Cari Blog Ini

Sabtu, 24 Oktober 2015

Nasehat Sebagai Media Pendidikan Islam

Oleh : Syahri Ramadhan

Suatu ketika, orang tua saya pernah bercerita. Meskipun orang tua saya tidak mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi, karena sekolahnya hanya sampai sekolah menengah pertama, tapi saya bisa menangkap dari ceritanya bahwa sudah terjadi demoralisasi ditengah-tengah masyarakat saat ini. Mungkin bukan orang tua saya saja yag merasakannya, karena permasalahan ini sudah menjadi topik hangat (hot topic) yang ramai diperbincangkan para praktisi maupun akademisi yang prihatin dengan shock culture (goncangan budaya) yang dialami bangsa Indonesia saat ini.

Begini cerita orang tua saya, “Suatu hari, sepulang dari tempat kerja ayah saya melihat sekelompok anak yang mulai beranjak remaja sedang berkumpul membentuk sebuah lingkaran kecil, dia mendekati sekelompok anak itu. Astaghfirullah, ayah saya kaget sekali melihat apa yang ada ditangan anak-anak itu. Masing-masing anak memegangi beberapa kartu remi (biasanya digunakan untuk berjudi) dan didepan mereka ada beberapa lembar uang seribuan yang digunakan untuk berjudi.
Orang tua saya menasehati sekelompok anak itu. Namun, apa yang mereka katakan? “Bapak kami saja sering berjudi, masa kami gak boleh?”. Usaha ayah saya tidak berhenti di situ, dia mencoba melaporkan hal ini kepada orang tua anak-anak itu. Namun, apa yang terjadi? Mereka malah menyepelekan nasihat ayah saya. Walaupun ayah saya tidak mengharapkan terimakasih dan tanggapan yang baik dari mereka.
Dahulu, jika ada anak yang dinasehati kebaikan oleh orang lain. Maka orang tuanya akan berterima kasih kepada orang tersebut. Tapi sekarang, jika anaknya dinasehati oleh orang lain karena kesalahan anaknya. Orang tua cenderung membela anaknya di depan orang yang menasehati anaknya. Hal ini tentu akan berakibat buruk pada kepribadian anak. Anak akan berpikir bahwa kesalahan yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran, karena secara tidak langsung mendapat pembenaran dari orang tuanya. Anak tidak lagi menghargai orang yang memberikan nasehat kepadanya dan menganggap remeh orang yang menasehatinya ketika ia berbuat salah.
Nasehat-menasehati adalah kearifan lokal yang secara turun temurun mendarah daging dalam keseharian masyarakat Indonesia. Misalnya dalam budaya orang Minagkabau seorang “Mamak” atau paman yang menjadi pemimpin dalam sebuah nagari (kampung) atau sukunya berfungsi menjadi pembimbing bagi anak dan keponakan dalam nagari. Tatkala ada diantara anak dan keponakannya yang melanggar aturan adat dan syari’at maka mamaklah yang menasehati dan mengajari. Begitu juga dalam budaya Jawa, Batak, Betawi, dan lainnya nasehat-menasehati adalah perilaku yang dipandang baik dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan mereka.
Bahkan di dalam syari’at Islam nasehat memiliki kedudukan utama dalam penanaman nilai-nilai kebaikan pada manusia.  Sebagaimana yang disabdakan Rasulallah Saw. “Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu 'anh, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah nasehat, Kami bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim” (Hadis Arba’in An-Nawawi, hadis ke 7).
Menurut ulama, kata nasehat dalam bahasa Arab adalah memiliki makna yang sangat tinggi, penuh isi dan makna kebaikan yang banyak. Sehingga tidak ada padanan kata yang setara dengan nasehat. Maka dapat dipahami bahwa nasehat merupakan semua ajaran, anjuran, atau ajakan yang berisi tentang kebaikan. Sedangkan agama sebagai nasehat dalam hadis di atas maksudnya penopang atau tiang agama. Semua kebaikan yang diajarkan agama, seperti beriman kepada rukun iman yang enam, perintah menjalankan ibadah, berakhlak mulia disampaikan melalui nasehat. Sehingga ulama sepakat bahwa nasehat termasuk fardhu kifayah dan merupakan keharusan yang dikerjakan dengan sekuat tenaga.
Sungguh ironis sekali, jika memberikan nasehat telah banyak ditinggalkan kaum muslimin saat ini, tidak menghargai pemberi nasehat, bahkan meremehkannya. Bagaimana mungkin nasehat agama akan sampai kepada generasi yang akan datang, jika salah satu tiang utama penyampai ajaran agama patah digenerasi sekarang. Akan sia-sialah harapan orang tua dan para pendidik khususnya, jika nasehat ditinggalkan. Bagaimana mungkin orang tua dan pendidik mempunyai harapan kemulian akhlak anak-anak dan didikan mereka, jika nasehat mereka tinggalkan.
Melemahnya pemberian nasehat bisa kita lihat tatkala orang tua dan pendidik melakukan pembiaran terhadap anak-anak mereka yang melakukan kesalahan. Seringkali kita melihat orang tua yang menahan nasehat kepada anaknya karena ingin anaknya senang, padahal anaknya butuh nasehat untuk memberikan pengertian tentang yang baik dan buruk. Atau seorang guru yang kurang peka terhadap kesalahan anak didikya, seperti pembiaran terhadap kurangnya adab anak didiknya ketika menuntut ilmu atau sholat berjama’ah di sekolah. Guru seolah-olah berfikir, mereka masih kecil, jadi wajar kalau ramai dalam musholah, nanti kalau sudah besar juga tahu mana yang benar.
Wahai kaum muslimin, jika anda acuh pada kesalahan-kesalah anak sewaktu mereka masih kecil, lalu kapan anda akan menaruh perhatian terhadap kesalahan mereka dan kapan anda akan mengajari mereka tentang kebaikan. Bukankah anda sudah tahu bahwa apa-apa yang menjadi kebiasaan anak sejak kecil akan berkesan di dalah dadanya sampai dewasanya nanti. Bukankah mengajari anak tentang kebaikan lebih mudah diajarkan dan diterima anak ketika dia masih kecil dan polos untuk menerima semua yang anda ajarkan. Bukankah ketika mereka sudah beranjak remaja sulit bagi anda untuk menasehati dan meluangkan waktu bersama mereka karena kesibukan anda dan mereka juga sibuk dengan aktivitasnya. Bukankah di usia remaja mereka sibuk mencari jati dirinya dan terkadang sudah mulai membantah dan beradu argumentasi dengan anda. Maka tidak ada kesempatan yang lebih baik, kecuali anda menasehati banyak kebaikan ketika mereka masih kecil dan memiliki banyak waktu dengan anda.
Alasan lain, mengapa pemberian nasehat perlu dibiasakan pada anak sejak kecil. Setiap yang sudah menjadi kebiasaan, kita akan mudah dan dengan sadar melakukannya. Sedangkan yang belum pernah kita lakukan, kita akan merasa sulit, bahkan membayangkannya saja kita sudah malas. Misalnya, bagi seorang tukang sedot WC, menyedot tinja bukanlah pekerjaan yang berat atau membuat perutnya mual, karena sudah menjadi kebiasaan dan pekerjaan yang dia lakukan secara berulang-ulang. Tapi bagi orang yang belum pernah melakukannya, tentu akan sangat berat sekali, bahkan dengan membayangkannya saja dia bisa muntah.
Seseorang yang sudah terbiasa menerima nasehat akan lebih muda untuk mendengarkan dan menghormati orang yang menasehatinya. Dia akan mendengarkan baik-baik setiap kata yang keluar dari mulut orang yang memberi nasehat dan tentu akan mengikuti pentunjuk kebaikan yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak pernah diberi nasehat, dia akan merasa asing dengan nasehat, tidak ada perasaan menghormati dan menghargai yang memberi nasehat, dia akan acuh dan bahkan bisa merendahkan nasehat walaupun dia tahu isinya adalah kebaikan.
Memberikan nasehat bukanlah pekerjaan yang berat untuk dilakukan, setiap orang bisa memberikan nasehat sesuai dengan kadar ilmu yang dia miliki, walaupun ilmunya sedikit. Mencegah saudara kita agar tidak berkata bohong merupakan nasehat, mengajari anak kita tentang kejujuran juga merupakan nasehat, maka semua kebaikan yang dianjurkan kepada orang lain karena mengharap ridho Allah adalah nasehat.
Rasulallah Saw. memberikan tauladan kepada kita bagaimana cara menasehati anak dengan mudah, dalam keadaan santai, mudah diterima dan diingat anak sepanjang hidupnya. Dalam sebuah hadis Ibnu Abbas ra. berkata “Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat : Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (Hadis Arba’in An-Nawawi, hadis ke 19). Dalam keterangan hadis ini dikatakan bahwa saat itu Ibnu Abbas ra. sedang berada di belakang Nabi dan sedang mengendarai Onta.

Mudah sekali bukan? Maka alasan lagi yang membuat kita untuk tidak menasehati anak, saudara, teman, kerabat kepada kebaikan. Allah berkalam dalam Al-Qur’an Al-Karim “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-Qur’an surat Al-‘Ashr : 1-3). Wallahu A‘alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate