Cari Blog Ini

Sabtu, 05 Mei 2012

Fenomena Konversi Agama


Penulis: Syahri Ramadhan, S.Psi
Realita yang terjadi saat ini manusia di dunia menganut berbagai macam agama, seperti kita mengenal umat Kristen, umat Katholik, umat Islam, umat, Hindu, umat Budha, umat Shinto  dan sebagainya. Selain agama juga berkembang berbagai keyakinan-keyakinan diluar agama yang jumlah penganutnya tidak kalah banyak dengan jumlah penganut agama, secara garis besar keyakinan ini digolongkan ke dalam animisme dan dinamisme.
Keberagaman agama di dunia menghasilkan suatu fenomena unik, yaitu konversi agama atau perpindahan kepemelukan agama dari agama satu ke agama yang lainnya, misalnya pindah agama dari Kristen ke Hindu, Hindu ke Islam, dan seterusnya. Fenomena konversi agama bukanlah hal yang baru, bahkan di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa konversi agama sudah terjadi sejak zaman Nabi Ibrahim as. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kalam Allah (QS. Al-an’am [6] : 76-78).
$£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$# #uäu $Y6x.öqx. ( tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% Iw =Ïmé& šúüÎ=ÏùFy$# ÇÐÏÈ   $£Jn=sù #uäu tyJs)ø9$# $ZîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% ûÈõs9 öN©9 ÎTÏöku În1u žúsðqà2V{ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# tû,Îk!!$žÒ9$# ÇÐÐÈ   $£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çŽt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»tƒ ÎoTÎ) Öäü̍t/ $£JÏiB tbqä.ÎŽô³è@ ÇÐÑÈ  

“Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (QS. Al-An’âm [6] : 76-78).

 Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah membukakan pandangan hati Ibrahim, agar ia semakin yakin dengan kebesaran Allah. Sebelum menemukan Tuhan, hati Ibrahim dipenuhi dengan kegelisahan dan gersang. Kemudian Ibrahim berikhtiar mencari Tuhan, ketika dia melihat bintang, bulan, dan matahari dia katakan bahwa itu adalah Tuhannya. Tapi ketika semuanya itu tenggelam, dia mengatakan bahwa dia tidak suka dengan yang tenggelam. Sampai kemudian Allah memberikan hidayah kepada Ibrahim sehingga ia melihat keagungan Allah dan beriman kepada Allah. Ibrahim menemukan ketenangan dengan berserah diri kepada Allah dan berlepas diri dari bintang-bintang, bulan dan matahari sebagai sesembahan (Ad-Dimasyqi, 2000).
Konversi agama terjadi di berbagai negara di belahan dunia. Salah satu konversi agama yang banyak terjadi adalah konversi ke agama Islam. Dari data yang peneliti dapatkan bahwa pelaku konversi ke agama Islam di negara-negara Eropa, seperti Francis mengalami peningkatan jumlah muallaf dari 30 sampai 40 ribu di tahun 2003 yang dipicu oleh tragedi serangan terhadap World Trade Centre (WTC), mereka bertanya-tanya tentang apakah yang dikatakan Al-Qur’an, apakah yang diwajibkan terhadap seorang Muslim dalam menjalani kehidupannya. Hal ini kemudian menimbulkan ketertarikan secara alamiah setelah mereka mengetahui tentang ajaran Islam (sumber: Harun Yahya. Diunduh 8 agustus 2011. http://www. harunyahya. com/ indo/artikel /067.htm. Islam: Agama Yang Berkembang Paling Pesat Di Eropa).
Di Inggris agama Islam termasuk agama yang diminati banyak manusia sebagai tempat konversi dari agama sebelumnya yang mereka anut. Menurut hasil penelitian yang berjudul “A Minority Within A Minority : A Report on Converts to Islam in the United Kingdom”, diperkirakan terdapat sebanyak 100 ribu warga Inggris dari berbagai latar belakang etnis yang mengonversi agamanya ke Islam. Angka itu memperlihatkan peningkatan tajam dibandingkan jumlah warga yang menjadi mualaf sebanyak 60 ribu orang pada 2001 ( sumber : Budi Raharjo, di unduh tanggal 6 Maret 2011, http://moeflich. wordpress.com /2011/01/09/ berbondong -bondong- menjadi-mualaf/).
Umat beragama di Amerika juga banyak melakukan konversi agama seperti yang dikatakan Hillary Rodham Clinton (dalam Los Angeles Times) mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling cepat berkembang di Amerika, panduan dan pilar stabilitas bagi banyak orang Amerika. Bahkan Robert Morey dalam bukunya Islamic Invasion tidak bisa mengelak untuk menyebut Islam sebagai The World’s Fastest Growing Religion atau agama yang paling cepat berkembang di dunia, meski dia menghujat Islam dalam bukunya tersebut (Pihasniwati, 2007).
Di Indonesia konversi agama juga banyak terjadi karena Indonesia merupakan negara yang mengakui berbagai macam agama yang di sahkan secara hukum dan Undang-Undang Negara Indonesia. Undang-Undang Negara Indonesia mengakui lima agama besar, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Khonghucu serta keyakinan-keyakinan yang berkembang di luar agama. Abdullah (1996) mengatakan bahwa agama pertama di Indonesia adalah agama Hindu dan Budha, kemudian masuknya agama Islam menjadi proses awal terjadinya konversi agama, diikuti oleh perkembangan agama Krsiten yang di bawa oleh pedagang dari Eropa pada abad 16.
Data dari sebuah lembaga yang khusus mengurus muallaf mengatakan bahwa di Indonesia diperkirakan peningkatan jumlah mulaf mencapai 10 sampai 15 persen setiap tahunnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Syafii Antonio, penasehat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Walaupun belum ada data yang valid sebab belum ada sistem pelaporan bila ada orang yang pindah agama dan memeluk Islam. Sedangkan angka kasar jumlah muallaf dari PITI di awal tahun 2010 mencapai lebih satu juta orang (sumber: Muslim Tionghoa, di unduh 12 Maret 2011,  http://www.topix.com /forum/ world/ indonesia / T5EMQH2 NKR9 D3L180. Jumlah Mallaf di Indonesia Meningkat 10 -15% Setiap Tahunnya).
Melihat lebih dekat perkembangan muallaf di Indonesia, maka bisa kita lihat pada lembaga-lembaga atau yayasan yang menaungi para muallaf. Di beberapa wilayah di Indonesia terdapat beberapa lembaga atau yayasan yang berhubungan dengan muallaf, misalnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Muhtadin, Pondok Diklat Mualaf Al-Hawariyyun, Yayasan Ukhuwah Mualaf (YAUMU), dan lain-lain.
Salah satu dari lembaga atau yayasan ini yang dianggap paling eksis adalah YAUMU (Yayasan Ukhuwah Muallaf), dimana YAUMU selain mendidik muallaf dalam hal aqidah juga membantu muallaf mengatasi kesulitan ekonomi, misalnya dengan memberikan bantuan modal usaha bagi muallaf yang kehilangan pekerjaan mereka. Selain itu YAUMU juga memiliki pembinaan rutin terhadap muallaf minimal satu kali dalam seminggu, dan melakukan kerjasama dengan beberapa daerah di Yogyakarta untuk mengadakan pembinaan terhadap para muallaf. Sampai saat ini sudah lebih dari 200 orang muallaf yang di Islamkan di YAUMU, ini belum termasuk muallaf di beberapa wilayah binaan YAUMU lainnya. Para muallaf binaan YAUMU terdiri dari latar belakang agama yang berbeda, misalnya Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, dan lain-lain (hasil interview dengan salah seorang pengurus YAUMU).
Fenomena mualaf, seperti yang dialami para muallaf merupakan salah satu fenomena sosial dan keberagamaan yang menarik untuk diteliti, karena muallaf memiliki pengalaman dan latar belakang yang berbeda sebelum mereka memutuskan untuk memeluk Islam. Hal ini, sangat berkaitan dengan masalah psikologis manusia disebabkan mualaf mengalami perubahan drastis dalam kehidupannya baik dalam hubungannya secara vertical (hablumminalah) maupun hubungannya secara horizontal (hablumminannas). Sehingga peneliti tertarik meneliti fenomena muallaf dalam paradigma psikologi.
Dari data pre-eliminery yang peneliti dapatkan dari dua orang muallaf dari sebuah hasil wawancara kepada muallaf FK dan Sap. FK mengatakan Saya mengalami keraguan, saya memaki-maki agama saya. kok, agama tidak menjawab permasalahan hidup saya. Kemudian saya sempat menjadi ateis, saya tidak percaya Tuhan, suka mabuk-mabukan. Tapi seiring waktu saya mencoba mempelajari islam, sekarang saya tidak lagi mabuk-mabukan.”
Pengakuan FK di atas tidak berbeda jauh dengan apa yang dikatakan Sap tentang proses konversi agama yang dia alami. Sap mengatakan bahwa “Sebenarnya saya sejak SD sudah tidak suka dengan aktivitas dalam agama saya, bahkan ketika SMP saya sudah mulai ikut-ikutan dengan teman saya salat jumat di masjid. Orang tua saya tidak tahu, karena kalau mereka tahu pasti mereka marah. Namun pada waktu itu saya juga masih tetap aktif menjadi aktivis di gereja”.
Pengakuan muallaf FK dan Sap tersebut membuktikan bahwa konversi agama yang terjadi mengalami proses mental yang sangat rumit. Konversi agama membuat kehidupannya berubah, yang berawal dari ketidakpuasannya terhadap keyakinan lamanya yang tidak bisa menjawab persoalan hidupnya, kemudian dia mencari jawabannya dengan menjadi melakukan konversi ke agama Islam. Setelah memeluk Islam dia mulai merubah kehidupannya sebagai wujud jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh agama yang dia peluk sebelumnya.
Kerumitan proses konversi agama juga terlihat dalam perjalanan seorang Willibordus Romanus Lasiman dalam menemukan Islam. Dia mengaku menemukan Islam melalui dialog-dialognya dengan sahabat muslimnya. Awalnya dia berdialog dengan seorang sahabatnya dari IAIN Sunan Kalijaga, dia kalah. Kemudian Lasiman memperdalam ilmu agamanya di lingkungan Kristen Protestan, karena Kristen Katolik kalah dalam ilmu tafsir Alkitab. Dari hasil perolehan ilmu disitu dia ajak lagi temannya untuk dialg, kalah lagi, kesimpulannya Injil sukar dibuktikan secara Ilmiah. mulai ada perasaan ingin masuk Islam dalam dirinya, namun dia masih tekun menjalankan ajaran Katholik. Tidak sampai disitu, Lasiman kemudian belajar ilmu kebatinan dan perdukunan, tapi Ilmu tersebut selalu bermuara kepa Islam. Akhirnya Lasiman belajar kepada salah seeorang ulama, dari situ kemudian dia memutuskan untuk memeluk Islam (Muaz, 2002).
Menurut paradigma psikologi, dapat dikatakan bahwa perubahan keyakinan atau perubahan agama seperti yang terjadi pada muallaf di atas bukanlah suatu hal yang terjadi secara kebetulan saja, dan tidak pula merupakan pertumbuhan yang wajar, akan tetapi adalah suatu kejadian yang didahului oleh berbagai proses dan kondisi yang dapat diteliti dan dipelajari (Darajat, 2005). Hal ini menunjukan bahwa keberagamaan sangat erat kaitannya dengan keadaan psikologis manusia. Lebih memperjelas lagi, Moreno (1989) mengatakan bahwa kepercayaan beragama merupakan sekumpulan jawaban yang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau penafsiran atas kekuatan-kekuatan gaib terhadap berbagai pertanyaan mendasar yang ditimbulkan oleh akal fikiran manusia. Kepercayaan beragama memberikan jawaban yang beraneka-ragam dalam sifat dan ruang lingkup batas wilayahnya.
Lebih lanjut Moreno (1989) mengatakan bahwa kepercayaan merupakan penerapan kongkrit nilai-nilai yang kita miliki. Karena itu orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang sama dapat saja berbeda dalam hal bagaimana cara menerapkan nilai-nilai tersebut, mereka bisa jadi memiliki kepercayaan yang berbeda. Kemudian agama akan muncul sebagai akibat kemampuan manusia untuk mempertanyakan segala macam pertanyaan yang kemudian manusia tidak dapat memberi jawaban yang bersifat rasional dengan memuaskan. Maka jelas, bahwa proses pencarian manusia terhadap suatu agama yang mereka yakini kebenarannya sangatlah panjang, dan kemungkinan besar akan terjadi konversi agama.
Proses pencarian agama ini bisa kita lihat pada orang-orang yang melakukan konversi ke agama Islam atau muallaf. Ahmad Yamani (Jalaluddin & Ramayulis, 1993) mengemukakan bahwa tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat berfikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya disamping rasa ketakutan terhadap kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong insan tadi untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya di saat-saat yang gawat.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Jalaluddin (2002) bahwa para ahli psikologi berpendapat yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan batin seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga mencari pelindungan ke kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tenteram. Karena pada hakikatnya agama lahir untuk pembebasan dari penderitaan menuju kedamaian hisup (Asy’arie, 2002).
Proses pencarian manusia dalam mencari keamanan dan ketenangan batin ini terjadi dengan berbagai bentuk dan proses yang panjang. Salah satunya adalah dengan menjadi muallaf. Terbukti dengan penelitian yang dilakukan Pihasniwati (2007) bahwa dalam hasil penelitiannya mengenai “Fenomena Muallaf : Konversi Agama Sebagai Pemenuhan Makna Hidup” mengatakan bahwa mereka yang mengalami keraguan dan kemudian konversi agama, justru berasal dari kalangan non-Muslim yang taat pada agama mereka terdahulu. Ini berarti, mereka menemukan makna hidup melalui penghayatan agama. Ketika agama yang mereka yakini mereka ragukan kebenarannya, ada usaha (komitmen) untuk menemukan makna itu kembali dalam ajaran agama yang lain, hingga pilihan mereka jatuh pada Islam.
Hasil penelitian Pihasniwati (2007) membuktikan bahwa konversi agama akan membuat kehidupan seseorang akan ikut merubah perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang dia anut. Karena nilai-nilai dan norma agama akan sangat mempengaruhi mereka dalam menjalankan kehidupan mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Abraido-Lanza, Vasquez, dan Echeverrina (Diponegoro, 2007) bahwa perilaku yang terdapat di dalam ajaran Islam atau Qur’an dan Hadits, misalnya berdoa, dan Brown dan Ryan (Diponegoro, 2007) menambahkan kekhusyu’an menunjukan hasil yang positif terhadap perilaku individu.
Hal di atas Allah gambarkan di dalam kalamNya (QS. Al-Qalam [68] : 35:
ã@yèôfuZsùr& tûüÏHÍ>ó¡çRùQ$# tûüÏB̍ôfçRùQ$%x. ÇÌÎÈ  
Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir).” (QS. Al-Qalam [68] : 35).
Beberapa contoh pribadi luar biasa yang kita hafal namanya seperti Umar bin Khatab, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan para sahabat nabi lainnya merupakan pelaku konversi agama yang mengalami perubahan kehidupan secara luar biasa dibanding kehidupan mereka sebelum ber-Islam.
Mengingat bahwa konversi agama juga melalui beberapa proses mental. Sebagaimana Bainbridge, Lofton dan Stark (Diponegoro, 2007) menyatukan tradisi dari strained theory dan social influence theory secara kreatif, mengamati bahwa perilaku konversi agama dimulai dengan ketidakseimbangan, suatu stress, dan ketegangan pribadi, dan berlangsung dengan kontekstualisasi pengalaman tersebut di dalam suatu situasi kelompok. Proses konversi mulai dengan tiga predisposisi : (1) keinginan untuk mencari jawaban tentang misteri, tragedy, dan situasi kehidupan lewat agama, (2) rasa frustrasi yang berlangsung lama, (3) yang tidak ditemukan jawabannya atau pemecahannya dari kehidupan keimanan individu. Perasaan-perasaan ini membuat individu mencari agama lain.
Senyatanya konversi agama yang dilakukan muallaf merupakan totalitas perubahan yang terjadi pada diri individu terutama ditinjau dari faktor psikologisnya. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti meninjau proses konversi agama dan pengalaman religiusitas yang dialami muallaf.
Proses konversi agama yang dilakukan muallaf, menurut Jalaluddin (1997) ibarat proses pemugaran gedung, dimana bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru. Artinya konversi agama yang terjadi diiringi dengan perubahan pada religiusitas yang sudah dimiliki muallaf selama ini diganti dengan menginternalisasikan nilai-nilai agama baru yang diyakininya, karena nilai-nilai agama yang selama ini mereka anut tidak sesuai bahkan bertentangan dengan nila-nilai di dalam agama barunya. Segala bentuk doktrin, ritual, perasaan, pengetahuan, etika, dan konformitas kelompok yang selama ini harus diubah dan diganti dengan yang baru.
Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan para ahli psikologi bahwa religiusitas terbentuk dari kecil yang kemudian mengontrol dan mengarahkan perilaku individu sesuai dengan agama yang dia miliki pada usia selanjutnya (Hidayati dan Purnami, 2008) atau mulai mulai berfungsi pada asuai akil baligh karena sudah memiliki satu set nilai agama (Rochamah, 2005). Pernyataan ini dikuatkan oleh Susilangsih (2010) dia menyebut religiusitas adalah kristal-kristal nilai agama (religious conscience) dalam diri manusia yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai-nilai agama semenjak usia dini. Religiusitas akan terbentuk menjadi kristal nilai pada akhir usia anak dan berfungsi pada awal remaja. Kristal nilai yang terbentuk akan berfungsi menjadi pengarah sikap dan perilaku dalam kehidupannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menurut Clark (Abdullah, dkk, 2006) bahwa religiusitas adalah pengalaman batin dari seseorang ketika dia merasakan adanya Tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika dia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan Tuhan. Pengalaman-pengalaman batin yang dimaksud adalah pengetahuan-pengetahuan disepanjang kehidupan manusia yang diinternalisasikan sebagai nilai-nilai agama yang menjadi pengontrol dan pengarah perilakunya.
Religiusitas memiliki lima macam dimensi keberagamaan yang ada pada setiap manusia, dimensi ini akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan pengalaman manusia di dalam menginternalisasi nilai-nilai agama. Menurut Glock dan Stark (Ancok & Suroso, 1995) dimensi religiusitas tersebut adalah dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual). Senada dengan itu Verbit (Abdullah, dkk, 2006) setuju dengan kelima dimensi tersebut, tetapi menurut dia harus ditambah dengan satu dimensi lagi, yaitu community. Namun, verbit menyebutkan dimensi-dimensi tersebut dengan istilah yang agak berbeda, yaitu doktrin (doctrinal), ritual (ritualistic), emosi (emotion), pengetahuan (knowledge), etika atau moral (ethics), dan kumunitas (community).
Keenam dimensi di atas akan berubah seiring dengan konversi agama yang dilakukan oleh muallaf. Hal ini disebabkan agama mereka sebelumnya tidak mampu menjawab persoalan hidup mereka, nilai-nilai agama selama ini yang mereka yakini mulai mereka ragukan kebenarannya. Pernyataan ini dikuatkan dengan pendapat James (Crapps, 1993) yang mengatakan bahwa agama-agama tetap hidup dan bertahan karena amat bermanfaat bagi manusia di bidang hidup dimana manusia mencari makna bagi hidupnya. Bila tidak membantu pencapaian maksud itu, agama-agama itu diganti dengan melakukan konversi agama sebagai upaya untuk menjawab pesoalan hidup dan mencapai kebermaknaan dalam kehidupan manusia.
Senada dengan pendapat di atas Rogers (Calhoun & Acocella, 1995) setiap orang itu memiliki pandangan mengenai dirinya saat ini dan diri idelanya, yaitu apa yang seharusnya dia rasakan. Orang akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya. Apabila terjadi ketimpangan antara kenyataan dan harapannya maka akan terjadi ketidakpuasan, semakin besar ketimpangan tersebut maka ketidakpuasannya akan semakin besar. Sehingga hal ini membuat orang menjadi sadar dan mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Proses terjadinya konversi agama pada setiap orang akan berbeda-beda sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya serta pertumbuhan jiwanya (faktor internal) (Baharudddin & Mulyono, 2008), sedangkan Sururin (2004) menyebutnya dengan faktor kepribadian dan pembawaan dan faktor eksternal adalah faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal, perubahan status, dan kemiskinan. Hal lain yang mempengaruhi proses konversi agama, yaitu ajakan dan sugesti dan pengaruh hubungan tradisi agama (Darajat, 2005).
Perubahan kehidupan beragama yang dialami oleh para muallaf menunjukkan dinamika proses psikologis yang luar biasa. Terutama perubahan religiusitas muallaf yang seharusnya sudah matang sebelum melakukan konversi agama ke Islam, akan tetapi fakta menunjukan religiusitas yang dibangun sejak dia lahir hingga ketika dia melakukan konversi agama ke-Islam berbenturan dengan nilai-nilai agama baru yang mereka anut. Sehingga harus terjadi instalisasi ulang nilai-nilai agama tersebut. 


Daftar Pustaka

Abdullah, A, dkk. (2006).  Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidispliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.

Abdullah, A.M. (1996). Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abul fida Ismail Ibnu Katsir. (2000) Tafsir Ibnu Katsir, Edisi Terjemahan. Bandung: Algesindo.

Al-Maraghi, A.M. (1994). Terjemahan Tafsir Al-Maraghi: Juz X. Semarang: CV. Toha Putra.

Ancok, D & Suroso, F.N. (1995). Psikologi Islami : Solusi Atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Asy’arie, M. (2002). Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual. Yogyakarta : Lesfi.

Anshari, H.M. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Jiwa. Surabaya: Usaha Nasional.

Baharuddin & Mulyono. (2008). Psikologi Agama Dalam Persfektif Islam. Malang : UIN Malang Press.

Calhoun, J.F & Acocella, J.R. (1995). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Semarang : IKIP Semarang Press.

Darajat, Zakiah. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang.

Gani, B.A. dkk. (1992). Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid IV Juz 10-11-12. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf UII.

Hidayati, W & Purnami, S. (2008). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Jalaluddin. (1997). Psikologi Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Jalaluddin. (2002). Psikologi Agama. Jakarta : Rajawali Pers.

Jalaluddin. (2003). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jalaluddin. (2010). Psikologi Agama. Jakarta : Rajawali Pers.

Jalaluddin & Ramayulis. (1993). Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Kalam Mulia.

K. Yin, Robert. (2009). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta : Rajawali Pers.

Larry B. Stammer, Times Religion Writer, “First Lady Breaks Ground With Muslims,” Los Angeles Times, Home Edition, Metro Section, Part B, May 31, 1996, p. 3.

Moreno, F.J. (1989). Agama dan Akal Fikiran : Naluriah Ras Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi. Penerjemah : Abdullah, A. Jakarta : Rajawali Pers.

Muaz, T.A.M. (2002). Kembali ke Pangkuan Islam: Perjalanan Ruhaniah Para Muallaf. Jakarta: Gema Insani Press.

Munawwir, A.W. (1997). Al Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.

Muslim Tionghoa, http:// www. topix .com /forum /world/ indonesia /T5EMQH2NKR9D3L180 : Jumlah mualaf Indonesia meningkat 10-15% tiap tahunnya. Di unduh tanggal 12 Maret 2011.

Mustaqien, I. (2006). Konsep Mu’allaf Dalam Al-Qur’an: Studi Terhadap Tafsir al-Manar Karya M. Rasyid Ridha. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Pihasniwati. (2007). Fenomena Muallaf : Konversi Agama Sebagai Pemenuhan Makna Hidup., Jurnal Psikologi Islami, 3, 5, 17-32.

Raharjo, B. Berbondong-Bondong Menjadi Mualaf. Sumber : http://moeflich. wordpress.com /2011/01/09/ berbondong -bondong- menjadi-mualaf/). Di unduh tanggal 6 Maret 2011.

Ramayulis. (2007). Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia.

Rochamah, E.Y. (2005). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Stain Ponorogo dan Teras.

Yahya, H. http://www. harunyahya. com/ indo/artikel /067.htm. Islam: Agama Yang Berkembang Paling Pesat Di Eropa. Diunduh 8 Agustus 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate