Cari Blog Ini

Sabtu, 24 Oktober 2015

Waktu Maghrib dan Shubuh dalam Perspektif Psikologi Pendidikan Islami

Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi., M.S.I.
Salah seorang jama’ah di sebuah masjid bertanya dengan nada agak protes. Persoalannya adalah di waktu maghrib (baca: pergantian waktu dari siang ke malam) banyak anak-anak yang datang ke masjid dan berbuat keramaian, sehingga pelaksanaan ibadah salat menjadi tidak tenang. Sebetulnya, sebagian anak datang bersama orang tuanya dan sudah dikondisikan sebelum salat dilaksanakan. Namun, namanya ‘anak-anak’ tidak betah berdiri tenang mengikuti salat, satu sampai dua menit mereka ramai lagi.

Kasus di atas mungkin banyak terjadi, tidak hanya di satu masjid, mungkin di banyak masjid atau musalah. Maka perlu solusi atau langkah-langkah praktis yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.
Sebelum membicarakan langkah praktis penyelesaiannya, perlu ditinjau apa penyebab yang mungkin mengakibatkannya. Maka, setidak-tidaknya bisa dilihat dari sudut pandang pola asuh, peran orang tua, peran ekonomi orang tua, dan pendidikan islam.
Pertama, pola asuh adalah gaya (style) yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Ada tiga tipe pola asuh yang dikenal dan populer dalam psikologi, yaitu permisif, otoriter, dan demokratis. Pola asuh permisif merupakan pola asuh yang dominan memberikan kelonggaran terhadap kehendak anak, orang tua cenderung menuruti kemauan anak, terlalu membiarkan, dan kepercayaan yang berlebihan terhadap segala kegiatan anak tanpa kontrol dan pengawasan, atau pola asuh yang terlalu memanjakan anak. Kemudian pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang terlalu mengekang dan membatasi kehendak-kehendak dan aktivitas anak secara berlebihan, orang tua cenderung memerintah dan mengarahkan anak sesuai keinginannya tanpa memperhatikan aspirasi anak. Kemudian pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang dianggap ideal karena selalu mengedepankan musyawarah antara orang tua dan anak, setiap keinginan baik dari orang tua maupun anak selalu didiskusikan, sehingga ada keterbukaan antara orang tua dan anak yang menimbulkan rasa saling memahami dan saling percaya.
Kedua, peran orang tua, yang dimaksud adalah kemampuan orang tua dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik sekaligus teladan bagi anak-anaknya. Dalam fungsinya sebagai pendidik setidak-tidaknya orang tua harus memiliki keterampilan untuk mengajari anak-anaknya tentang ajaran-ajaran agama yang benar, mengajari keterampilan hidup, mengajari nilai dan norma di masyarakat, dan mengajarkan anak tentang penyelesaian permasalahan (problem solving).
Ketiga, peran ekonomi orang tua, maksudnya adalah status orang tua sebagai pelaku ekonomi di dalam keluarga, apakah orang tua bekerja atau tidak, apakah ibu bekerja dan ayah tidak bekerja, atau apakah ayah bekerja dan ibu tidak tidak bekerja, dan ayah atau ibu kedua-duanya bekerja.
Keempat, pendidikan Islam. Islam merupakan agama yang mengatur segala urusan manusia secara detil, mulai dari hal yang paling besar hingga hal yang paling kecil. Islam mengatur tentang aturan kehidupan nasional dan internasional, begitu juga Islam mengatur akhlak antar sesama manusia, akhlak kepada hewan dan tumbuhan, tata cara makan, minum, tidur, dan sebagainya. Maka pendidikan di dalam Islam adalah sebuah keniscayaan, Islam mengajarkan tentang bagaimana mempersiapkan diri menjadi orang tua, Islam mengajarkan bagaimana memilih pasangan suami atau isteri, Islam mengajarkan adab berjima’, Islam mengajarkan yang harus dilakukan ketika ibu sedang hamil, Islam mengajarkan yang dilakukan ketika bayi lahir, begitu seterusnya sampai anak menjadi dewasa yang mapan secara mental, ekonomi, dan spiritual.
Permasalahan yang dikemukakan diawal tadi merupakan akumulasi dari ketidakmampuan orang tua dalam mengkondisikan anak pada waktu maghrib baik dirumah maupun diluar rumah. Mari kita bahas solusinya satu-persatu dari sudut pandang Psikologi Pendidikan Islami, yang meliputi pola asuh yang diterapkan, peran orang tua, peran ekonomi orang tua, dan pendidikan Islam.
Pertama, dari sudut pandang pola asuh yang diterapkan orang tua. Orang tua yang cenderung membiarkan kehendak dan aktivitas anak, akan membuat anak sulit diatur, anak akan selalu memaksakan kehendaknya sampai dikabulkan, tidak peduli orang tuanya mampu atau tidak. Dalam kasus tadi, anak-anak ramai di masjid meskipun sudah dikondisikan agar tenang, tapi tetap saja ramai. Perilaku ini sebagai bentuk dari pola asuh orang tua yang permisif, akibatnya anak tidak terbiasa dengan aturan. Anak semaunya sendiri, meskipun sudah dinasehati, diberi tahu baik buruk akibat dari perbuatannya, anak tetap melanggar dan melakukan sesukanya, anak menjadi tidak peduli dengan orang lain. Apapun yang dilakukan anak lebih munuruti keinginannya sendiri, dia sudah tidak peduli dengan orang lain yang terganggu oleh perilakunya.
Perilaku anak yang susah diatur juga bisa disebabkan oleh pola asuh yang otoriter, misalnya orang tua terlalu mengekang kehendak anak, anak seolah-olah robot yang pengontrolnya di tangan orang tua. Akibatnya anak mencari pemuasan ketika tidak ada orang tuanya, terutama ketika berada diluar rumah. Aturan yang selama ini diajarkan orang tuanya tidak berarti apa-apa ketika orang tuanya tidak ada. Aturan hanya berlaku ketika di rumah, di luar rumah aturan akan dilanggarnya.
Sejak kecil anak perlu diajarkan aturan tentang baik buruk, tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Mengajarkan anak tentang aturan agar anak mengerti tentang harapan-harapan sosial yang diinginkan darinya.
Penting untuk diketahui orang tua adalah, bahwa pada dasarnya fitrah anak itu cenderung kepada kebaikan atau kesucian, dan menurut Achmad Mubarok (lihat: psikologi dakwah) bahwa melakukan kebaikan itu lebih mudah dari pada melakukan keburukan (kekejian), sebab melakukan kekejian itu bertentangan dengan hati nurani (bashirah) manusia. Allah berkalam “lahã mã kasabat wa ‘alaihã maktasabat”, kata kasabat mengandung arti sesuatu yang mudah untuk dikerjakan, sedangkan iktisabat mengandung makna sesuatu yang susah dikerjakan. Namun, karena daya tarik kekejian itu lebih kuat dan disukai oleh hawa nafsu, maka manusia akhirnya tertarik melakukannya, “fa alhamahã fujûrahã wa taqwãhã”, didahulukannya kata fujur dari pada takwa mengandung pengertian bahwa keburukan itu lebih menarik perhatian dibandingkan kebaikan.
Bagaimana pola asuh orang tua yang tepat agar anak taat aturan dan ada rasa saling percaya dan memahami antara orang tua dan anak?, pola asuh demokratis adalah pilihan yang tepat, sifatnya di tengah-tengah (wasathan). Pola asuh yang lebih mengedepankan musyawarah. Namun perlu digaris bawahi, musyawarah di sini bukan berarti orang tua tidak memiliki peran untuk memutuskan (tegas), dalam hal ini orang tua (bapak) adalah pemimpin keluarga. Untuk hal-hal yang sifatnya prinsipel orang tua harus tegas, misalnya ketika anak terlibat dalam pergaulan bebas, maka orang tua harus tegas menolak perilaku tersebut, dalam hal ini tidak diperlukan musyawarah tentang boleh atau tidak perilaku tersebut, yang seharusnya dimusyawarahkan adalah bagaimana anak bisa berhenti dari pergaulan bebas dan bagaimana pengalihan (sublimasi) perilaku asosial anak menjadi perilaku yang diterima oleh sosial dan norma agama.
Kedua, dari sudut pandang peran orang tua. Tugas utama orang tua adalah mendidik anak-anaknya dengan berbagai nilai, norma, keterampilan, dan ilmu pengetahuan. Orang tua dituntut untuk mampu mewariskan berbagai aspek tersebut kepada anak sebagai pewaris peradaban selanjutnya.
Berdasaran kasus di depan tadi, maka orang tua diharapkan perannya untuk mengenalkan berbagai aturan dan nilai-nilai bermasyarakat kepada anak. Misalnya ketika berada di tempat ibadah, sebaiknya orang tua mengajarkan anak adab-adab di tempat ibadah, bila anak melanggar dinasehati, anak diajarkan peka terhadap bahasa isyarat, sebab di tempat ibadah biasanya orang cenderung menegur dengan bahasa non verbal karena demi menjaga ketenangan, maka kepekaan sosial (social sensitivity) harus diasah.
Ketiga, dari sudut pandang peran ekonomi orang tua. Orang tua yang bekerja (baca: bekerja full day, seperti buruh pabrik dan PNS) otomatis lebih memiliki sedikit waktu bersama dengan anak-anaknya. Namun, bukan berarti orang tua dianjurkan untuk tidak bekerja. Dalam pandangan sosial dan agama (Islam), peran sebagai pencari nafkah adalah di pundak bapak. Sedangkan ibu, dalam standar kewajaran lebih memiliki peran sebagai orang yang di nafkahi. Namun, dalam masyarakat modern ibu banyak yang mengambil peran sebagai wanita karir (bekerja) sama halnya dengan bapak.
Perlu diketahui, bahwa peran orang tua sangat dibutuhkan pada dua waktu yang pada waktu-waktu tersebut sangat penting sekali dalam pendidikan anak, yaitu waktu maghrib dan shubuh. Waktu maghrib adalah waktu terjadinya pergantian aktivitas dari siang hari ke malam hari, waktu siang adalah waktu penuh aktivitas fisik, sedangkan malam adalah waktu untuk istirahat. Namun yang penting untuk diketahui adalah pesan Islam tenang waktu maghrib yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Nabi saw. bersabda “"Jagalah anak-anakmu agar tetap di rumah pada waktu sore hari (maghrib) dan Isya, karena syetan berkeliaran (pada sore hari; maghrib) dan menculiknya”. (Sahih Bukhari). Dalam redaksi yang lain kita diperintahkan untuk menutup pintu-pintu rumah.
Dari hadis tersebut ada peran orang tua yang sangat besar sekali dalam menjaga keselamatan anak dari gangguan jin (setan) di waktu maghrib. Maka, orang tua yang bekerja sebaiknya sebelum waktu maghrib sudah pulang kerumah, terutama ibu, untuk menjaga anak-anaknya. Selain itu, secara tidak langsung ada pesan lain bahwa, maghrib adalam waktu yang istimewah yang mampu membangun kedekatan orang tua dengan anak. Jika waktu maghrib orang tua dan anak sama-sama berada di rumah, maka mereka bisa saling berkomunikasi tentang persoalan mereka massing-masing, orang tua bisa menanyakan bagaimana kegiatan anak seharian, apa permasalahan anak, dan sebagainya. Bapak bisa mengajarkan anak laki-lakinya salat berjamaah ke masjid, ibu mengajari putrinya salat di rumah. Kemudian di rumah mereka bisa makan bersama sambil bercengkerama dalam suasana yang hangat.
Berikutnya waktu subuh adalah waktu pergantian dari malam ke siang, pada waktu ini aktivitas istirahat mulai memasuki aktivitas fisik dan hiruk-pikuk rutinitas harian. Kunci keberhasilan aktivias keluarga pada hari itu bisa dipengaruhi oleh manajemen waktu subuh. Secara fisiologis menurut hasil penelitian tubuh juga sudah siap untuk aktivitas fisik. Selain itu psikologis manusia juga siap untuk beraktivitas karena sudah beristirahat dan segar.
Kebiasaan bangun di waktu subuh akan membantu orang tua mempersiapkan segala keperluan untuk aktivitas hari itu. Terutama keluarga yang memiliki anak-anak kecil usia sekolah. Orang tua memiliki banyak waktu untuk melakukan persiapan sebelum berangkat bekerja, membuat sarapan, memandikan anak, menyiapkan segala peralatan kerja, persiapan sekolah anak, dan sebagainya. Selain itu, yang lebih penting adalah mengajarkan anak untuk salat subuh berjamaah di masjid, terutama anak laki-laki. Sebab, dalam sejarah Islam kejayaan yang diperoleh oleh Islam tidak pernah lepas dari jumlah jamaah salat subuh. Misalnya, tercatat di dalam sejarah dinasti Ayubiyah, sang pahlawan Islam Sholahuddin al-Ayyubiy sebelum menaklukkan al-Quds (Palestina) dari tentara Salibiyah (Romawi) selalu memantau jamaah salat subuh di masjid-masjid, hingga dia berani melakukan invansi ketika jamaah salat subuh sudah sama halnya dengan jamaah salat jum’at.
Keempat, dari sudut pandang pendidikan Islam. Keluarga merupakan lingkungan pertama tempat anak belajar tentang kehidupan. Pertama kali yang anak lihat ketika matanya mulai melihat dunia adalah ibu dan bapaknya kemudian orang-orang disekitar keluarganya. Keluarga juga sekolah pertama bagi anak, tempat belajar berbicara, belajar mendayagunakan potensi fisik yang dia miliki, belajar tentang atuan dan nilai-nilai kehidupan. Maka, keberhasilan keluarga dalam mendidik anak menjadi kunci keberhasilan pada tahap-tahap pendidikan selanjutnya.
Islam sangat memperhatikan sekali pendidikan di dalam keluarga, sebagaimana sabda Nabi saw. dalam hadis riwayat Thabrani dan Baihaqi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (cenderung kepada tauhid), maka ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Kemudian dalam hadis riwayat Ibnu Majah disabdakan “Awasilah anak-anakmu dan perbaikilah adabnya”. Hadis tersebut menunjukkan bahwa keluarga (baca: orang tua) mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anaknya.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang berlangsung sepanjang masa, lalu apa materi yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya? Dari hadis di atass tadi, dapat kita fahami bahwa; pertama, fitrah bayi yang baru lahir, fitrah menurut ulama adalah kecenderungan kepada tauhid, artinya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan jiwa yang suci dari kesyirikan, maka dalam fikih sebagian ulama berpendapat bahwa bayi yang lahir dari orang tua kafir, kemudian bayi itu meninggal, maka dia meninggal dalam keadaan suci. Maka yang pertama sekali diajarkan orang tua kepada anaknya adalah keimanan kepada Allah Yang Maha Esa. Iman harus menjadi dasar dari segala ilmu, orang tua dengan sekuat tenaga harus menanamkan iman yang kuat kepada anaknya, sebab iman adalah kunci kesuksesan di dunia dan di akhirat. Apabila iman sudah mengakar dalam jiwa anak, maka ilmu-ilmu yang lainnya akan membawa kemanfaatan bagi kehidupan manusia. Misalnya, anak yang berbakat dalam ilmu kehutanan, dengan iman yang dia miliki, ilmunya akan berguna dalam melestarikan hutan dan lingkungan hiduo, sebab imannya kepada Allah mengharuskan dia taat dengan ajaran Islam yang melarang berbuat kerusakan di muka bumi. Bukannya menjadi intelektual pembakar hutan, yang merusak lingkungan, dan menyebabkan ribuan orang menghirup asap yang berbahaya bagi kesetan.
Kedua, akhlak yang baik (akhlak karimah). Akhlak merupakan perilaku yang sudah tertanam dalam kepribadian dan muncul secara otomatis dalam perilaku sehari-hari. Akhlak mencakup berbagai aspek kehidupan, misalnya akhlak berbicara, akhlak makan, akhlak kepada saudara, akhlak bertetangga, akhlak ketika berada di masjid, dan sebagainya yang sudah dipandu di dalam Islam.
Ketiga, tata aturan atau hukum Islam (syari’ah). Iman (baca: akidah) dan akhlak merupakan dua dari tiga pokok ajaran Islam, yang ketiga adalah syari’ah (hukum Islam). Hukum Islam adalah tata aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, misalnya hukum-hukum tentang ibadah. Kemudian hukum pidana dan perdata. Pendidikan syari’ah diajarkan secara bertahap kepada anak, sebab pendidikan syari’ah berkaitan dengan perkembangan nalar anak.
Lalu, apa hubungan antara akidah, syari’ah dan akhlak dengan waktu maghrib dan subuh, serta mengatasi permasalahan yang dikemukakan di awal tadi?
Keberhasilan keluarga dalam mengajarkan ketiga pokok ajaran Islam yang meliputi akidah, syari’ah, dan akhlak setidaknya berkaitan dengan waktu maghrib dan subuh dalam dua hal; (1) waktu maghrib sebagai waktu yang tepat mengajarkan anak tentang akidah, syari’ah, dan akhlak. Misalnya pada waktu maghrib orang tua memiliki waktu yang panjang bersama anak hingga waktu tidur. Pada waktu ini orang tua bisa mengajarkan anak tata cara beribadah, nilai-nilai akhlak yang baik, dan nilai-nilai keimanan. Begitu juga dengan waktu subuh, orang tua bisa mengajarkan anaknya untuk terbiasa bangun pagi, berangkat salat berjamaah salat subuh ke masjid, menyampaikan pesan-pesan yang baik ketika anak akan berangkat ke sekolah, dan sebagainya; (2) waktu maghrib dan subuh sebagai waktu penting dalam memberikan teladan kepada anak. Orang tua sebaiknya tidak hanya menyuruh anak ini itu, tapi sekaliguus mengajak dan memberikan teladan kepada anak. Ketika menyuruh anak ke masjid, maka sebaiknya orang tua juga ke masjid, ketika menyuruh anak membaca al-Qur’an, maka sebaiknya orang tua juga membaca al-Qur’an. Sebab, di waktu yang lain anak lebh banyak bergaul dengan orang lain, apakah itu teman, guru, atau masyarakat. Maka sebaiknya, orang tua menjadi figur yang pantas di teladani anak, apabila orang tua sudah menjadi figur bagi anak, maka akan membuahkan sikap hormat, memuliakan, dan menghargai orang tua. Anak yang sudah memiliki figur orang tua akan membentengi anak dari mencai figur-figur yang tidak baik dilingkungan. Mengenai hal ini, al-Qur’an mencontohkan dalam kisah Nabi Yusuf as (lihat : QS. Yusuf ayat 24, sebagian ulama menafsirkan yang dimaksud dengan tanda dari tuhannya adalah Yusuf terbayang tentang ayahnya Ya'qub). Dalam surat Yusuf diceritakan ketika Yusuf digoda oleh Zulaikha seorang wanita bangsawan, kaya raya, cantik, dan menggoda siapa saja laki-laki yang melihatnya. Zulaikha mengajak Yusuf berbuat maksiat, namun ketika itu pula Yusuf ingat dengan Ya’qub, bapaknya. Yusuf ingat tentang kasih sayang bapaknya, nasehat-nasehat bapaknya. Maka yusuf pun menolak ajakan Zulaikha, sehingga Yusuf terhindar dari tipu daya Zulaikha. Wallahu a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate