Cari Blog Ini

Jumat, 24 Oktober 2014

Kapan Anak Diajari Membaca?

KAPAN ANAK DIAJARI MEMBACA ?

I.            Pendahuluan
Menurut Woodhead (2006), anak adalah masa ketika manusia sangat tergantung pada rasa aman, hubungan responsif dengan orang lain (orang dewasa, saudara dan teman sebaya), bukan hanya untuk menjamin kelangsungan hidup mereka, tetapi juga keamanan emosional mereka, integrasi sosial dan kompetensi kognitif dan budaya. Anak merupakan manusia kecil yang penuh dengan keunikan, lucu, dan lugu. Seketika mereka bisa tertawa, tapi tiba-tiba bisa juga menangis yang sebabnya hal sepele. Tingkah laku mereka yang polos membuat orang dewasa tertawa, terharu, kadang kala juga kebingungan. Sebab apa yang anak-anak inginkan tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh orang dewasa.
Anak berbeda dengan orang dewasa dan membutuhkan penanganan khusus. Sehingga anak menjadi perhatian setiap bangsa, misalnya saja dalam Deklarasi Jenewa (Woodhead, 2005) tentang Hak Anak, diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1924 dinyatakan bahwa "Anak harus diberikan sarana yang dibutuhkan untuk perkembangan normalnya, baik material maupun spiritual ". Hal ini disadari oleh seluruh bangsa di dunia, sebab anak adalah masa depan satu bangsa.
Sistem pendidikan yang ada juga diseting sedemikian rupa, guna memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak. Seorang guru harus mampu memahami anak secara keseluruhan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bronfenbrenner, Olson, dan Bruner (dalam Daniels dan Shumow, 2003) bahwa Selain memahami pikiran anak (siswa), guru juga harus memahami bahwa setiap siswa adalah individu yang mengembangkan pengetahuannya sendiri dan hubungan dalam berbagai konteks, terutama keluarga, sekolah, dan masyarakat. maka peran guru sangat penting sekali dalam pendidikan anak, gurujuga dituntut memiliki relasi yang baik dengan orang tua, dan masyarakat dimana anak tinggal.
Masa-masa yang rentan dari kehidupan seseorang berada pada lima tahun pertama dalam kehidupannya yang merupakan pondasi bagi perkembangan selanjutnya. Menurut Anwar (dalam Hastuti, Alfiasari, dan Chandrayani, 2010 : 27) apabila pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangan seorang anak berjalan secara optimal diharapkan pada masa dewasa akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas.
Masa anak merupakan usia keemasan (Golden Age) dalam tahap perkembangan manusia, yaitu pada masa perkembangan di umur 0-5 tahun. Sebagian besar psikolog percaya bahwa perkembangan di usia 0-5 tahun akan berpengaruh pada masa depan seorang manusia, sukses atau gagalnya tahap-tahap perkembangan setelah usia lima tahun ditentukan oleh capaian perkembangan anak pada usia 0-5 tahun.
Keyakinan terhadap pengaruh Golden Age terhadap perkembangan anak menjadikan para orang tua melakukan berbagai cara agar anaknya mencapai perkembangan maksimal pada usia 0-5 tahun awal. Banyak orang tua yang rela membayar mahal-mahal demi kesempurnaan perkembangan anak mereka di usia 0-5 tahun. Sehingga tak heran jika saat ini muncul berbagai tawaran pendidikan anak usia dini atau prasekolah yang menawarkan berbagai metode pendidikan untuk anak prasekoah.
Terminologi anak prasekolah dijelaskan oleh Biechler dan Snowman (dalam Patmonodewo, 2003 : 19) yaitu mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Di Indonesia anak sudah mengikuti Tempat Penitipan Anak (TPA) pada usia 3 bulan - 5 tahun, Kelompok Bermain (KB) di usia 3 tahun, sedangkan di usia 4-6 tahun mereka mengikuti program Taman Kanak-kanak (TK). Hal ini menunjukkan di Indonesia anak lebih awal mengikuti pendidikan prasekolah.
Pada usia 7 tahun anak akan memasuki usia sekolah, yakni pendidikan di Sekolah Dasar (SD). Pendidikan SD akan berakhir ketika anak berusia 13 tahun, saat dimana anak mulai memasuki usia remaja awal.
Jika dicermati, pendidikan anak di usia prasekolah yang diterapkan oleh berbagai lembaga pendidikan di Indonesia masih banyak menuai kritikan dari berbagai pihak. Pendidikan prasekolah yang diterapkan dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis anak. Banyak pakar menilai pendidikan prasekolah di Indonesia bisa ‘membunuh’ potensi para peserta didiknya. Kritikan bukan hanya muncul dari para pakar pendidikan, tapi juga dari orang tua bahkan sebagian guru yang faham tentang pendidikan dan perkembangan psikologis anak.
Persoalan utama yang disoroti pada pendidikan prasekolah adalah kurikulum pembelajaran yang diajarkan sekolah kepada peserta didik. Sekolah-sekolah yang menjalankan pendidikan prasekolah dianggap menyalahi tujuan pendidikan anak di usia dini. Misalnya, di sebagian sekolah yang sudah mengajari anak membaca sebelum usia 6 tahun layaknya di Sekolah Dasar (SD) dengan tuntutan dan tujuan tertentu yang diinginkan orang tua dan sekolah.
Berdasarkan pengamatan penulis, saat berkunjung ke sebuah lembaga pendidikan prasekolah. Di sana peserta didik sudah diajari membaca selayaknya di SD. Dengan alasan tuntutan orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah favorit dan keinginan guru agar anak didiknya diterima di sekolah yang favorit. Sebab dengan banyaknya alumni sekolah mereka yang diterima disekolah favorit menjadi tolak ukur prestasi lembaga pendidikan mereka dan menjadi alat untuk promosi lembaga pendidikan mereka.
Selain itu, menurut salah seorang guru di sekolah tersebut. Saat ini kurikulum yang ada di SD sudah menuntut anak untuk bisa membaca. Sehingga jika anak didik mereka tidak diajari membaca dikhawatirkan akan kesulitan mengikuti materi di SD. Hal ini pula yang menjadi alasan orang tua menuntut guru untuk mengajari anak mereka membaca.
Mengenai pendidikan prasekolah, sebetulnya pemerintah sudah mengatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1990, yang disebutkan bahwa :
1)      Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di luar pendidikan sekolah.
2)      TK adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar.
3)      Anak didik adalah peserta didik pada pendidikan prasekolah.
4)      Orang tua adalah ayah/ibu atau wali anak didik yang bersangkutan. Selanjutnya disebutkan bahwa : bentuk satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-Kanak (TK), Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA), dan bentuk lain yang ditetapkan Menteri (Patmonodewo, 2003 : 59).

Lebih lanjut Patmodewo (2003 : 62) mengatakan bahwa pendidikan sekolah benar-benar harus dipahami karena merupakan hal mendasar dalam pendidikan anak. Terutama dalam penyusunan kurikulum pendidikan prasekolah. Hal pokok yang harus diperhatikan adalah dasar psikologi, yakni mendidik anak sesuai dengan tahap perkembangannya sebagai individu yang unik dan anggota masyarakat.
Setiap anak berkembang seiring dengan bertambahnya usia mereka, baik itu aspek motorik, aspek afeksi, dan aspek kognisi. Anak yang normal dalam perkembagannya akan menguasai tugas-tugas perkembangan sesuai dengan usianya. Sedangkan anak dianggap abnormal jika kemampuannya dalam menguasai tugas-tugas perkembangan berada dibawah (terlambat) atau diatas (melampaui) usianya. Sehingga anak-anak yang seperti itu akan mendapatkan pendidikan khusus, agar mereka mampu menjalani proses pendidikan secara baik, sesuai dengan kebutuhannya.
Penyelenggara pendidikan prasekolah seharusnya memahami kondisi perkembangan psikologis anak. Sehingga mampu mengajar dan mendidik anak secara baik dan benar. Begitu juga dengan pembuat kebijakan, baik itu pemerintah, maupun lembaga-lembaga pendidikan swasta, yayasan, dan lembaga lainnya yang menyelenggrakan pendidikan prasekolah. Kesemua unsur tersebut harus serius menekuni rancangan kurikulum yang diselenggarakan di pendidikan prasekolah.
Namun, kenyataannya masih banyak lembaga penyelenggara pendidikan prasekolah yang tidak paham dengan perkembangan anak. Sehingga materi pembelajaran yang diajarkan terkesan dipaksakan, seperti mengajarkan anak membaca seperti di tingkat satuan pendidikan dasar. Padahal menurut Patmodewo (2003 : 69) di pendidikan prasekolah, terutama di TK, sebab guru memiliki keinginan anak didik mereka siap memasuki SD, peserta didik sering diajarkan menulis, membaca, berhitung seperti di SD. Padahal di TK tidak boleh diajari menulis, membaca, dan berhitung seperti di SD. Sehingga esensi TK sebagai tempat bermain sambil belajar tidak hilang.
Konsep pendidikan prasekolah bukanlah mengajarkan anak membaca sebagaimana di SD. Tapi, mengenalkan anak tentang membaca. Sehingga tidak ada target yang dibebankan kepada peserta didik untuk mencapai kemampuan membaca sebagai upaya menyiapkan peserta didik menuju pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
Maka, berdasarkan uraian permasalahan di atas penulis tertarik untuk menyusun sebuah makalah ilmiah, dengan pendekatan studi literatur dan analisis yang terhadap teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan mengkomparasikannya dengan hadis-hadis Nabi SAW. yang berkaitan dengan pendidikan anak (terutama hadis yang mengandung metode Nabi SAW. dalam pendidikan anak). Serta berbagai pendapat ulama (ilmuwan) pendidikan Islam tentang pendidikan anak di usia dini.

II.            Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
A.    Bagaimanakah tahap-tahap perkembangan kognitif anak.
B.     Bagaimanakah tuntutan materi pelajaran ketika anak memasuki usia Sekolah Dasar (SD).
C.     Diskusi : Kapankah anak mulai diajari membaca?.

III.            Tujuan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
A.    Mendeskripsikan tahap-tahap perkembangan kognitif pada anak.
B.     Menggambarkan tuntutan materi pelajaran ketika anak memasuki usia Sekolah Dasar (SD).
C.     Menjelaskan waktu yang tepat mengajari anak membaca.




IV.            Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Anak
Dalam khazanah keilmuan psikologi, teori mengenai perkembangan kognitif yang masyhur adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Jean Piaget (selanjutnya ditulis Piaget). Menurut Piaget tahap perkembangan pada usia anak terdiri dari tiga fase, yaitu fase sensori-motorik, fase pra-operasional, dan operasional kongkrit, sedangkan fase keempat yang dikemukakan oleh Piaget adalah tahap perkembangan kogitif pada usia remaja awal sampai dewasa, yaitu fase operasional formal. Maka dalam makalah ini penulis hanya menyajikan tiga fase awal perkembangan kognitif saja dari teori Piaget. Berikut penjelasan masing-masing fase tersebut :
Pertama, fase sensori-motorik, merupakan perkembangan kognitif anak dari lahir sampai usia dua tahun. Pada fase ini anak akan melakukan proses sensori dan motorik dalam rangka memahami objek yang ada disekitarnya. Menurut Nurgiyantoro (2005 : 200) fase ini merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif anak. Tahap ini disebut sebagai tahap sensori-motor karena perkembangan terjadi berdasarkan informasi dari indera (senses) dan bodi (motor). Karakteristik utama dalam tahap ini adalah bahwa anak belajar lewat koordinasi persepsi indera dan aktivitas motor serta mengembangkan pemahaman sebab akibat atau hubungan-hubungan berdasarkan sesuatu yang dapat diraih atau dapat berkontak langsung. Anak mulai dapat memahami hubungannya dengan orang lain, mengembangkan pemahaman objek secara permanen.
Pada usia 1,6─2 tahun anak akan menyenangi aktivitas atau permainan bunyi yang mengandung perulangan-perulangan yang ritmis (bersajak dan berirama). Permainan bunyi yang dimaksud dapat berupa nyanyian, kata-kata yang dinyanyikan, atau kata-kata biasa dalam perkataan yang tidak dilagukan. Bunyi-bunyian ritmis akan memicu tumbuhnya rasa keindahan pada diri anak. Hal dapat dijumpai dan atau perlu dilakukan oleh ibu yang mengendong, menyanyikan, atau meninabobokan si anak. Kesenangan anak terhadap hal-hal tersebut dapat juga dipahami bahwa anak mempunyai bakat keindahan dan menyenangi hal-hal yang terasa indah di inderanya.
Sementara itu menurut Patmonodewo (2003 : 23), pada fase ini ketika anak sudah mampu berjalan dan memanipulasi benda-benda, anak akan mulai memanipulasi objek-objek diluar dirinya. Anak mulai mendpatkan suatu pemahaman bahwa benda itu ada jika ada dihadapannya dan bisa dia lihat. Namun, jika suatu benda itu tidak ada dihadapannya berarti benda itu tidak ada (pemahaman mengenai objek permanent), walaupun sesungguhnya benda itu ada. Pada fase ini juga anak mulai meniru perilaku orang-orang bahkan binatang yang ada disekitarnya dan perilaku ini akan tetap bertahan walaupun orang atau binatang itu tidak ada lagi dihadapannya.
Misalnya ketika anak bermain ke suatu peternakan kuda, anak melihat bagaimana seorang joki yang sedang berlatih menunggang kuda. Ketika dirumah anak akan melakukan hal yang sama, dengan meminta ayah atau ibunya jadi kuda-kudaan. Atau ketika di pasar atau pusat perbelanjaan anak melihat repelika kuda-kudaan, anak akan meminta orang tuanya untuk dibelikan.
Kedua, fase pra-operasional, berada pada rentang usia dua sampai tujuh tahun. Menurut Patmonodewo (2003 : 23) pada fase ini tahapan berpikir anak berpusat pada penguasaan simbol-simbol (misalnya kata-kata), belum mampu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan angka, orang dewasa memandang pola berpikir anak diusia ini tidak logis atau pralogis. Misalnya anak diminta memperhatikan air dalam dua gelas yang ukurannya sama dan isinya juga sama, ketika ditanya apakah air ini jumlahnya sama? Anak akan menjawab “iya”. Namun, ketika air itu dipindahkan ke gelas yang satu panjang dan kurang lebar dan satunya lagi pendek tapi lebar, ketika ditanya apakah jumlah air itu sama banyaknya, maka anak akan menjawab “tidak”.
Sebetulnya anak juga sudah mampu merangkai kalimat-kalimat sederhana, misalnya dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman senang atau sedih yang pernah dia alami. Dalam tahap ini anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang sudah mencerminkan aktivitas mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik. Menurut Nurgiyantoro (2005 : 201) karakteristik dalam tahap ini antara lain adalah bahwa (i) anak mulai belajar mengaktualisasikan dirinya lewat bahasa, ber­main, dan menggambar (corat-coret). (ii) Jalan pikiran anak masih bersifat egosentris, menempatkan dirinya sebagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera dan pengalaman langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang lain. Anak tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. (iii) Anak mem­pergunakan simbol dengan cara elementer yang pada awalnya lewat gerakan-gerakan tertentu dan kemudian lewat bahasa dalam pembicaraan. Perkembangan kognitif pada saat ini yang secara luar biasa adalah perkem­bangan bahasa dan konsep formasi. (iv) Pada masa ini anak mengalami proses asimilasi di mana anak mengasimilasikan sesuatu yang didengar, dilihat, dan dirasakan dengan cara menerima ide-ide tersebut ke dalam suatu bentuk skema di dalam kognisinya.
Ketiga, fase operasional kongkrit, merupakan fase perkembangan kognitif pada rentang usia tujuh sampai sebelas tahun. Pada tahap ini menurut Nurgiyantoro (2005 : 202) anak mulai dapat memahami logika secara stabil. Karakteristik anak pada tahap ini antara lain adalah (i) anak dapat membuat klasifikasi sederhana, mengklasifikasikan objek berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi warna, klasifikasi karakter tertentu. (ii) Anak dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, mengurutkan abjad, angka, besar-kecil, dan lain-lain. (iii) Anak mulai dapat mengembangkan imajinasinya ke masa lalu dan masa depan; adanya perkembangan dari pola berpikir yang egosentris menjadi lebih mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. (iv) Anak mulai dapat berpikir argumentaif dan memecahkan masalah sederhana, ada kecenderungan memperoleh ide-ide sebagaimana yang dilakukan oleh dewasa, namun belum dapat berpikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan berpikirnya masih terbatas pada situasi yang konkret.

V.            Tuntutan Materi Pelajaran Ketika Anak Memasuki Sekolah Dasar (SD)
Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta mengacu pada standar isi kurikulum Nasional yang telah di tetapkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) No. 22, Tahun 2006. Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam Standar isi adalah kerangka dasar dan struktur kurikulum. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Kurikulum yang dijalankan pada satuan pendidikan SD memiliki tuntutan atas kemampuan anak untuk bisa membaca secara mandiri. Dalam buku-buku referensi yang diajarkan sudah memuat bacaan-bacaan dan hitungan-hitungan yang rumit untuk anak seusia kelas satu SD (pada makalah ini menyoroti tuntutan kurikulum pada siswa kelas satu SD, sebab memiliki hubungan yang erat dengan kesiapan kelanjutan siswa dari pendidikan prasekolah).
Selain itu, ketika ujian pun anak dituntut untuk membaca soal dan menulis jawaban secara mandiri. Soal-soal yang disajikan pun menuntut siswa untuk terampil membaca dan memahami maksud soal. Sehingga yang terjadi adalah orang tua dan guru pada pendidikan prasekolah mengajarkan dan menuntut anak untuk bisa membaca sebagai persiapan ke jenjang SD. Hal ini juga terjadi pada guru kelas satu SD, sebagaimana yang dikatakan oleh Karli (2010 : 62) bahwa guru di SD kelas satu menjadi salah kaprah, mereka menginginkan agar anak didik mereka sudah bisa membaca dengan baik. Guru SD menganggap kewajiban mengajarkan membaca adalah tanggungjawab guru TK. Padahal pada kurikulum TK anak didik hanya diajarkan untuk mengenal huruf dan angka. Bukan pada tujuan kemampuan membaca selayaknya SD. Padahal pelajaran bahasa Indonesia pada kelas satu SD merupakan dasar pengajaran membaca secara baik.
Akibat dari tuntutan tersebut adalah ketika anak memasuki SD. Anak-anak yang tidak bisa membaca dengan baik mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Sehingga diantara mereka ada yang tinggal kelas, sebab tidak bisa menjawab soal-soal ujian yang disajikan. Padahal mereka tidak bisa bukan karena kemampuannya lemah, tapi akibat dari kurang pahamnya pendidik dan pembuat kebijakan tentang kebutuhan mereka.
Sayangnya, anak-anak yang belum bisa membaca dengan baik dan lancar di kelas satu SD, juga kurang mendapat perhatian dari gurunya. Sebab fokus pengajaran bukan lagi pada kemampuan membaca. Maka guru juga beranggapan bahwa orang tualah yang bertanggungjawab atas kemampuan membaca pada anaknya. Sehingga guru menyarankan orang tua untuk mengadakan les tambahan untuk anak-anak mereka.

VI.            Diskusi : Kapan Anak Mulai Diajari Membaca ?
Di awal telah dikemukakan bahwa pentingnya perkembangan anak di permulaan masa kehidupan, yaitu dalam rentang usiah 0-5 tahun. Sesuai juga dengan apa yang dikemukakan oleh Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya, dimana usia 0-5 tahun awal tahap perkembangan kognitif anak baru berada pada tahapan seosori motori (0-2 tahun) dan separuh tahapan pra-operasional (2-7 tahun). Begitu juga dengan hukum perkembangan bahwa setiap orang memiliki tugas-tugas perkembangan sesuai dengan perkembangannya. Sehingga kesalahan-kesalahan pada tahapan perkembangan awal akan mempengaruhi tahapan perkembangan selanjutnya.
Menurut Jawati (2013 : 251) pendidikan prasekolah merupakan pendidikan yang sangat fundamental dalam memberikan kerangka dasar terbentuk dan berkembangnya dasar-dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan pada anak. Menurut Santoso ( dalam Jawati 2013 : 251) menyatakan bahwa “Pendidikan anak prasekolah merupakan pendidikan yang menentukan terbentuknya kepribadian anak”. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anak prasekolah di rentang usia 0-7 tahun sangat penting dalam perkembangan pengetahuan, perilaku, sikap, dan keterampilan anak di masa yang akan datang.
Tujuan dari pendidikan prasekolah sebagai dasar pendidikan dan pemupukan potensi anak akan rusak, jika terjadi kesalahan-kesalahan elementer dalam proses pendidikan dan pengajaran. Sebab begitu penting dan berpengaruhnya pendidikan prasekolah terhadap pendidikan anak selanjutnya yang berkaitan juga dengan faktor psikologis anak.
Kembali ke permasalahan kognitif anak, merupakan salah satu aspek psikologis dari perkembangan anak yang menjadi sasaran pendidikan di sekolah. Menurut Saputra dan Rudiyanto (dalam Gustiana, 2011 : 192) bahwa perkembangan kognitif sangat penting untuk dikembangkan sejak masa kanak-kakak. Oleh sebab itu guru harus mengembangkan metode yang tepat dalam mengajarkan materi-materi yang berkaitan dengan kognitif anak, seperti membaca.
Apabila metode pengajarannya tepat, kemudian materi yang diajarkan juga sesuai dengan kemampuan kognitif anak. Maka anak didik akan menjadi pribadi yang berkualitas dan potensi yang mereka miliki akan berkembang dengan baik sesuai dengan tugas-tugas pada tahapan perkembangan yang harus mereka lalui.
Adapun bila terjadi kesalahan dalam pendidikan anak pada pendidikan prasekolah. Maka akan berdampak buruk juga terhadap perkembangan kognitifnya dimasa yang akan datang. Bahkan berkorelasi juga dengan perkembangan psikologis anak secara umum, seperti pengaruh pada aspek afeksi dan motorik anak. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Piaget (dalam Gustiana, 2011 : 192) bahwa pada masa kanak-kanak kemampuan kognitif berjalan seiring dengan kemampuan motorik anak. Samsuddin (dalam Gustiana, 2011 : 192) juga mengungkapkan bahwa “Perkembangan kognitif dan perkembangan motorik secara konstan berinteraksi, perkembangan kognitif lebih kuat bergantung pada kemampuan intelektual proses interaksi”. Guru harus mengembangkan metode-metode pembelajaran yang paling tepat bagi anak, khususnya guru taman kanak-kanak. Pengembangan metode tersebut berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak, dimana para ahli sering menyebutnya dengan istilah DAP (Developmentally Appropriate Practice).
Begitu juga halnya dengan aspek afeksi, kemampua kognitif yang baik pada anak akan menimbulkan daya afeksi yang memadai ketika anak berinteraksi dengan kehidupannya, pergaulan sosial, dan tekanan yang berada dari luar dirinya. Kemampuan mengolah emosi dan perasaan dalam lingkungan sosial bergantung pada kemampuan anak dalam memahami situasi sosialnya. Anak akan rentan terhadap tekanan lingkungannya bila ia tidak mampu memahami dan belajar tentang lingkungan sosialnya yang kompleks. Misalnya, ketika mainannya diambil temannya, anak yang memiliki kemampuan kognisi yang baik akan mampu mengatasi masalah itu dengan cara-cara yang komunikatif dan solutif tanpa menimbulkan dampak buruk bagi dirinya maupun orang lain.
A.    Kenalkan anak dengan buku sejak lahir
Para ahli neurologi mengatakan bahwa perkembangan otak mengalami peningkatan yang luar biasa ketika anak berusia 0-6 tahun. Bahkan delapan puluh persen otak manusia dewasa ditentukan ketika berada di usia dua tahun pertama. Ini menunjukkan pentingnya awal-awal masa kehidupan manusia terhadap perkembangan di masa yang akan datang. Sehingga pendidikan anak usia dini harus benar-benar maksimal dan ditangani secara baik.
Sayangnya, dalam pendidikan kita belum semua pendidik, bahkan pembuat kebijakan paham tentang hal ini. Sehingga banyak terjadi kelemahan di berbagai bidang dalam menangani pendidikan anak usia dini.
Yang perlu kita ketahui bahwa fase-fase perkembangan yang sudah berlalu waktunya tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang. Maka suatu keniscayaan bila terjadi kesalahan dalam pendidikan anak di usia dini. Sebab mengajarkan anak tidak pada waktu yang tepat akan mencederai perkembangan anak itu sendiri. Namun, jika pendidik mengajarkan anak di waktu yang tepat akan berdampak baik bagi perkembangan otak, bahkan menurut Adhim (2004 : 47) dalam kasus Jennifer yang dia kemukakan dalam bukunya “Membuat Anak Gila Membaca”, ransangan yang tepat di usia dini akan membuat IQ anak meningkat dan otak bekerja dengan baik. Bahkan menurut Susanto (2013 : 66) ransangan yang diberikan pada anak akan berpengaruh pada peningkatan minat belajar anak. Karena, minat merupakan faktor yang sangat penting dalam kegitan belajar pada anak.
Untuk meransang otak anak bisa dilakukan sejak lahir dimana tahap perkembangan kognitif anak mulai berkembang melalui ransangan sensori dan motorik (0-2 tahun). Pada usia ini orang tua bisa melakukan komunikasi verbal maupun non-verbal terhadap anak. Orang tua mulai mengajak anak berbicara, walaupun masih one way communication. Tapi anak sudah mulai belajar merespon dengan senyuman atau gerakan matanya, bahkan kadang bersuara dengan bahasanya. Orang tua juga bisa mengajarkan anak komunikasi non verbal atau bahasa tubuh dengan senyuman, tertawa kecil, atau ekspresi wajah lainnya. Bahkan, pengalaman orang tua terutama ibu bisa merasakan emosi bayinya dipengaruhi oleh emosional ibunya. Ini dirasakan para ibu ketika dia stress, anaknya sering menangis dan gelisah.
Dengan begitu, mengenalkan anak pada bacaan sudah bisa dilakukan. Membaca menurut Whitehurst dan Lonigan (1998) merupakan proses menerjemahkan kode-kode visual ke dalam bahasa yang bermakna. Pada tahap awal, membaca dalam sebuah sistem abjad melibatkan huruf decoding menjadi sesuai dengan suara dan menghubungkan suara-suara dalam kata-kata tunggal. Contohnya, anak yang belajar membaca secara otodidak ketika melafalkan kata “Masyhur” akan terdengan keluar bunyi “Ma-Sy-Hur”. Sehingga orang dewasa akan mendorong anak untuk melafalkan bunyi “Masy-Hur”.
Orang tua bisa membacaan buku-buku bergizi yang meransang otak anak atau membacakan al-Qur’an di dekat anak. Anak mulai tertarik dengan suara-sura yang bervariasi dan mengandung ritmis. Menurut Adhim (2004 : 48), orang tua bisa membacakan buku pada anak dengan suara yang berubah-ubah, kadang meninggi, kadang rendah, sehingga anak benar-benar terlibat secara psikologis. Apa lagi dengan bacaan Al-Qur’an secara tartil dan dilantunkan dengan indah oleh Qari’nya, tentu ini akan sangat bermanfaat sekali bagi otak anak, selain bacaan itu indah juga mengandung do’a-do’a dan pujian kepada Allah Swt.
Perkembangan bayi dari waktu ke waktu akan terus mengalami peningkatan. Setiap minggu, setiap bulan orang tua akan merasakan perubahan pada bayinya, terutama dalam kemampuan motorik. Lambat laun anak akan mulai mengenali apa yang berada di sekitarnya, buku-buku yang dibacakan orang tua mulai dikenali anak, bahkan anak mulai belajar memegang buku-buku itu, membolak-baliknya, kadang sampai masuk kedalam mulut anak.
Suara-suara yang diperdengarkan pun mulai ditiru anak, tak jarang di usia hampir dua tahun anak mulai bisa memanggil papa, mama, kakak, “maam” (makan), dan sebagainya. Lihat saja anak usia dua tahunan yang sering diajak ayahnya sholat berjamaah di masjid, dia mulai menirukan takbiratul ikram, atau kadang suara azan yang sering dia dengar.
Jika anak sudah mulai menguasai kemampuan motorik yang lebih baik, yaitu ketika memasuki fase pra-operasional (2-7 tahun). Maka orang tua bisa mulai membuka-buka buku bersama anak. Mengajak anak-anak berinteraksi dalam membaca buku. Pada fase ini pun orang tua tua bisa mengenalkan anak huruf, bahasa simbolik sederhana, dan tetap dengan prinsip anak tidak merasa terpaksa, sehingga tidak ada penolakan dari anak. Orang tua harus memahami psikologis anak dan tau waktu-waktu yang tepat dan nyaman bersama anak.
Ada baiknya juga orang tua belajar berbagai metode untuk mengenalkan anak membaca sejak dini. Orang tua harus banyak membaca dan belajar, bahkan berdiskusi bersama orang tua yang berpengalaman atau para pakar. Sehingga orang tua betul-betul mengenalkan membaca pada anak, bukan mengajari anak membaca sebagaimana di SD.
B.     Pilihlah bacaan yang sesuai dengan kebutuhan anak
Anak belajar membaca sesuai dengan caranya, maka tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Kadangkala anak menikmati membolak-balik buku, menggigit, memukul-mukul, dan sebagainya. Sehingga orang tua harus peka terhadap perilaku anak. Karena buku-buku yang diberikan orang tua tak sedikit yang rusak, karena perilaku anak. Namun, ketika anak mulai memahami makna perintah dan larangan orang tua bisa menjelaskan dan mengajari anak cara memperlakukan buku dengan baik.
Orang tua harus sabar, dan memahami anak dari sudut pandang anak, bukan sudut pandang orang dewasa. Sehingga orang tua harus menghindari berbagai reaksi yang membuat anak hilang minat bacanya.
Sebagai orang tua, plihkanlah anak bacaan-bacaan yang bergizi dan sesuai kebutuhan anak. Sebab melalui bacaan-bacaan yang dipilihkan orang tua, anak akan belajar tentang sesuatu, apakah itu norma, atau yang lainnya. Informasi-informasi ini akan terus tersimpan dalam memori anak sampai dia dewasa nanti.
Orang tua pun harus pandai, memilah mana bacaan yang cocok untuk anak. Sesuai dengan perkembangan kognitif anak, misalnya jangan memberikan bacaan-bacaan yang terlalu akademis pada anak. Sebab anak yang masih berada di usia 0-7 tahun tidak akan tertarik dengan bacaan tersebut. Anak akan suka pesan-pesan agama dan moral disampaikan melalui cerita-cerita singkat dan menarik. Orang tua juga bisa mengenalkan anak dengan alam sekitarnya dengan berbagai buku-buku anak yang langsung bergambar, seperti komik dan cerita bergambar yang lebih menarik minat anak.
Perlu diperhatikan juga, jika orang tua memiliki buku-buku yang tidak layak dikonsumsi anak, seperti majalah dewasa. Maka jauhkanlah dari jangkauan anak-anak. Orang tua bisa menyimpannya di tempat tertutup atau tempat yang tinggi. Sehingga anak terhindar dari informasi-informasi yang belum pantas untuk dia ketahui. Apalagi ketika anak sudah mulai bisa membaca, tentu akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Maka jauhkanlah anak dari buku-buku yang tidak layak dia konsumsi.
C.    Waktu yang tepat mengajari anak membaca
Jamal Abdur Rahman di dalam bukunya “Kaifa Rabbaahumun Nabiyyul Amiin” yang sudah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi (2008 : 151) mengemukakan tentang hadis dari Ibnu Umar yang pernah mengadakan teka-teki untuk menguji dan mengetahui potensi kesiapan belajar anak.
“Sesungguhnya diantara pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman terdapat sebuah pohon yang dedaunannya tidak pernah gugur, dan sesungguhnya itulah perumpamaan seorang muslim, maka ceritakanlah kepadaku pohon apakah itu? Orang-orang menebaknya dengan berbagai ‘nama’ pohon yang tumbuh di pedalaman, sedangkan dalam hatiku (ibnu Umar) terdetik bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tetapi aku merasa malu untuk mengutarakannya (mengingat waktu itu usiaku masih terlalu muda). Selanjutnya, mereka pun menyerah dan berkata :”ceritakanlah kepada kami, wahai Rasulallah, pohon apakah itu?, Rasulallah menjawab :”Itulah pohon kurma” (HR. Bukhari, kitabul ‘ilmi 59 dan Muslim kitabu shifati wal jannah 5027).

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan kisah itukepada ayahnya (Umar bin Khatab), lalu ayahnya mengatakan bahwa kalau Ibnu Umar menyampaikan jawaban itu, maka itu lebih dia sukai, dari pada diam (Muslim 5027). Ha ini menggambarkan bahwa Umar bin Khatab menstimuasi anaknya untuk berani berpendapat dan berbicara di muka khalayak ramai, sekaligus menguji kesiapan anaknya dalam belajar.
Menurut Adhim (2004 : 29-30), waktu yang tepat untuk mengajari anak membaca adalah ketika anak siap untuk membaca (reading readiness). Umumnya anak memiliki kesiapan membaca pada usia enam tahun. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Eccles (1999) bahwa Pergeseran penting dalam keterampilan kognitif anak-anak terjadi pada usia sekitar enam tahun. Meskipun sebenarnya perubahan kognitif juga terjadi selama masa bayi dan usia prasekolah (seperti anak-anak belajar bahasa ibu mereka), tapi hampir semua teori perkembangan menunjukkan usia enam tahun sebagai waktu ketika anak-anak benar-benar mulai mempunyai "alasan" untuk belajar.  Namun, menurut penelitian mutakhir yang dikutip oleh J.P. Chaplin anak memiliki kesiapan membaca lebih awal, yaitu saat anak berusia dua hingga tiga tahun.
Lebih lanjut Adhim juga mengungkapkan dalam bukunya “Membuat Anak Gila Membaca” tentang teori klasik dari Havigurst dan dari Crow & Crow bahwa mengajarkan anak haruslah ketika anak dalam kondisi tepat untuk belajar (teachable moment). Orang tua harus mengerti perkembangan anak dan kesiapan anak untuk belajar, sehingga bisa menghindari akibat-akibat negatif terhadap perkembangan anak.
Teori klasik ini kemudian berpengaruh juga pada kebijakan pemerintah di negeri kita ini. Pada pendidikan prasekolah guru dilarang mengajari anak membaca. Jika dicermati peraturan itu berdampak baik juga, dengan peraturan ini akan mengendalikan ambisi guru dan orang tua untuk mendidik anak, sehingga mengalami kelebihan belajar. Sebab, ironi sekali saat ini sebagian orang tua yang menitipkan anak-anak mereka di pendidikan prasekolah “full day school”, ditambah juga dengan les tambahan membaca. Tentu perilaku orang tua seperti ini akan membunuh potensi anak. Sehingga prinsip mengenalkan anak membaca akan berubah mengajari anak membaca seperti di SD.
Menurut Burns (dalam Adhim, 2004 : 31) bahwa kesiapan membaca pada anak dapat dirangsang dengan memberikan pengalaman pramembaca. Artinya, berlawanan dengan teori klasik di atas, bahwa orang tua atau pendidik tidak harus menunggu secara pasif kesiapan belajar anak. Orang tua bisa merangsang anak sejak bayi dengan kegiatan pramembaca, sebagai mana yang telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya.
Lalu, bagaimana mengkomromikan kedua pendapat yang bertolak belakang ini? Apakah orang tua memilih salah satunya atau mengambil jalan tengah dengan mengkombinaskian, kalau dikombinasikan bagaimana caranya?
Di atas, penulis juga sudah mengungkapkan bahwa masing-masing anak itu unik. Antara anak yang satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Maka, dalam hal mengenalkan membaca atau kesiapan belajar orang tua pun tidak bisa menyamaratakan anak-anaknya. Orang tua bisa saja mengajarkan anak membaca dibawah usia tujuh tahun, asal orang tua benar-benar tahu bahwa anaknya sudah siap untuk belajar. Bahkan, orang tua tidak bisa mengajari anaknya membaca di usia tujuh tahun, karena anaknya belum siap.
Untuk mengetahui dan mendeteksi secara dini kesiapan belajar anak. Maka orang tua bisa melakukan kegiatan-kegiatan pramembaca bersama anak. Orang tua bisa mengenalkan anak dengan membaca buku, sehingga seiiring perkembangan anak orang tua akan mudah mengenali kesiapan belajar pada anaknya. Maka bukan suatu hal yang mustahil anak sudah bisa membaca di bawah usia tujuh tahun. Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada tuntutan anak harus bisa membaca dan diajari mebaca sebagaimana di SD. Di usia prasekolah orang tua hanya mengenalkan anak membaca, bukan mengajarkan anak membaca dengan tuntutan tujuan-tujuan tertentu.

VII.            Penutup
Pendidikan anak di usia dini merupakan subuah usaha membangun fondasi intelektual anak. Jika fondasi itu kuat maka bangunan intelektual anak akan kuat, sebaliknya jika fondasi itu lemah maka akan lemah pula bangunan intelektual anak. Maka penting bagu para guru, orang tua, maupun masyarakat untuk memperhatikan pendidikan anak sejak usia dini.
Para pendidik, khususnya orang tua dan guru harus memahami karakteristik anak usia dini, terutama aspek psikologis. Sebab aspek ini sangat berpengaruh dalam proses belajar anak. Mengetahui dan memahami karakteristik anak usia dini akan membantu dan memudahkan orang tua dalam mengajari anak-anak mereka tentang ilmu.
Kesiapan anak dalam belajar juga merupakan faktof penting dalam pendidikan anak. Orang tua harus benar-benar memahami tentang kesiapan belajar anak. Sehingga anak tidak merasa terpaksa untuk belajar, sehingga bisa menghindari penolakan dari anak. Sebab, jika terjadi penolakan pun orang tua tisak boleh memaksa anak untuk belajar. Hal ini harus didukung oleh pemahaman orang tentang “anak itu unik”, sehingga masing-masing anak memiliki waktunya untuk siap belajar.
Untuk mengetahui kapan anak siap belajar (membaca), orang tua bisa melakukan stimulasi terhdap kemampuan anak, yaitu dengan mengenalkan pada anak buku dan bacaan sejak bayi. Tapi, orang tua harus memahami bahwa pada usia ini anak bukan diajari membaca sebagaimana usia SD.
Menurut para pakar pendidikan rata-rata usia anak siap untuk diajari membaca adalah ketika berumur 6 tahun. tapi ada juga yang berpendapat diantara usia 2 sampai 3 tahun. Namun, pada usia 2 sampai tiga tahun kebanyakan pakar lebih sepakat mengenalkan membaca (pramembaca), bukan mengajari membaca sebagaimana di SD. Hal ini juga senada dengan tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan oleh Piaget, bahwa pengenalan simbol-simbol yang memiliki makna, akan bisa dipahami anak ketka dia beranjak dari tahap praoperasional ke operasional formal.

VIII.            Daftar Pustaka
Adhim, F. (2004). Membuat anak gila membaca. Bandung : Al-Bayan, Mizan.

Daniels, D.H, dan Shumow, L. (2003). Child development and classroom teaching: a review of the literature and implications for educating teachers. Journal Aplied Developmental Psychology, 23, 2003.

Eccles, J.S. (1999). The Development of Children Ages 6 to 14. Juornal The Future of Children : When School is Out, 9, 2, 1999.

Gutian, A,D. (2011). Pengaruh permainan modifikasi terhadap kemampuan motorik kasar dan kognitif anak usia dini : studi kuasi eksperimen pada kelompok B TK Kartika dan TK Lab. UPI. Jurnal UPI, edisi Khusus, 2011.

Hastuti, D., Alfiasari., Chandriyani. (2010). Nilai anak, dan stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak pada usia 2-5 tahun pada keluarga Rawah Pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Vol. 3, No. 1, 2010.

Jawati, R. (2013). Peningkatan kemampuan kognitif anak melalui permainan Ludo Geometri di PAUD Habibu Ummi II. Jurnal Spektrum PLS, Vol. 1, No. 1, 2013.

Patmodewo, S. (2003). Pendidikan anak prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta.

Rahman, J,A. (2008). Tahapan mendidik anak : teladan Rasulallah Saw, edisi terjemahan, cetakan ke 8. Bandung : Irsyad Baitus Salam.

Susanto, A. (2013). Teori belajar dan pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta : Kencana.

Karli, H. (2010). Membaca dan menulis untuk anak usia dini melalui aktivitas dan permainan yang menyenangkan. Jurnal Pendidikan Penabur, No. 15, Tahun ke 9, 2010.

Nurgiyantoro, B. (2005). Tahapan perkembangan anak dan pemilihan bacaan sastra anak. Jurnal Cakrawala Pendidikan, Mo. 25, XXIV.

Whitehurst, G.J dan Lonigan, C.J. (1998). Child Development and Emergent Literacy. Child Development, Vol. 69, No. 3, 1998.

Woodhead, M. (2005). Early Childhood Development: a question of rights. International Journal of Early Childhood, November, 2005.

Woodhead, M. (2007). Changing perspectives on early childhood: theory, research and policy. Paper : Education for All Global Monitoring Report 2007 Strong foundations: early childhood care and education. UNESCO.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate