka
lemah dan bermalas-malasan, lalu mengapa bangsa Arab datang kepada Nabi,
mengapa mereka menyakiti Nabi dan para sahabatnya, apa perlunya mereka menahan
Nabi, keluarganya, bahkan mengepungnya hingga mera memakan dedaunan. Kenapa
pula mereka mengajak Nabi untuk meninggalkan dakwahnya, dan untuk apa pula
mereka memojokkan Nabi dan sahabatnya sehingga hijrah.
4. Seandainya paham sharfah benar, tentulah mereka akan
menceritakan itu kepada manusia agar mereka bisa memaklumi. Dan tentu setelah
al-Qur’an diturunkan mereka yang ahli sastra akan lebih sedikit dari sebelum
al-Qur’an diturunkan.
5. Seandainya penyelewengan diatas terjadi tentu bagi kita di jaman
sekarang akan memungkinkan mampu menandingi al-Qur’an, begitu juga bagi mereka
yang menandingi sastra Arab di setiap masa, tentu akan bisa menerangkan
kedustaan kemukjizatan al-Qur’an.
Lebih lanjut, al-Zarkasyi (Shihab,
2001 : 112-113) dengan rinci mengemukakan kelemahan-kelemahan argumentasi
al-Nazzam dan al-Rumani di atas, yaitu :
1. Firman Allah Swt. pada surah al-Isra’ ayat 88 memperlihatkan
kelemahan bangsa Arab menyusun karya besar yang sejajar dengan al-Qur’an. Dan
kalaulah Allah Swt. yang melarang mereka, maka yang mu’jiz (melemahkan)
itu bukanlah al-Qur’an, tapi justru Allah sendiri. Padahal ayat ini menantang
mereka untuk membuat karya yang sejajar dengan al-Qur’an, bukan untuk
menandinginya.
2. Bahwa kemukjizatan al-Qur’an terhadap masyarakat Arab saat itu
berupa karya spesifik, yaitu dari segi isi dan pembahasannya belaka, mungkin
saja mereka mampu, tapi dari segi isi dan ilustrasinya, mereka akan sangat
mengalami kesukaran dan tidak akan mampu.
3. Al-Qur’an mengemukakn hal-hal gaib yang akan terjadi pada masa
yang akan datang dalam kehidupan dunia ini, disamping berita tentang akhirat
yang akan dialami manusia kelak. Segala yang dikemukakan al-Qur’an tersebut,
kemudian terbukti dalam perjalanan hidup manusia. Seperti Allah Swt. menceritakan
bahwa umat Islam akan menjadi adikuasa di dunia ini yang terdapat dalam surah al-Nur/24
: 55, dan telah terjadi pada puncak kejayaan Abbasiyah dan tiga kerajaan besar
Safawi, Mughal, dan Turki Utsmani diantara abad 15-17 M.
Al-Qur’an mengemukakan
kisah-kisah lama yang tidak terangkat dalam cerita-cerita bangsa Arab, seperti
kisah Nabi Nuh as., Nabi Luth as., Nabi Musa as., dan Nabi Harun as., serta
kisah-kisah nabi lain dan perlawanan mereka terhadap dakwah para nabi dan
akibatnya.
Dengan demikian paham sharfah
merupakan paham yang diperselisihkan oleh para ulama, bahkan disesatkan oleh
mayoritas ulama. Sebab mayoritas ulama menolak dan menganggap pendapat ini
menyimpang dan bisa merusak akidah umat Islam. Apa yang disampaikan al-Zarkasyi
dan Ash-Shabuni di atas dengan tegas membantah kekeliruan paham sebagian ulama muktazilah
tentang kemukjizatan al-Qur’an, sebab dikalangan ulama muktazilah pun berbeda
pendapat tentang kemukjizatan al-Qur’an. Namun, pendapat ini perlu dikemukakan
dalam ranah akademik, sehingga memperkaya pengetahuan akademisi Muslim.
H. Penutup
Berbagai bentuk mukjizat al-Qur’an
telah diuraikan di bahasan-bahasan sebelumnya. Banyak ulama (ilmuwan Muslim)
yang mengkaji masalah mukjizat al-Qur’an, bukan hanya zaman sekarang saja, tapi
mukjizat al-Qur’an sudah menjadi tema menarik yang banyak dikaji ulama-ulama
terkemuka, seperti Al-Rummany, Al-Zamlakany, Al-Imam Al-Razy, Ibn Suraqah, dan
Abu Bakar Al-Baqilany. Tema utama kajian ulama-ulama terdahulu lebih kepada
gaya bahasa al-Qur’an, struktur bahasa al-Qur’an, sejarah yang ada didalam
al-Qur’an, berita tentang masa depan yang ada di dalam al-Qur’an, dan
sebagainya.
Di zaman sekarang pun, banyak
ilmuwan muslim yang mengkaji kembali mukjizat al-Qur’an yang lebih menekankan
kepada temuan-temuan ilmiah tentang keajaiban al-Qur’an. Misalnya, Rasyad
Khalifah yang menemukan mukjizat al-Qur’an tentang kaitan kata-kata dan huruf
yang dipakai al-Qur’an dengan matematika. Kemudian Umar Anggara yang
mengemukakan temuan-temuan arkeolog tentang Kota Iram yang ada di dalam
al-Qur’an. Selain itu banyak lagi temuan-temuan ilmiah yang mengungkap mukjizat
al-Qur’an, seperti penciptaan gunung, pohon hijau, proses penciptaan manusia,
tentang awan, pertemuan dua laut, dan kejadian alam semesta.
Disisi lain, ada pendapat sebagian
ulama muktazilah yang berpaham Sharfah, bahwa al-Qur’an tidak bisa ditandingi
karena Allah Swt. menjadikan lemah orang Arab. Namun, pendapat ini ditentang
oleh mayoritas ulama, termasuk sebagian ulama muktazilah itu sendiri, sebagian ulama
syi’ah, dan ulama ahlus sunah wal jama’ah.
Mukjizat-mukjizat yang terkandung
di dalam al-Qur’an tidak semuanya bisa diungkap oleh manusia, karena
keterbatasan manusia. Sehingga hal ini seharusnya semakin menambah keimanan
kita sebagai seorang Muslim tentang kebenaran al-Qur’an. Sebab tuduhan-tuduhan
orientalis tentang al-Qur’an adalah karya Nabi Muhammad Saw., secara tidak
langsung telah dibantah oleh mukjizat al-Qur’an. Dan al-Qur’an sendiri
membuktikan bahwa al-Quran bukanlah karangan Nabi Muhammad Saw., misalnya
dengan ayat-ayat yang berisi teguran atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan
Nabi, seperti dalam surat An-Naba’, Allah menegur Nabi karena tidak
menanggapi Abdullah Bin Umi Maktum yang meminta nasehat kepada Nabi. Namun,
Nabi lebih mementingkan pemuka Quraiys yang belum tentu mau beriman
kepada Allah.
Berbagai bukti di atas menunjukkan
kebenaran al-Qur’an yang mencakup semua kandungan al-Qur’an. Seandainya pun,
bukti-bukti diatas tidak bisa dibuktikan oleh manusia, maka al-Qur’an tetap
akan menjadi kitab yang suci dari campur tangan manusia. Maka kebenaran dan
keaslian al-Qur’an akan tetap abadi sepanjang masa. Inilah mukjizat terbesar
al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci agama lain. Wallahu
‘alam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna’ Khalil. (1999). Mabahits Fii ‘Ulumi al-Qur’an. Beirut Lebanon : Al-Resalah
Publisher.
Al-Qur’an In Ms.
Word, version 2.2.0.0, tahun 2013, Taufiq Product.
As-Suyuti,
Jalaluddin. (2008). Al-Itqan fii ‘Ulumil Qur’an. Saudi Arabiah :
Mu’assisah ar-Risalah.
Ash-Shabuni,
Syaikh Muhammad Ali. (1999). Studi Ilmu Al-Qur’an, edisi terjemahan.
Bandung : Pustaka Setia.
Ash-Shabuni,
Syaikh Muhammad Ali. (2001). Ikhtisar ‘Ulumul Qur’an Praktis, edisi
terjemahan. Jakarta : Pustaka Amani.
Az-Zarkaysi,
Imam Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah. (tahun terbit tidak diketahui). Al-Burhaan
fii ‘Uluumil Qur’an, Juz 2. Kairo : Maktabah Daarut Turaats.
Az-Zarqany,
Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Azhim. (1995). Manaahilul ‘Irfaan fii ‘Uluumil
Qur’an, Juz 2. Beirut : Darul Kitab al-‘Araby.
Ilyas,
Yunahar. (2013). Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Itqan Publishing.
Shihab, M
Quraish. (2013). Mukjizat al-Qur’an Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Berita Gaib. Bandung : Mizan Pustaka.
Shihab, M
Quraish, dkk. (2001). Sejarah dan ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka
Firdaus.
Tafsir al-Azhar.
Diunduh tanggal 3 Mei 2014. Tafsir Surat al-Baqarah ayat 178-179. Website : http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179.htm
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar