KAPAN ANAK DIAJARI
MEMBACA ?
I.
Pendahuluan
Menurut Woodhead
(2006), anak adalah masa ketika manusia sangat tergantung pada rasa aman,
hubungan responsif dengan orang lain (orang dewasa, saudara dan teman sebaya),
bukan hanya untuk menjamin kelangsungan hidup mereka, tetapi juga keamanan
emosional mereka, integrasi sosial dan kompetensi kognitif dan budaya. Anak
merupakan manusia kecil yang penuh dengan keunikan, lucu, dan lugu. Seketika
mereka bisa tertawa, tapi tiba-tiba bisa juga menangis yang sebabnya hal
sepele. Tingkah laku mereka yang polos membuat orang dewasa tertawa, terharu,
kadang kala juga kebingungan. Sebab apa yang anak-anak inginkan tidak
sepenuhnya bisa dipahami oleh orang dewasa.
Anak berbeda dengan
orang dewasa dan membutuhkan penanganan khusus. Sehingga anak menjadi perhatian
setiap bangsa, misalnya saja dalam Deklarasi Jenewa (Woodhead, 2005) tentang
Hak Anak, diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1924 dinyatakan
bahwa "Anak harus diberikan sarana yang dibutuhkan untuk perkembangan normalnya,
baik material maupun spiritual ". Hal ini disadari oleh seluruh bangsa di
dunia, sebab anak adalah masa depan satu bangsa.
Sistem pendidikan yang
ada juga diseting sedemikian rupa, guna memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak.
Seorang guru harus mampu memahami anak secara keseluruhan. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Bronfenbrenner, Olson, dan Bruner (dalam Daniels dan Shumow,
2003) bahwa Selain memahami pikiran anak (siswa), guru juga harus memahami bahwa
setiap siswa adalah individu yang mengembangkan pengetahuannya sendiri dan
hubungan dalam berbagai konteks, terutama keluarga, sekolah, dan masyarakat.
maka peran guru sangat penting sekali dalam pendidikan anak, gurujuga dituntut
memiliki relasi yang baik dengan orang tua, dan masyarakat dimana anak tinggal.
Masa-masa yang rentan dari kehidupan seseorang
berada pada lima tahun pertama dalam kehidupannya yang merupakan pondasi bagi
perkembangan selanjutnya. Menurut Anwar (dalam Hastuti, Alfiasari, dan
Chandrayani, 2010 : 27) apabila pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangan
seorang anak berjalan secara optimal diharapkan pada masa dewasa akan tumbuh
menjadi manusia yang berkualitas.
Masa anak merupakan
usia keemasan (Golden Age) dalam tahap perkembangan manusia, yaitu pada
masa perkembangan di umur 0-5 tahun. Sebagian besar psikolog percaya bahwa
perkembangan di usia 0-5 tahun akan berpengaruh pada masa depan seorang
manusia, sukses atau gagalnya tahap-tahap perkembangan setelah usia lima tahun
ditentukan oleh capaian perkembangan anak pada usia 0-5 tahun.
Keyakinan terhadap
pengaruh Golden Age terhadap perkembangan anak menjadikan para orang tua
melakukan berbagai cara agar anaknya mencapai perkembangan maksimal pada usia
0-5 tahun awal. Banyak orang tua yang rela membayar mahal-mahal demi
kesempurnaan perkembangan anak mereka di usia 0-5 tahun. Sehingga tak heran
jika saat ini muncul berbagai tawaran pendidikan anak usia dini atau prasekolah
yang menawarkan berbagai metode pendidikan untuk anak prasekoah.
Terminologi anak
prasekolah dijelaskan oleh Biechler dan Snowman (dalam Patmonodewo, 2003 : 19)
yaitu mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Di Indonesia anak sudah mengikuti
Tempat Penitipan Anak (TPA) pada usia 3 bulan - 5 tahun, Kelompok Bermain (KB)
di usia 3 tahun, sedangkan di usia 4-6 tahun mereka mengikuti program Taman
Kanak-kanak (TK). Hal ini menunjukkan di Indonesia anak lebih awal mengikuti
pendidikan prasekolah.
Pada usia 7 tahun anak
akan memasuki usia sekolah, yakni pendidikan di Sekolah Dasar (SD). Pendidikan
SD akan berakhir ketika anak berusia 13 tahun, saat dimana anak mulai memasuki
usia remaja awal.
Jika dicermati, pendidikan
anak di usia prasekolah yang diterapkan oleh berbagai lembaga pendidikan di
Indonesia masih banyak menuai kritikan dari berbagai pihak. Pendidikan
prasekolah yang diterapkan dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis
anak. Banyak pakar menilai pendidikan prasekolah di Indonesia bisa ‘membunuh’
potensi para peserta didiknya. Kritikan bukan hanya muncul dari para pakar
pendidikan, tapi juga dari orang tua bahkan sebagian guru yang faham tentang
pendidikan dan perkembangan psikologis anak.
Persoalan utama yang
disoroti pada pendidikan prasekolah adalah kurikulum pembelajaran yang
diajarkan sekolah kepada peserta didik. Sekolah-sekolah yang menjalankan
pendidikan prasekolah dianggap menyalahi tujuan pendidikan anak di usia dini.
Misalnya, di sebagian sekolah yang sudah mengajari anak membaca sebelum usia 6
tahun layaknya di Sekolah Dasar (SD) dengan tuntutan dan tujuan tertentu yang
diinginkan orang tua dan sekolah.
Berdasarkan pengamatan
penulis, saat berkunjung ke sebuah lembaga pendidikan prasekolah. Di sana
peserta didik sudah diajari membaca selayaknya di SD. Dengan alasan tuntutan
orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah favorit dan keinginan
guru agar anak didiknya diterima di sekolah yang favorit. Sebab dengan
banyaknya alumni sekolah mereka yang diterima disekolah favorit menjadi tolak
ukur prestasi lembaga pendidikan mereka dan menjadi alat untuk promosi lembaga
pendidikan mereka.
Selain itu, menurut
salah seorang guru di sekolah tersebut. Saat ini kurikulum yang ada di SD sudah
menuntut anak untuk bisa membaca. Sehingga jika anak didik mereka tidak diajari
membaca dikhawatirkan akan kesulitan mengikuti materi di SD. Hal ini pula yang
menjadi alasan orang tua menuntut guru untuk mengajari anak mereka membaca.
Mengenai pendidikan
prasekolah, sebetulnya pemerintah sudah mengatur dalam Peraturan Pemerintah No.
27 Tahun 1990, yang disebutkan bahwa :
1) Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar
lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di
jalur pendidikan sekolah atau di luar pendidikan sekolah.
2) TK adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah
yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki
pendidikan dasar.
3) Anak didik adalah peserta didik pada pendidikan
prasekolah.
4) Orang tua adalah ayah/ibu atau wali anak didik
yang bersangkutan. Selanjutnya disebutkan bahwa : bentuk satuan pendidikan
prasekolah meliputi Taman Kanak-Kanak (TK), Kelompok Bermain (KB), Tempat
Penitipan Anak (TPA), dan bentuk lain yang ditetapkan Menteri (Patmonodewo,
2003 : 59).
Lebih lanjut
Patmodewo (2003 : 62) mengatakan bahwa pendidikan sekolah benar-benar harus
dipahami karena merupakan hal mendasar dalam pendidikan anak. Terutama dalam
penyusunan kurikulum pendidikan prasekolah. Hal pokok yang harus diperhatikan
adalah dasar psikologi, yakni mendidik anak sesuai dengan tahap perkembangannya
sebagai individu yang unik dan anggota masyarakat.
Setiap anak
berkembang seiring dengan bertambahnya usia mereka, baik itu aspek motorik,
aspek afeksi, dan aspek kognisi. Anak yang normal dalam perkembagannya akan
menguasai tugas-tugas perkembangan sesuai dengan usianya. Sedangkan anak
dianggap abnormal jika kemampuannya dalam menguasai tugas-tugas perkembangan
berada dibawah (terlambat) atau diatas (melampaui) usianya. Sehingga anak-anak
yang seperti itu akan mendapatkan pendidikan khusus, agar mereka mampu
menjalani proses pendidikan secara baik, sesuai dengan kebutuhannya.
Penyelenggara
pendidikan prasekolah seharusnya memahami kondisi perkembangan psikologis anak.
Sehingga mampu mengajar dan mendidik anak secara baik dan benar. Begitu juga
dengan pembuat kebijakan, baik itu pemerintah, maupun lembaga-lembaga
pendidikan swasta, yayasan, dan lembaga lainnya yang menyelenggrakan pendidikan
prasekolah. Kesemua unsur tersebut harus serius menekuni rancangan kurikulum
yang diselenggarakan di pendidikan prasekolah.
Namun, kenyataannya
masih banyak lembaga penyelenggara pendidikan prasekolah yang tidak paham
dengan perkembangan anak. Sehingga materi pembelajaran yang diajarkan terkesan
dipaksakan, seperti mengajarkan anak membaca seperti di tingkat satuan
pendidikan dasar. Padahal menurut Patmodewo (2003 : 69) di pendidikan prasekolah,
terutama di TK, sebab guru memiliki keinginan anak didik mereka siap memasuki
SD, peserta didik sering diajarkan menulis, membaca, berhitung seperti di SD.
Padahal di TK tidak boleh diajari menulis, membaca, dan berhitung seperti di
SD. Sehingga esensi TK sebagai tempat bermain sambil belajar tidak hilang.
Konsep pendidikan
prasekolah bukanlah mengajarkan anak membaca sebagaimana di SD. Tapi, mengenalkan
anak tentang membaca. Sehingga tidak ada target yang dibebankan kepada peserta
didik untuk mencapai kemampuan membaca sebagai upaya menyiapkan peserta didik
menuju pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
Maka, berdasarkan
uraian permasalahan di atas penulis tertarik untuk menyusun sebuah makalah
ilmiah, dengan pendekatan studi literatur dan analisis yang terhadap teori
perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan mengkomparasikannya
dengan hadis-hadis Nabi SAW. yang berkaitan dengan pendidikan anak (terutama
hadis yang mengandung metode Nabi SAW. dalam pendidikan anak). Serta berbagai
pendapat ulama (ilmuwan) pendidikan Islam tentang pendidikan anak di usia dini.
II.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan penulis kaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
A.
Bagaimanakah
tahap-tahap perkembangan kognitif anak.
B.
Bagaimanakah
tuntutan materi pelajaran ketika anak memasuki usia Sekolah Dasar (SD).
C.
Diskusi :
Kapankah anak mulai diajari membaca?.
III.
Tujuan
Adapun
tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
A.
Mendeskripsikan
tahap-tahap perkembangan kognitif pada anak.
B.
Menggambarkan
tuntutan materi pelajaran ketika anak memasuki usia Sekolah Dasar (SD).
C.
Menjelaskan
waktu yang tepat mengajari anak membaca.
IV.
Tahap-Tahap
Perkembangan Kognitif Anak
Dalam khazanah
keilmuan psikologi, teori mengenai perkembangan kognitif yang masyhur adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Jean Piaget (selanjutnya ditulis Piaget).
Menurut Piaget tahap perkembangan pada usia anak terdiri dari tiga fase, yaitu
fase sensori-motorik, fase pra-operasional, dan operasional kongkrit, sedangkan
fase keempat yang dikemukakan oleh Piaget adalah tahap perkembangan kogitif
pada usia remaja awal sampai dewasa, yaitu fase operasional formal. Maka dalam
makalah ini penulis hanya menyajikan tiga fase awal perkembangan kognitif saja
dari teori Piaget. Berikut penjelasan masing-masing fase tersebut :
Pertama, fase sensori-motorik, merupakan perkembangan kognitif anak dari lahir
sampai usia dua tahun. Pada fase ini anak akan melakukan proses sensori dan
motorik dalam rangka memahami objek yang ada disekitarnya. Menurut Nurgiyantoro
(2005 : 200) fase ini merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif
anak. Tahap
ini disebut sebagai tahap sensori-motor karena perkembangan terjadi berdasarkan
informasi dari indera (senses) dan bodi (motor). Karakteristik
utama dalam tahap ini adalah bahwa anak belajar lewat koordinasi persepsi
indera dan aktivitas motor serta mengembangkan pemahaman sebab akibat atau
hubungan-hubungan berdasarkan sesuatu yang dapat diraih atau dapat berkontak
langsung. Anak mulai dapat memahami hubungannya dengan orang lain,
mengembangkan pemahaman objek secara permanen.
Pada usia 1,6─2 tahun anak akan menyenangi
aktivitas atau permainan bunyi yang mengandung perulangan-perulangan yang
ritmis (bersajak dan berirama). Permainan bunyi yang dimaksud dapat berupa
nyanyian, kata-kata yang dinyanyikan, atau kata-kata biasa dalam perkataan yang
tidak dilagukan. Bunyi-bunyian ritmis akan memicu tumbuhnya rasa keindahan pada
diri anak. Hal dapat dijumpai dan atau perlu dilakukan oleh ibu yang
mengendong, menyanyikan, atau meninabobokan si anak. Kesenangan anak terhadap
hal-hal tersebut dapat juga dipahami bahwa anak mempunyai bakat keindahan dan
menyenangi hal-hal yang terasa indah di inderanya.
Sementara itu menurut Patmonodewo (2003 : 23),
pada fase ini ketika anak sudah mampu berjalan dan memanipulasi benda-benda,
anak akan mulai memanipulasi objek-objek diluar dirinya. Anak mulai mendpatkan
suatu pemahaman bahwa benda itu ada jika ada dihadapannya dan bisa dia lihat.
Namun, jika suatu benda itu tidak ada dihadapannya berarti benda itu tidak ada
(pemahaman mengenai objek permanent), walaupun sesungguhnya benda itu ada. Pada
fase ini juga anak mulai meniru perilaku orang-orang bahkan binatang yang ada
disekitarnya dan perilaku ini akan tetap bertahan walaupun orang atau binatang
itu tidak ada lagi dihadapannya.
Misalnya ketika anak bermain ke suatu peternakan
kuda, anak melihat bagaimana seorang joki yang sedang berlatih menunggang kuda.
Ketika dirumah anak akan melakukan hal yang sama, dengan meminta ayah atau
ibunya jadi kuda-kudaan. Atau ketika di pasar atau pusat perbelanjaan anak
melihat repelika kuda-kudaan, anak akan meminta orang tuanya untuk dibelikan.
Kedua, fase pra-operasional, berada pada rentang usia dua sampai tujuh tahun.
Menurut Patmonodewo (2003 : 23) pada fase ini tahapan berpikir anak berpusat
pada penguasaan simbol-simbol (misalnya kata-kata), belum mampu menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan angka, orang dewasa memandang pola berpikir
anak diusia ini tidak logis atau pralogis. Misalnya anak diminta memperhatikan
air dalam dua gelas yang ukurannya sama dan isinya juga sama, ketika ditanya
apakah air ini jumlahnya sama? Anak akan menjawab “iya”. Namun, ketika air itu
dipindahkan ke gelas yang satu panjang dan kurang lebar dan satunya lagi pendek
tapi lebar, ketika ditanya apakah jumlah air itu sama banyaknya, maka anak akan
menjawab “tidak”.
Sebetulnya anak juga
sudah mampu merangkai kalimat-kalimat sederhana, misalnya dengan menyampaikan
pengalaman-pengalaman senang atau sedih yang pernah dia alami. Dalam tahap ini
anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang sudah mencerminkan aktivitas
mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik. Menurut Nurgiyantoro (2005 :
201) karakteristik dalam tahap ini antara lain adalah bahwa (i) anak mulai
belajar mengaktualisasikan dirinya lewat bahasa, bermain, dan menggambar
(corat-coret). (ii) Jalan pikiran anak masih bersifat egosentris, menempatkan
dirinya sebagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera dan pengalaman
langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang lain. Anak
tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. (iii) Anak mempergunakan
simbol dengan cara elementer yang pada awalnya lewat gerakan-gerakan tertentu
dan kemudian lewat bahasa dalam pembicaraan. Perkembangan kognitif pada saat
ini yang secara luar biasa adalah perkembangan bahasa dan konsep formasi. (iv)
Pada masa ini anak mengalami proses asimilasi di mana anak
mengasimilasikan sesuatu yang didengar, dilihat, dan dirasakan dengan cara
menerima ide-ide tersebut ke dalam suatu bentuk skema di dalam kognisinya.
Ketiga, fase operasional
kongkrit, merupakan fase perkembangan kognitif pada rentang usia tujuh sampai sebelas
tahun. Pada tahap ini menurut Nurgiyantoro (2005 : 202) anak mulai dapat
memahami logika secara stabil. Karakteristik anak pada tahap ini antara lain
adalah (i) anak dapat membuat klasifikasi sederhana, mengklasifikasikan objek
berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi warna, klasifikasi karakter
tertentu. (ii) Anak dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, mengurutkan
abjad, angka, besar-kecil, dan lain-lain. (iii) Anak mulai dapat mengembangkan
imajinasinya ke masa lalu dan masa depan; adanya perkembangan dari pola
berpikir yang egosentris menjadi lebih mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu
dengan sudut pandang yang berbeda. (iv) Anak mulai dapat berpikir argumentaif
dan memecahkan masalah sederhana, ada kecenderungan memperoleh ide-ide
sebagaimana yang dilakukan oleh dewasa, namun belum dapat berpikir tentang
sesuatu yang abstrak karena jalan berpikirnya masih terbatas pada situasi yang
konkret.
V.
Tuntutan
Materi Pelajaran Ketika Anak Memasuki Sekolah Dasar (SD)
Materi pelajaran yang
diajarkan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta mengacu pada standar isi
kurikulum Nasional yang telah di tetapkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) No. 22, Tahun 2006. Standar isi mencakup lingkup materi dan
tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu. Termasuk dalam Standar isi adalah kerangka dasar dan
struktur kurikulum. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap
mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
Kurikulum yang
dijalankan pada satuan pendidikan SD memiliki tuntutan atas kemampuan anak
untuk bisa membaca secara mandiri. Dalam buku-buku referensi yang diajarkan
sudah memuat bacaan-bacaan dan hitungan-hitungan yang rumit untuk anak seusia
kelas satu SD (pada makalah ini menyoroti tuntutan kurikulum pada siswa kelas
satu SD, sebab memiliki hubungan yang erat dengan kesiapan kelanjutan siswa
dari pendidikan prasekolah).
Selain itu, ketika
ujian pun anak dituntut untuk membaca soal dan menulis jawaban secara mandiri.
Soal-soal yang disajikan pun menuntut siswa untuk terampil membaca dan memahami
maksud soal. Sehingga yang terjadi adalah orang tua dan guru pada pendidikan
prasekolah mengajarkan dan menuntut anak untuk bisa membaca sebagai persiapan
ke jenjang SD. Hal ini juga terjadi pada guru kelas satu SD, sebagaimana yang
dikatakan oleh Karli (2010 : 62) bahwa guru di SD kelas satu menjadi salah
kaprah, mereka menginginkan agar anak didik mereka sudah bisa membaca dengan
baik. Guru SD menganggap kewajiban mengajarkan membaca adalah tanggungjawab
guru TK. Padahal pada kurikulum TK anak didik hanya diajarkan untuk mengenal
huruf dan angka. Bukan pada tujuan kemampuan membaca selayaknya SD. Padahal
pelajaran bahasa Indonesia pada kelas satu SD merupakan dasar pengajaran membaca
secara baik.
Akibat dari tuntutan
tersebut adalah ketika anak memasuki SD. Anak-anak yang tidak bisa membaca
dengan baik mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Sehingga diantara
mereka ada yang tinggal kelas, sebab tidak bisa menjawab soal-soal ujian yang
disajikan. Padahal mereka tidak bisa bukan karena kemampuannya lemah, tapi
akibat dari kurang pahamnya pendidik dan pembuat kebijakan tentang kebutuhan
mereka.
Sayangnya, anak-anak
yang belum bisa membaca dengan baik dan lancar di kelas satu SD, juga kurang
mendapat perhatian dari gurunya. Sebab fokus pengajaran bukan lagi pada
kemampuan membaca. Maka guru juga beranggapan bahwa orang tualah yang
bertanggungjawab atas kemampuan membaca pada anaknya. Sehingga guru menyarankan
orang tua untuk mengadakan les tambahan untuk anak-anak mereka.
VI.
Diskusi
: Kapan Anak Mulai Diajari Membaca ?
Di awal telah
dikemukakan bahwa pentingnya perkembangan anak di permulaan masa kehidupan,
yaitu dalam rentang usiah 0-5 tahun. Sesuai juga dengan apa yang dikemukakan
oleh Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya, dimana usia 0-5 tahun awal
tahap perkembangan kognitif anak baru berada pada tahapan seosori motori (0-2
tahun) dan separuh tahapan pra-operasional (2-7 tahun). Begitu juga dengan
hukum perkembangan bahwa setiap orang memiliki tugas-tugas perkembangan sesuai
dengan perkembangannya. Sehingga kesalahan-kesalahan pada tahapan perkembangan
awal akan mempengaruhi tahapan perkembangan selanjutnya.
Menurut Jawati (2013 :
251) pendidikan prasekolah merupakan pendidikan yang
sangat fundamental dalam memberikan kerangka dasar terbentuk dan berkembangnya
dasar-dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan pada anak. Menurut Santoso (
dalam Jawati 2013 : 251) menyatakan bahwa “Pendidikan anak prasekolah merupakan
pendidikan yang menentukan terbentuknya kepribadian anak”. Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan anak prasekolah di rentang usia 0-7 tahun sangat penting dalam
perkembangan pengetahuan, perilaku, sikap, dan keterampilan anak di masa yang
akan datang.
Tujuan dari pendidikan prasekolah sebagai dasar
pendidikan dan pemupukan potensi anak akan rusak, jika terjadi
kesalahan-kesalahan elementer dalam proses pendidikan dan pengajaran. Sebab
begitu penting dan berpengaruhnya pendidikan prasekolah terhadap pendidikan
anak selanjutnya yang berkaitan juga dengan faktor psikologis anak.
Kembali ke permasalahan kognitif anak,
merupakan salah satu aspek psikologis dari perkembangan anak yang menjadi
sasaran pendidikan di sekolah. Menurut Saputra dan Rudiyanto (dalam Gustiana,
2011 : 192) bahwa perkembangan kognitif sangat penting untuk dikembangkan sejak
masa kanak-kakak. Oleh sebab itu guru harus mengembangkan metode yang tepat
dalam mengajarkan materi-materi yang berkaitan dengan kognitif anak, seperti membaca.
Apabila metode pengajarannya tepat, kemudian
materi yang diajarkan juga sesuai dengan kemampuan kognitif anak. Maka anak
didik akan menjadi pribadi yang berkualitas dan potensi yang mereka miliki akan
berkembang dengan baik sesuai dengan tugas-tugas pada tahapan perkembangan yang
harus mereka lalui.
Adapun bila terjadi kesalahan dalam pendidikan
anak pada pendidikan prasekolah. Maka akan berdampak buruk juga terhadap
perkembangan kognitifnya dimasa yang akan datang. Bahkan berkorelasi juga
dengan perkembangan psikologis anak secara umum, seperti pengaruh pada aspek
afeksi dan motorik anak. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Piaget
(dalam Gustiana, 2011 : 192) bahwa pada masa kanak-kanak kemampuan kognitif
berjalan seiring dengan kemampuan motorik anak. Samsuddin (dalam Gustiana, 2011 :
192) juga mengungkapkan bahwa “Perkembangan kognitif dan perkembangan motorik
secara konstan berinteraksi, perkembangan kognitif lebih kuat bergantung pada
kemampuan intelektual proses interaksi”. Guru harus mengembangkan metode-metode
pembelajaran yang paling tepat bagi anak, khususnya guru taman kanak-kanak.
Pengembangan metode tersebut berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan
perkembangan anak, dimana para ahli sering menyebutnya dengan istilah DAP (Developmentally
Appropriate Practice).
Begitu juga halnya dengan aspek afeksi, kemampua kognitif
yang baik pada anak akan menimbulkan daya afeksi yang memadai ketika anak
berinteraksi dengan kehidupannya, pergaulan sosial, dan tekanan yang berada
dari luar dirinya. Kemampuan mengolah emosi dan perasaan dalam lingkungan
sosial bergantung pada kemampuan anak dalam memahami situasi sosialnya. Anak
akan rentan terhadap tekanan lingkungannya bila ia tidak mampu memahami dan
belajar tentang lingkungan sosialnya yang kompleks. Misalnya, ketika mainannya
diambil temannya, anak yang memiliki kemampuan kognisi yang baik akan mampu
mengatasi masalah itu dengan cara-cara yang komunikatif dan solutif tanpa
menimbulkan dampak buruk bagi dirinya maupun orang lain.
A.
Kenalkan
anak dengan buku sejak lahir
Para
ahli neurologi mengatakan bahwa perkembangan otak mengalami peningkatan yang
luar biasa ketika anak berusia 0-6 tahun. Bahkan delapan puluh persen otak
manusia dewasa ditentukan ketika berada di usia dua tahun pertama. Ini
menunjukkan pentingnya awal-awal masa kehidupan manusia terhadap perkembangan
di masa yang akan datang. Sehingga pendidikan anak usia dini harus benar-benar
maksimal dan ditangani secara baik.
Sayangnya,
dalam pendidikan kita belum semua pendidik, bahkan pembuat kebijakan paham
tentang hal ini. Sehingga banyak terjadi kelemahan di berbagai bidang dalam
menangani pendidikan anak usia dini.
Yang
perlu kita ketahui bahwa fase-fase perkembangan yang sudah berlalu waktunya
tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang. Maka suatu keniscayaan
bila terjadi kesalahan dalam pendidikan anak di usia dini. Sebab mengajarkan
anak tidak pada waktu yang tepat akan mencederai perkembangan anak itu sendiri.
Namun, jika pendidik mengajarkan anak di waktu yang tepat akan berdampak baik
bagi perkembangan otak, bahkan menurut Adhim (2004 : 47) dalam kasus Jennifer
yang dia kemukakan dalam bukunya “Membuat Anak Gila Membaca”, ransangan yang
tepat di usia dini akan membuat IQ anak meningkat dan otak bekerja dengan baik.
Bahkan menurut Susanto (2013 : 66) ransangan yang diberikan pada anak akan berpengaruh
pada peningkatan minat belajar anak. Karena, minat merupakan faktor yang sangat
penting dalam kegitan belajar pada anak.
Untuk
meransang otak anak bisa dilakukan sejak lahir dimana tahap perkembangan
kognitif anak mulai berkembang melalui ransangan sensori dan motorik (0-2
tahun). Pada usia ini orang tua bisa melakukan komunikasi verbal maupun
non-verbal terhadap anak. Orang tua mulai mengajak anak berbicara, walaupun
masih one way communication. Tapi anak sudah mulai belajar merespon
dengan senyuman atau gerakan matanya, bahkan kadang bersuara dengan bahasanya.
Orang tua juga bisa mengajarkan anak komunikasi non verbal atau bahasa tubuh
dengan senyuman, tertawa kecil, atau ekspresi wajah lainnya. Bahkan, pengalaman
orang tua terutama ibu bisa merasakan emosi bayinya dipengaruhi oleh emosional
ibunya. Ini dirasakan para ibu ketika dia stress, anaknya sering menangis dan
gelisah.
Dengan
begitu, mengenalkan anak pada bacaan sudah bisa dilakukan. Membaca menurut
Whitehurst dan Lonigan (1998) merupakan proses
menerjemahkan kode-kode visual ke dalam bahasa yang bermakna. Pada tahap awal,
membaca dalam sebuah sistem abjad melibatkan huruf decoding menjadi sesuai dengan suara dan menghubungkan suara-suara
dalam kata-kata tunggal. Contohnya, anak yang belajar membaca secara otodidak
ketika melafalkan kata “Masyhur” akan terdengan keluar bunyi “Ma-Sy-Hur”.
Sehingga orang dewasa akan mendorong anak untuk melafalkan bunyi “Masy-Hur”.
Orang
tua bisa membacaan buku-buku bergizi yang meransang otak anak atau membacakan
al-Qur’an di dekat anak. Anak mulai tertarik dengan suara-sura yang bervariasi
dan mengandung ritmis. Menurut Adhim (2004 : 48), orang tua bisa membacakan
buku pada anak dengan suara yang berubah-ubah, kadang meninggi, kadang rendah,
sehingga anak benar-benar terlibat secara psikologis. Apa lagi dengan bacaan
Al-Qur’an secara tartil dan dilantunkan dengan indah oleh Qari’nya,
tentu ini akan sangat bermanfaat sekali bagi otak anak, selain bacaan itu indah
juga mengandung do’a-do’a dan pujian kepada Allah Swt.
Perkembangan
bayi dari waktu ke waktu akan terus mengalami peningkatan. Setiap minggu,
setiap bulan orang tua akan merasakan perubahan pada bayinya, terutama dalam
kemampuan motorik. Lambat laun anak akan mulai mengenali apa yang berada di
sekitarnya, buku-buku yang dibacakan orang tua mulai dikenali anak, bahkan anak
mulai belajar memegang buku-buku itu, membolak-baliknya, kadang sampai masuk
kedalam mulut anak.
Suara-suara
yang diperdengarkan pun mulai ditiru anak, tak jarang di usia hampir dua tahun
anak mulai bisa memanggil papa, mama, kakak, “maam” (makan), dan sebagainya.
Lihat saja anak usia dua tahunan yang sering diajak ayahnya sholat berjamaah di
masjid, dia mulai menirukan takbiratul ikram, atau kadang suara azan
yang sering dia dengar.
Jika
anak sudah mulai menguasai kemampuan motorik yang lebih baik, yaitu ketika
memasuki fase pra-operasional (2-7 tahun). Maka orang tua bisa mulai
membuka-buka buku bersama anak. Mengajak anak-anak berinteraksi dalam membaca
buku. Pada fase ini pun orang tua tua bisa mengenalkan anak huruf, bahasa
simbolik sederhana, dan tetap dengan prinsip anak tidak merasa terpaksa,
sehingga tidak ada penolakan dari anak. Orang tua harus memahami psikologis
anak dan tau waktu-waktu yang tepat dan nyaman bersama anak.
Ada baiknya
juga orang tua belajar berbagai metode untuk mengenalkan anak membaca sejak
dini. Orang tua harus banyak membaca dan belajar, bahkan berdiskusi bersama
orang tua yang berpengalaman atau para pakar. Sehingga orang tua betul-betul
mengenalkan membaca pada anak, bukan mengajari anak membaca sebagaimana di SD.
B.
Pilihlah
bacaan yang sesuai dengan kebutuhan anak
Anak
belajar membaca sesuai dengan caranya, maka tidak bisa disamakan dengan orang
dewasa. Kadangkala anak menikmati membolak-balik buku, menggigit,
memukul-mukul, dan sebagainya. Sehingga orang tua harus peka terhadap perilaku
anak. Karena buku-buku yang diberikan orang tua tak sedikit yang rusak, karena
perilaku anak. Namun, ketika anak mulai memahami makna perintah dan larangan
orang tua bisa menjelaskan dan mengajari anak cara memperlakukan buku dengan
baik.
Orang
tua harus sabar, dan memahami anak dari sudut pandang anak, bukan sudut pandang
orang dewasa. Sehingga orang tua harus menghindari berbagai reaksi yang membuat
anak hilang minat bacanya.
Sebagai
orang tua, plihkanlah anak bacaan-bacaan yang bergizi dan sesuai kebutuhan
anak. Sebab melalui bacaan-bacaan yang dipilihkan orang tua, anak akan belajar
tentang sesuatu, apakah itu norma, atau yang lainnya. Informasi-informasi ini
akan terus tersimpan dalam memori anak sampai dia dewasa nanti.
Orang
tua pun harus pandai, memilah mana bacaan yang cocok untuk anak. Sesuai dengan
perkembangan kognitif anak, misalnya jangan memberikan bacaan-bacaan yang
terlalu akademis pada anak. Sebab anak yang masih berada di usia 0-7 tahun
tidak akan tertarik dengan bacaan tersebut. Anak akan suka pesan-pesan agama
dan moral disampaikan melalui cerita-cerita singkat dan menarik. Orang tua juga
bisa mengenalkan anak dengan alam sekitarnya dengan berbagai buku-buku anak
yang langsung bergambar, seperti komik dan cerita bergambar yang lebih menarik
minat anak.
Perlu
diperhatikan juga, jika orang tua memiliki buku-buku yang tidak layak
dikonsumsi anak, seperti majalah dewasa. Maka jauhkanlah dari jangkauan
anak-anak. Orang tua bisa menyimpannya di tempat tertutup atau tempat yang
tinggi. Sehingga anak terhindar dari informasi-informasi yang belum pantas
untuk dia ketahui. Apalagi ketika anak sudah mulai bisa membaca, tentu akan
sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Maka jauhkanlah anak dari buku-buku
yang tidak layak dia konsumsi.
C.
Waktu
yang tepat mengajari anak membaca
Jamal
Abdur Rahman di dalam bukunya “Kaifa Rabbaahumun Nabiyyul Amiin” yang sudah di
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi (2008
: 151) mengemukakan tentang hadis dari Ibnu Umar yang pernah mengadakan teka-teki
untuk menguji dan mengetahui potensi kesiapan belajar anak.
“Sesungguhnya diantara pepohonan yang tumbuh di
daerah pedalaman terdapat sebuah pohon yang dedaunannya tidak pernah gugur, dan
sesungguhnya itulah perumpamaan seorang muslim, maka ceritakanlah kepadaku
pohon apakah itu? Orang-orang menebaknya dengan berbagai ‘nama’ pohon yang
tumbuh di pedalaman, sedangkan dalam hatiku (ibnu Umar) terdetik bahwa pohon
yang dimaksud adalah pohon kurma, tetapi aku merasa malu untuk mengutarakannya
(mengingat waktu itu usiaku masih terlalu muda). Selanjutnya, mereka pun
menyerah dan berkata :”ceritakanlah kepada kami, wahai Rasulallah, pohon apakah
itu?, Rasulallah menjawab :”Itulah pohon kurma” (HR.
Bukhari, kitabul ‘ilmi 59 dan Muslim kitabu shifati wal jannah 5027).
Dalam
riwayat lain, dikatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan kisah itukepada ayahnya
(Umar bin Khatab), lalu ayahnya mengatakan bahwa kalau Ibnu Umar menyampaikan
jawaban itu, maka itu lebih dia sukai, dari pada diam (Muslim 5027). Ha ini
menggambarkan bahwa Umar bin Khatab menstimuasi anaknya untuk berani
berpendapat dan berbicara di muka khalayak ramai, sekaligus menguji kesiapan
anaknya dalam belajar.
Menurut
Adhim (2004 : 29-30), waktu yang tepat untuk mengajari anak membaca adalah
ketika anak siap untuk membaca (reading readiness). Umumnya anak
memiliki kesiapan membaca pada usia enam tahun. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Eccles (1999) bahwa Pergeseran penting
dalam keterampilan kognitif anak-anak terjadi pada usia sekitar enam tahun.
Meskipun sebenarnya perubahan kognitif juga terjadi selama masa bayi dan usia
prasekolah (seperti anak-anak belajar bahasa ibu mereka), tapi hampir semua
teori perkembangan menunjukkan usia enam tahun sebagai waktu ketika anak-anak
benar-benar mulai mempunyai "alasan" untuk belajar. Namun, menurut penelitian mutakhir yang
dikutip oleh J.P. Chaplin anak memiliki kesiapan membaca lebih awal, yaitu saat
anak berusia dua hingga tiga tahun.
Lebih
lanjut Adhim juga mengungkapkan dalam bukunya “Membuat Anak Gila Membaca”
tentang teori klasik dari Havigurst dan dari Crow & Crow bahwa mengajarkan
anak haruslah ketika anak dalam kondisi tepat untuk belajar (teachable
moment). Orang tua harus mengerti perkembangan anak dan kesiapan anak untuk
belajar, sehingga bisa menghindari akibat-akibat negatif terhadap perkembangan
anak.
Teori
klasik ini kemudian berpengaruh juga pada kebijakan pemerintah di negeri kita
ini. Pada pendidikan prasekolah guru dilarang mengajari anak membaca. Jika
dicermati peraturan itu berdampak baik juga, dengan peraturan ini akan
mengendalikan ambisi guru dan orang tua untuk mendidik anak, sehingga mengalami
kelebihan belajar. Sebab, ironi sekali saat ini sebagian orang tua yang
menitipkan anak-anak mereka di pendidikan prasekolah “full day school”,
ditambah juga dengan les tambahan membaca. Tentu perilaku orang tua seperti ini
akan membunuh potensi anak. Sehingga prinsip mengenalkan anak membaca akan
berubah mengajari anak membaca seperti di SD.
Menurut
Burns (dalam Adhim, 2004 : 31) bahwa kesiapan membaca pada anak dapat
dirangsang dengan memberikan pengalaman pramembaca. Artinya, berlawanan dengan
teori klasik di atas, bahwa orang tua atau pendidik tidak harus menunggu secara
pasif kesiapan belajar anak. Orang tua bisa merangsang anak sejak bayi dengan
kegiatan pramembaca, sebagai mana yang telah penulis uraikan pada bagian
sebelumnya.
Lalu,
bagaimana mengkomromikan kedua pendapat yang bertolak belakang ini? Apakah
orang tua memilih salah satunya atau mengambil jalan tengah dengan
mengkombinaskian, kalau dikombinasikan bagaimana caranya?
Di atas,
penulis juga sudah mengungkapkan bahwa masing-masing anak itu unik. Antara anak
yang satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Maka, dalam hal mengenalkan
membaca atau kesiapan belajar orang tua pun tidak bisa menyamaratakan
anak-anaknya. Orang tua bisa saja mengajarkan anak membaca dibawah usia tujuh
tahun, asal orang tua benar-benar tahu bahwa anaknya sudah siap untuk belajar.
Bahkan, orang tua tidak bisa mengajari anaknya membaca di usia tujuh tahun, karena
anaknya belum siap.
Untuk
mengetahui dan mendeteksi secara dini kesiapan belajar anak. Maka orang tua
bisa melakukan kegiatan-kegiatan pramembaca bersama anak. Orang tua bisa
mengenalkan anak dengan membaca buku, sehingga seiiring perkembangan anak orang
tua akan mudah mengenali kesiapan belajar pada anaknya. Maka bukan suatu hal
yang mustahil anak sudah bisa membaca di bawah usia tujuh tahun. Namun, perlu
diperhatikan bahwa tidak ada tuntutan anak harus bisa membaca dan diajari
mebaca sebagaimana di SD. Di usia prasekolah orang tua hanya mengenalkan anak
membaca, bukan mengajarkan anak membaca dengan tuntutan tujuan-tujuan tertentu.
VII.
Penutup
Pendidikan anak di
usia dini merupakan subuah usaha membangun fondasi intelektual anak. Jika
fondasi itu kuat maka bangunan intelektual anak akan kuat, sebaliknya jika
fondasi itu lemah maka akan lemah pula bangunan intelektual anak. Maka penting
bagu para guru, orang tua, maupun masyarakat untuk memperhatikan pendidikan
anak sejak usia dini.
Para pendidik,
khususnya orang tua dan guru harus memahami karakteristik anak usia dini,
terutama aspek psikologis. Sebab aspek ini sangat berpengaruh dalam proses
belajar anak. Mengetahui dan memahami karakteristik anak usia dini akan
membantu dan memudahkan orang tua dalam mengajari anak-anak mereka tentang
ilmu.
Kesiapan anak dalam
belajar juga merupakan faktof penting dalam pendidikan anak. Orang tua harus
benar-benar memahami tentang kesiapan belajar anak. Sehingga anak tidak merasa
terpaksa untuk belajar, sehingga bisa menghindari penolakan dari anak. Sebab,
jika terjadi penolakan pun orang tua tisak boleh memaksa anak untuk belajar.
Hal ini harus didukung oleh pemahaman orang tentang “anak itu unik”, sehingga
masing-masing anak memiliki waktunya untuk siap belajar.
Untuk mengetahui kapan
anak siap belajar (membaca), orang tua bisa melakukan stimulasi terhdap
kemampuan anak, yaitu dengan mengenalkan pada anak buku dan bacaan sejak bayi.
Tapi, orang tua harus memahami bahwa pada usia ini anak bukan diajari membaca
sebagaimana usia SD.
Menurut para pakar
pendidikan rata-rata usia anak siap untuk diajari membaca adalah ketika berumur
6 tahun. tapi ada juga yang berpendapat diantara usia 2 sampai 3 tahun. Namun,
pada usia 2 sampai tiga tahun kebanyakan pakar lebih sepakat mengenalkan
membaca (pramembaca), bukan mengajari membaca sebagaimana di SD. Hal ini juga
senada dengan tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan oleh
Piaget, bahwa pengenalan simbol-simbol yang memiliki makna, akan bisa dipahami
anak ketka dia beranjak dari tahap praoperasional ke operasional formal.
VIII.
Daftar
Pustaka
Adhim,
F. (2004). Membuat anak gila membaca. Bandung : Al-Bayan, Mizan.
Daniels,
D.H, dan Shumow, L. (2003). Child development and classroom teaching: a
review of the literature and implications for educating teachers. Journal
Aplied Developmental Psychology, 23, 2003.
Eccles,
J.S. (1999). The Development of Children Ages 6 to 14. Juornal The Future of
Children : When School is Out, 9, 2, 1999.
Gutian,
A,D. (2011). Pengaruh permainan modifikasi terhadap kemampuan motorik kasar dan
kognitif anak usia dini : studi kuasi eksperimen pada kelompok B TK Kartika dan
TK Lab. UPI. Jurnal UPI, edisi Khusus, 2011.
Hastuti,
D., Alfiasari., Chandriyani. (2010). Nilai anak, dan stimulasi psikososial, dan
perkembangan kognitif anak pada usia 2-5 tahun pada keluarga Rawah Pangan di
Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen,
Vol. 3, No. 1, 2010.
Jawati,
R. (2013). Peningkatan kemampuan kognitif anak melalui permainan Ludo Geometri
di PAUD Habibu Ummi II. Jurnal Spektrum PLS, Vol. 1, No. 1, 2013.
Patmodewo,
S. (2003). Pendidikan anak prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta.
Rahman,
J,A. (2008). Tahapan mendidik anak : teladan Rasulallah Saw, edisi
terjemahan, cetakan ke 8. Bandung : Irsyad Baitus Salam.
Susanto,
A. (2013). Teori belajar dan pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta :
Kencana.
Karli,
H. (2010). Membaca dan menulis untuk anak usia dini melalui aktivitas dan
permainan yang menyenangkan. Jurnal Pendidikan Penabur, No. 15, Tahun ke
9, 2010.
Nurgiyantoro,
B. (2005). Tahapan perkembangan anak dan pemilihan bacaan sastra anak. Jurnal Cakrawala
Pendidikan, Mo. 25, XXIV.
Whitehurst,
G.J dan Lonigan, C.J. (1998). Child Development and Emergent Literacy. Child
Development, Vol. 69, No. 3, 1998.
Woodhead,
M. (2005). Early Childhood Development: a
question of rights. International Journal of Early Childhood, November,
2005.
Woodhead,
M. (2007). Changing perspectives on early
childhood: theory, research and policy. Paper : Education for All Global Monitoring Report 2007 Strong
foundations: early childhood care and education. UNESCO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar