Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi., M.S.I.
Salah seorang
jama’ah di sebuah masjid bertanya dengan nada agak protes. Persoalannya adalah
di waktu maghrib (baca: pergantian waktu dari siang ke malam) banyak anak-anak
yang datang ke masjid dan berbuat keramaian, sehingga pelaksanaan ibadah salat
menjadi tidak tenang. Sebetulnya, sebagian anak datang bersama orang tuanya dan
sudah dikondisikan sebelum salat dilaksanakan. Namun, namanya ‘anak-anak’ tidak
betah berdiri tenang mengikuti salat, satu sampai dua menit mereka ramai lagi.
Kasus di atas
mungkin banyak terjadi, tidak hanya di satu masjid, mungkin di banyak masjid
atau musalah. Maka perlu solusi atau langkah-langkah praktis yang mampu
menyelesaikan permasalahan tersebut.
Sebelum
membicarakan langkah praktis penyelesaiannya, perlu ditinjau apa penyebab yang
mungkin mengakibatkannya. Maka, setidak-tidaknya bisa dilihat dari sudut
pandang pola asuh, peran orang tua, peran ekonomi orang tua, dan pendidikan
islam.
Pertama,
pola asuh adalah gaya (style) yang diterapkan oleh orang tua dalam
mendidik anak-anaknya. Ada tiga tipe pola asuh yang dikenal dan populer dalam
psikologi, yaitu permisif, otoriter, dan demokratis. Pola asuh permisif
merupakan pola asuh yang dominan memberikan kelonggaran terhadap kehendak anak,
orang tua cenderung menuruti kemauan anak, terlalu membiarkan, dan kepercayaan
yang berlebihan terhadap segala kegiatan anak tanpa kontrol dan pengawasan,
atau pola asuh yang terlalu memanjakan anak. Kemudian pola asuh otoriter
merupakan pola asuh yang terlalu mengekang dan membatasi kehendak-kehendak dan
aktivitas anak secara berlebihan, orang tua cenderung memerintah dan
mengarahkan anak sesuai keinginannya tanpa memperhatikan aspirasi anak.
Kemudian pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang dianggap ideal karena
selalu mengedepankan musyawarah antara orang tua dan anak, setiap keinginan
baik dari orang tua maupun anak selalu didiskusikan, sehingga ada keterbukaan
antara orang tua dan anak yang menimbulkan rasa saling memahami dan saling
percaya.
Kedua,
peran orang tua, yang dimaksud adalah kemampuan orang tua dalam menjalankan
fungsinya sebagai pendidik sekaligus teladan bagi anak-anaknya. Dalam fungsinya
sebagai pendidik setidak-tidaknya orang tua harus memiliki keterampilan untuk
mengajari anak-anaknya tentang ajaran-ajaran agama yang benar, mengajari
keterampilan hidup, mengajari nilai dan norma di masyarakat, dan mengajarkan
anak tentang penyelesaian permasalahan (problem solving).
Ketiga,
peran ekonomi orang tua, maksudnya adalah status orang tua sebagai pelaku
ekonomi di dalam keluarga, apakah orang tua bekerja atau tidak, apakah ibu
bekerja dan ayah tidak bekerja, atau apakah ayah bekerja dan ibu tidak tidak
bekerja, dan ayah atau ibu kedua-duanya bekerja.
Keempat,
pendidikan Islam. Islam merupakan agama yang mengatur segala urusan manusia
secara detil, mulai dari hal yang paling besar hingga hal yang paling kecil.
Islam mengatur tentang aturan kehidupan nasional dan internasional, begitu juga
Islam mengatur akhlak antar sesama manusia, akhlak kepada hewan dan tumbuhan,
tata cara makan, minum, tidur, dan sebagainya. Maka pendidikan di dalam Islam
adalah sebuah keniscayaan, Islam mengajarkan tentang bagaimana mempersiapkan
diri menjadi orang tua, Islam mengajarkan bagaimana memilih pasangan suami atau
isteri, Islam mengajarkan adab berjima’, Islam mengajarkan yang harus dilakukan
ketika ibu sedang hamil, Islam mengajarkan yang dilakukan ketika bayi lahir,
begitu seterusnya sampai anak menjadi dewasa yang mapan secara mental, ekonomi,
dan spiritual.
Permasalahan
yang dikemukakan diawal tadi merupakan akumulasi dari ketidakmampuan orang tua
dalam mengkondisikan anak pada waktu maghrib baik dirumah maupun diluar rumah.
Mari kita bahas solusinya satu-persatu dari sudut pandang Psikologi Pendidikan
Islami, yang meliputi pola asuh yang diterapkan, peran orang tua, peran ekonomi
orang tua, dan pendidikan Islam.
Pertama,
dari sudut pandang pola asuh yang diterapkan orang tua. Orang tua yang
cenderung membiarkan kehendak dan aktivitas anak, akan membuat anak sulit
diatur, anak akan selalu memaksakan kehendaknya sampai dikabulkan, tidak peduli
orang tuanya mampu atau tidak. Dalam kasus tadi, anak-anak ramai di masjid
meskipun sudah dikondisikan agar tenang, tapi tetap saja ramai. Perilaku ini
sebagai bentuk dari pola asuh orang tua yang permisif, akibatnya anak tidak
terbiasa dengan aturan. Anak semaunya sendiri, meskipun sudah dinasehati,
diberi tahu baik buruk akibat dari perbuatannya, anak tetap melanggar dan
melakukan sesukanya, anak menjadi tidak peduli dengan orang lain. Apapun yang
dilakukan anak lebih munuruti keinginannya sendiri, dia sudah tidak peduli
dengan orang lain yang terganggu oleh perilakunya.
Perilaku anak
yang susah diatur juga bisa disebabkan oleh pola asuh yang otoriter, misalnya
orang tua terlalu mengekang kehendak anak, anak seolah-olah robot yang
pengontrolnya di tangan orang tua. Akibatnya anak mencari pemuasan ketika tidak
ada orang tuanya, terutama ketika berada diluar rumah. Aturan yang selama ini
diajarkan orang tuanya tidak berarti apa-apa ketika orang tuanya tidak ada.
Aturan hanya berlaku ketika di rumah, di luar rumah aturan akan dilanggarnya.
Sejak kecil
anak perlu diajarkan aturan tentang baik buruk, tentang hal-hal yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Mengajarkan anak tentang aturan agar anak
mengerti tentang harapan-harapan sosial yang diinginkan darinya.
Penting untuk
diketahui orang tua adalah, bahwa pada dasarnya fitrah anak itu cenderung
kepada kebaikan atau kesucian, dan menurut Achmad Mubarok (lihat: psikologi
dakwah) bahwa melakukan kebaikan itu lebih mudah dari pada melakukan keburukan
(kekejian), sebab melakukan kekejian itu bertentangan dengan hati nurani (bashirah)
manusia. Allah berkalam “lahã
mã kasabat
wa ‘alaihã
maktasabat”, kata kasabat mengandung arti sesuatu yang mudah untuk
dikerjakan, sedangkan iktisabat mengandung makna sesuatu yang susah
dikerjakan. Namun, karena daya tarik kekejian itu lebih kuat dan disukai oleh
hawa nafsu, maka manusia akhirnya tertarik melakukannya, “fa alhamahã fujûrahã wa taqwãhã”, didahulukannya
kata fujur dari pada takwa mengandung pengertian bahwa keburukan itu
lebih menarik perhatian dibandingkan kebaikan.
Bagaimana pola
asuh orang tua yang tepat agar anak taat aturan dan ada rasa saling percaya dan
memahami antara orang tua dan anak?, pola asuh demokratis adalah pilihan yang
tepat, sifatnya di tengah-tengah (wasathan). Pola asuh yang lebih
mengedepankan musyawarah. Namun perlu digaris bawahi, musyawarah di sini bukan
berarti orang tua tidak memiliki peran untuk memutuskan (tegas), dalam hal ini
orang tua (bapak) adalah pemimpin keluarga. Untuk hal-hal yang sifatnya
prinsipel orang tua harus tegas, misalnya ketika anak terlibat dalam pergaulan
bebas, maka orang tua harus tegas menolak perilaku tersebut, dalam hal ini
tidak diperlukan musyawarah tentang boleh atau tidak perilaku tersebut, yang
seharusnya dimusyawarahkan adalah bagaimana anak bisa berhenti dari pergaulan
bebas dan bagaimana pengalihan (sublimasi) perilaku asosial anak menjadi
perilaku yang diterima oleh sosial dan norma agama.
Kedua, dari
sudut pandang peran orang tua. Tugas utama orang tua adalah mendidik
anak-anaknya dengan berbagai nilai, norma, keterampilan, dan ilmu pengetahuan.
Orang tua dituntut untuk mampu mewariskan berbagai aspek tersebut kepada anak
sebagai pewaris peradaban selanjutnya.
Berdasaran
kasus di depan tadi, maka orang tua diharapkan perannya untuk mengenalkan
berbagai aturan dan nilai-nilai bermasyarakat kepada anak. Misalnya ketika
berada di tempat ibadah, sebaiknya orang tua mengajarkan anak adab-adab di
tempat ibadah, bila anak melanggar dinasehati, anak diajarkan peka terhadap
bahasa isyarat, sebab di tempat ibadah biasanya orang cenderung menegur dengan
bahasa non verbal karena demi menjaga ketenangan, maka kepekaan sosial (social
sensitivity) harus diasah.
Ketiga,
dari sudut pandang peran ekonomi orang tua. Orang tua yang bekerja (baca:
bekerja full day, seperti buruh pabrik dan PNS) otomatis lebih memiliki
sedikit waktu bersama dengan anak-anaknya. Namun, bukan berarti orang tua
dianjurkan untuk tidak bekerja. Dalam pandangan sosial dan agama (Islam), peran
sebagai pencari nafkah adalah di pundak bapak. Sedangkan ibu, dalam standar
kewajaran lebih memiliki peran sebagai orang yang di nafkahi. Namun, dalam
masyarakat modern ibu banyak yang mengambil peran sebagai wanita karir
(bekerja) sama halnya dengan bapak.
Perlu
diketahui, bahwa peran orang tua sangat dibutuhkan pada dua waktu yang pada
waktu-waktu tersebut sangat penting sekali dalam pendidikan anak, yaitu waktu
maghrib dan shubuh. Waktu maghrib adalah waktu terjadinya pergantian aktivitas
dari siang hari ke malam hari, waktu siang adalah waktu penuh aktivitas fisik,
sedangkan malam adalah waktu untuk istirahat. Namun yang penting untuk
diketahui adalah pesan Islam tenang waktu maghrib yang sarat dengan nilai-nilai
pendidikan. Nabi saw. bersabda “"Jagalah anak-anakmu agar tetap di
rumah pada waktu sore hari (maghrib) dan Isya, karena syetan berkeliaran (pada
sore hari; maghrib) dan menculiknya”. (Sahih Bukhari). Dalam redaksi yang
lain kita diperintahkan untuk menutup pintu-pintu rumah.
Dari hadis
tersebut ada peran orang tua yang sangat besar sekali dalam menjaga keselamatan
anak dari gangguan jin (setan) di waktu maghrib. Maka, orang tua yang bekerja
sebaiknya sebelum waktu maghrib sudah pulang kerumah, terutama ibu, untuk
menjaga anak-anaknya. Selain itu, secara tidak langsung ada pesan lain bahwa,
maghrib adalam waktu yang istimewah yang mampu membangun kedekatan orang tua
dengan anak. Jika waktu maghrib orang tua dan anak sama-sama berada di rumah,
maka mereka bisa saling berkomunikasi tentang persoalan mereka massing-masing,
orang tua bisa menanyakan bagaimana kegiatan anak seharian, apa permasalahan
anak, dan sebagainya. Bapak bisa mengajarkan anak laki-lakinya salat berjamaah
ke masjid, ibu mengajari putrinya salat di rumah. Kemudian di rumah mereka bisa
makan bersama sambil bercengkerama dalam suasana yang hangat.
Berikutnya waktu
subuh adalah waktu pergantian dari malam ke siang, pada waktu ini aktivitas istirahat
mulai memasuki aktivitas fisik dan hiruk-pikuk rutinitas harian. Kunci keberhasilan
aktivias keluarga pada hari itu bisa dipengaruhi oleh manajemen waktu subuh.
Secara fisiologis menurut hasil penelitian tubuh juga sudah siap untuk
aktivitas fisik. Selain itu psikologis manusia juga siap untuk beraktivitas
karena sudah beristirahat dan segar.
Kebiasaan
bangun di waktu subuh akan membantu orang tua mempersiapkan segala keperluan
untuk aktivitas hari itu. Terutama keluarga yang memiliki anak-anak kecil usia
sekolah. Orang tua memiliki banyak waktu untuk melakukan persiapan sebelum
berangkat bekerja, membuat sarapan, memandikan anak, menyiapkan segala
peralatan kerja, persiapan sekolah anak, dan sebagainya. Selain itu, yang lebih
penting adalah mengajarkan anak untuk salat subuh berjamaah di masjid, terutama
anak laki-laki. Sebab, dalam sejarah Islam kejayaan yang diperoleh oleh Islam
tidak pernah lepas dari jumlah jamaah salat subuh. Misalnya, tercatat di dalam
sejarah dinasti Ayubiyah, sang pahlawan Islam Sholahuddin al-Ayyubiy
sebelum menaklukkan al-Quds (Palestina) dari tentara Salibiyah
(Romawi) selalu memantau jamaah salat subuh di masjid-masjid, hingga dia berani
melakukan invansi ketika jamaah salat subuh sudah sama halnya dengan jamaah
salat jum’at.
Keempat,
dari sudut pandang pendidikan Islam. Keluarga merupakan lingkungan pertama
tempat anak belajar tentang kehidupan. Pertama kali yang anak lihat ketika
matanya mulai melihat dunia adalah ibu dan bapaknya kemudian orang-orang
disekitar keluarganya. Keluarga juga sekolah pertama bagi anak, tempat belajar
berbicara, belajar mendayagunakan potensi fisik yang dia miliki, belajar
tentang atuan dan nilai-nilai kehidupan. Maka, keberhasilan keluarga dalam mendidik
anak menjadi kunci keberhasilan pada tahap-tahap pendidikan selanjutnya.
Islam sangat
memperhatikan sekali pendidikan di dalam keluarga, sebagaimana sabda Nabi saw.
dalam hadis riwayat Thabrani dan Baihaqi “Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah (cenderung kepada tauhid), maka ibu bapaknyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Kemudian dalam hadis riwayat
Ibnu Majah disabdakan “Awasilah anak-anakmu dan perbaikilah adabnya”.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa keluarga (baca: orang tua) mempunyai kewajiban
untuk mendidik anak-anaknya.
Pendidikan
keluarga adalah pendidikan yang berlangsung sepanjang masa, lalu apa materi
yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya? Dari hadis di atass tadi, dapat
kita fahami bahwa; pertama, fitrah bayi yang baru lahir, fitrah menurut
ulama adalah kecenderungan kepada tauhid, artinya setiap manusia dilahirkan
dalam keadaan jiwa yang suci dari kesyirikan, maka dalam fikih sebagian ulama
berpendapat bahwa bayi yang lahir dari orang tua kafir, kemudian bayi itu
meninggal, maka dia meninggal dalam keadaan suci. Maka yang pertama sekali
diajarkan orang tua kepada anaknya adalah keimanan kepada Allah Yang Maha Esa.
Iman harus menjadi dasar dari segala ilmu, orang tua dengan sekuat tenaga harus
menanamkan iman yang kuat kepada anaknya, sebab iman adalah kunci kesuksesan di
dunia dan di akhirat. Apabila iman sudah mengakar dalam jiwa anak, maka
ilmu-ilmu yang lainnya akan membawa kemanfaatan bagi kehidupan manusia.
Misalnya, anak yang berbakat dalam ilmu kehutanan, dengan iman yang dia miliki,
ilmunya akan berguna dalam melestarikan hutan dan lingkungan hiduo, sebab
imannya kepada Allah mengharuskan dia taat dengan ajaran Islam yang melarang
berbuat kerusakan di muka bumi. Bukannya menjadi intelektual pembakar hutan,
yang merusak lingkungan, dan menyebabkan ribuan orang menghirup asap yang
berbahaya bagi kesetan.
Kedua,
akhlak yang baik (akhlak karimah). Akhlak merupakan perilaku yang sudah
tertanam dalam kepribadian dan muncul secara otomatis dalam perilaku
sehari-hari. Akhlak mencakup berbagai aspek kehidupan, misalnya akhlak
berbicara, akhlak makan, akhlak kepada saudara, akhlak bertetangga, akhlak
ketika berada di masjid, dan sebagainya yang sudah dipandu di dalam Islam.
Ketiga,
tata aturan atau hukum Islam (syari’ah). Iman (baca: akidah) dan akhlak
merupakan dua dari tiga pokok ajaran Islam, yang ketiga adalah syari’ah (hukum
Islam). Hukum Islam adalah tata aturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, misalnya hukum-hukum tentang ibadah. Kemudian hukum pidana dan perdata.
Pendidikan syari’ah diajarkan secara bertahap kepada anak, sebab pendidikan
syari’ah berkaitan dengan perkembangan nalar anak.
Lalu, apa
hubungan antara akidah, syari’ah dan akhlak dengan waktu maghrib dan subuh,
serta mengatasi permasalahan yang dikemukakan di awal tadi?
Keberhasilan
keluarga dalam mengajarkan ketiga pokok ajaran Islam yang meliputi akidah,
syari’ah, dan akhlak setidaknya berkaitan dengan waktu maghrib dan subuh dalam
dua hal; (1) waktu maghrib sebagai waktu yang tepat mengajarkan anak tentang
akidah, syari’ah, dan akhlak. Misalnya pada waktu maghrib orang tua memiliki
waktu yang panjang bersama anak hingga waktu tidur. Pada waktu ini orang tua
bisa mengajarkan anak tata cara beribadah, nilai-nilai akhlak yang baik, dan
nilai-nilai keimanan. Begitu juga dengan waktu subuh, orang tua bisa
mengajarkan anaknya untuk terbiasa bangun pagi, berangkat salat berjamaah salat
subuh ke masjid, menyampaikan pesan-pesan yang baik ketika anak akan berangkat
ke sekolah, dan sebagainya; (2) waktu maghrib dan subuh sebagai waktu penting
dalam memberikan teladan kepada anak. Orang tua sebaiknya tidak hanya menyuruh
anak ini itu, tapi sekaliguus mengajak dan memberikan teladan kepada anak.
Ketika menyuruh anak ke masjid, maka sebaiknya orang tua juga ke masjid, ketika
menyuruh anak membaca al-Qur’an, maka sebaiknya orang tua juga membaca
al-Qur’an. Sebab, di waktu yang lain anak lebh banyak bergaul dengan orang
lain, apakah itu teman, guru, atau masyarakat. Maka sebaiknya, orang tua menjadi
figur yang pantas di teladani anak, apabila orang tua sudah menjadi figur bagi
anak, maka akan membuahkan sikap hormat, memuliakan, dan menghargai orang tua.
Anak yang sudah memiliki figur orang tua akan membentengi anak dari mencai
figur-figur yang tidak baik dilingkungan. Mengenai hal ini, al-Qur’an
mencontohkan dalam kisah Nabi Yusuf as (lihat : QS. Yusuf ayat 24, sebagian ulama menafsirkan yang dimaksud dengan tanda dari tuhannya adalah Yusuf terbayang tentang ayahnya Ya'qub). Dalam surat Yusuf diceritakan ketika
Yusuf digoda oleh Zulaikha seorang wanita bangsawan, kaya raya, cantik, dan
menggoda siapa saja laki-laki yang melihatnya. Zulaikha mengajak Yusuf berbuat
maksiat, namun ketika itu pula Yusuf ingat dengan Ya’qub, bapaknya. Yusuf ingat
tentang kasih sayang bapaknya, nasehat-nasehat bapaknya. Maka yusuf pun menolak
ajakan Zulaikha, sehingga Yusuf terhindar dari tipu daya Zulaikha. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar