MENUMBUHKAN JIWA WIRAUSAHA SEJAK DINI MELALUI PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI SEKOLAH
Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi
Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi
Globalisasi menuntut seluruh
masyarakat dunia untuk kompetitif dalam persaingan global atau sering disebut
juga era modernisasi. Era modernisasi hanya ramah bagi orang-orang yang punya
kekuasaan dan uang. Semua bisa diatur dengan kekuasaan dan uang. Yang salah
bisa menjadi benar, sebaliknya yang benar bisa menjadi salah. Dunia modern
kejam pada orang-orang “kecil”, mereka dipermainkan oleh ombak kehidupan.
Terapung-apung ditengah lautan kehidupan tanpa tahu arah. Kemana angin
berhembus, kesanalah mereka digiring, tampa tahu apakah mereka akan digiring ke
pulau impian ataukah ke samudera lepas yang penuh dengan bahaya yang selalu
mengancam dari arah manapun.
Semua aspek kehidupan saat ini penuh
dengan kompetisi termasuk aspek ekonomi. Setiap orang berlomba untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Berpenghasilan tinggi, bisa memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, pendidikan yang layak bagi keluarga, tabungan
untuk hari tua dan tunjangan kematian. Bukan hanya itu, perkembangan ekonomi
juga menjadi fokus utama pemerintah, sehingga kesejahteraan masyarakat suatu
negara selalu diukur dengan pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi
berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, artinya semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi suatu negara maka diasumsikan semakin tinggi tingkat kesejahteraan
penduduk negara tersebut.
Indonesia termasuk salah satu negara
yang tidak luput dari kompetisi tersebut. Pergolakan ekonomi dunia yang
fluktuatif membuat perekonomian Indonesia naik turun. Mulai dari pemerintah
sampai rakyat kecil dibuat pusing indeks tukar rupiah yang naik turun, bahkan
sering turun dibanding kenaikannya. Tidak jarang masyarakat kelas menengah
kebawah sering menangisi kehidupan mereka. Pengeluaran selalu besar
dibandingkan pendapatan mereka. Tidak jarang diantara mereka hanya makan sekali
sehari, bahkan ada yang makan dua hari sekali. Ini bukan cuma opini dan bualan
belaka, sering kita melihat berita di media massa tentang anak-anak keluarga
miskin yang gerogoti oleh busung lapar. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab
atas semua ini. Mengapa negara yang kaya ini hidup miskin di tengah-tengah
surga sumber daya alamnya yang melimpah. Silahkan dijawab sendiri-sendiri dan
jangan salahkan siapa-siapa.
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah
tidak ada artinya kalau Sumber Daya Manusia (SDM) tidak memadai, ibarat ayam
yang kelapan di dalam lumbung padi.
Indonesia bukannya tidak memiliki
SDM yang cukup, bahkan jumlah penduduk Indonesia saat ini berkisar sebanyak 24
juta orang sebagaimana yang dilansir sebuah media online www.detik.com bulan
Juli 2013 ini. Namun, dari 24 juta orang penduduk Indonesia hanya 0,24 % yang
berwirausaha. Artinya, dibandingkan jumah penduduk Indonesia tentu sangat
kurang sekali, Indonesia masih membutuhkan sekitar 4,18 juta wirausaha lagi,
sehingga jika target ideal jumlah wirausaha sebanyak 4,75 juta bisa tercapai
maka ekonomi Nasional bisa dikuasai pribumi dan lapangan pekerjaan akan semakin
luas, sehingga kesejahteraan masyarakat akan trus meningkat.
Mencetak wirausaha tentu tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Perlu sebuah sistem yang baik, dijalankan
secara konsisten, di kontrol, dan ditanamkan sejak dini pada setiap insan
Indonesia. Kurikulum yang diterapkan harus terintegrasi karakter kewirausahaan.
Sehingga anak-anak sudah dikenalkan pada kewirausahaan sejak dini (satuan
pendidikan tingkat TK/SD). Sebetulnya hal ini sudah dicanangkan pemerintah
dengan semangat membangun semangat kewirausahaan dan memperbanyak wirausaha
melalui Instruksi Presiden Nomor 24 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional
Memasyarakat dan Membudayakan Kewirausahaan. Program ini mengamanatkan kepada
seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk membangun dan mengembangkan
program-program kewirausahaan. Sehingga mendukung Program Ekonomi Kreatif (PEK)
Tahun 2010-2014, yakni pengembangan kegiatan ekonomi berdasarkan kreativitas,
keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan produk-produk yang memiliki
nilai ekonomis dan daya saing serta berguna dan bermanfaat bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Setiap satuan pendidikan bisa saja
mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan di sekolah masing-masing. Hal ini
dibolehkan, bahkan sangat dianjurkan oleh pemerintah. Setiap sekolah bebas
berkreativitas membuat sebuah sistem yang mendukung pendidikan kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan bisa
terintegrasi dalam semua mata pelajaran, muatan lokal, kegiatan ekstrakurikuler,
pengembangan diri, kultur sekolah atau aturan-aturan yang buat oleh sekolah.
Bahkan kewirausahaan bisa dijadikan sebuah event kompetisi bagi peserta
didik, misalkan ; lomba karya seni, lomba memasak dan mengemas produk sehingga
memiliki nilai jual, lomba kerajinan tangan, dan sebagainya. Kemudian hasil
karya siswa tersebut dipasarkan dan di jual. Selanjutnya masing-masing individu
atau kelompok peserta lomba diberi nilai sesuai indikator penilaian yang telah
ditentukan dan diberi penghargaan. Sehingga tidak harus menunggu terlebih
dahulu rancangan matang dari pemerintahan pusat.
Di beberapa lembaga pendidikan sudah
mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan dalam pendidikan sebagaimana
disebutkan di atas, terutama pada satuan pendidikan Sekolah Menengah (SM)
seperti, SMP, SMA, MA, dan SMK. Karena siswa satuan pendidikan tingkat SM lebih
mudah untuk diarahkan dan secara kognisi sudah memiliki daya pikir kritis dan
kreatif, berbeda sekali dibandingkan siswa tingkat satuan TK dan SD yang masih
memiliki sikap dependensi sangat tinggi pada orang yang lebih tua atau guru.
Namun, bukan berarti para pendidik tidak bisa menanamkan jiwa kewirausahaan
pada peserta didiknya. Tentu sangat bisa sekali, walaupun dengan metode dan
sistem yang berbeda dengan satuan pendidikan tingkan SM.
Penanaman jiwa wirausaha pada setiap
satuan pendidikan tidak harus sama, bisa dengan metode yang berbeda-beda sesuai
karakter peserta didik masing-masing satuan pendidikan. Pada tingkatan SMA
kewirausahaan bisa diintegrasikan dalam seluruh kurikulum, ekstra kurikuler,
pengembangan diri, muatan lokal, dan sebagainya. Kemudian diwujudkan dalam
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan penyusunan silabus dan RPP yang
terintegrasi pendidikan kewirausahaan. Dalam mata pelajaran yang memuat
praktikum bisa diorientasikan kewirausahaan. Kegiatan ekstra kurikuler dan
pengembangan diri memiliki peluang yang cukup besar dalam penanaman
kewirausahan, sebab sekolah sepenuhnya bisa menentukan jenis kegiatan ekstra
kurikuler dan pengembangan diri untuk siswanya dan memiliki jam tersendiri yang
lebih efektif dibandingkan penyisipan kewirausahaan dalam mata pelajaran pokok
kedinasan maupun muatan lokal.
Salah satu contoh aplikasi
pendidikan terintegrasi kwirausahaan adalah kegiatan “Market Day” dengan
melibatkan semua siswa dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Kegiatan
produksi adalah dengan memberikan tanggung jawab kepada siswa berdasakan kelas
secara bergantian untuk membuat produk yang memiliki nilai jual dan bermanfaat
bagi selurus civitas academica sekolah. Kemudian siswa diminta untuk
menjual produknya (distribusi), sedangkan siswa yang lainnya termasuk para guru
bertanggung jawab sebagai konsumen (pembeli). Kegiatan Market Day bisa
dilakukan secara mandiri (memproduksi barang secara individu) atau secara
klasikal (memproduksi barang dengan berkelompok) sesuai minat siswa dan produk
yang akan diproduksikan.
Kegiatan Market Day seperti
tertera di atas tentu menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana dengan siswa
pada satuan pendidikan TK dan SD? Apakah para siswa mampu melakukan kegiatan
se-kompleks itu?
Untuk satuan pendidikan TK dan SD
kegiatan di atas tidak sepenuhnya dibebankan kepada siswa. Peran orang tua dan
guru perlu dan harus disertakan. Para siswa dalam Market Day hanya
sebatas distributor. Sedangkan kegiatan produksinya bisa melibatkan orang tua
maupun guru. Satu lagi yang perlu ditambahkan adalah fungsi kontrol ketika
kegiatan distribusi berlangsung, disini dibutuhkan peran guru karena Market
Day biasanya dilaksanakan di area sekolah. Fungsi kontrol bertujuan untuk
mengajarkan kepada siswa berjual beli yang benar, mengajarkan siswa yang belum
bisa bertransaksi dalam bentuk uang dan barang. Sedangkan yang menjadi
konsumennya adalah semua siswa dan guru.
Kegiatan Market Day bukan
hanya mengajarkan tata cara bertransaksi bagi siswa. Tetapi banyak nilai moril
yang bisa ditanamkan kepada para siswa, seperti kemandirian, kedisiplinan,
kejujuran, tanggung jawab, komunikasi interpersonal, membantu siswa dalam
memahami pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan Market Day, serta menanamkan
nilai-nilai syari’at Islam yang benar dalam berjual beli kepada siswa yang
berhubungan erat dengan Pendidikan Agama Islam (PAI).
Wallahu A’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar