Oleh : Syahri Ramadhan
Suatu ketika,
orang tua saya pernah bercerita. Meskipun orang tua saya tidak mengenyam
pendidikan sampai ke perguruan tinggi, karena sekolahnya hanya sampai sekolah
menengah pertama, tapi saya bisa menangkap dari ceritanya bahwa sudah terjadi
demoralisasi ditengah-tengah masyarakat saat ini. Mungkin bukan orang tua saya
saja yag merasakannya, karena permasalahan ini sudah menjadi topik hangat (hot
topic) yang ramai diperbincangkan para praktisi maupun akademisi yang
prihatin dengan shock culture (goncangan budaya) yang dialami bangsa
Indonesia saat ini.
Begini cerita
orang tua saya, “Suatu hari, sepulang dari tempat kerja ayah saya melihat
sekelompok anak yang mulai beranjak remaja sedang berkumpul membentuk sebuah
lingkaran kecil, dia mendekati sekelompok anak itu. Astaghfirullah, ayah
saya kaget sekali melihat apa yang ada ditangan anak-anak itu. Masing-masing
anak memegangi beberapa kartu remi (biasanya digunakan untuk berjudi) dan
didepan mereka ada beberapa lembar uang seribuan yang digunakan untuk berjudi.
Orang tua saya
menasehati sekelompok anak itu. Namun, apa yang mereka katakan? “Bapak kami saja
sering berjudi, masa kami gak boleh?”. Usaha ayah saya tidak berhenti di situ,
dia mencoba melaporkan hal ini kepada orang tua anak-anak itu. Namun, apa yang
terjadi? Mereka malah menyepelekan nasihat ayah saya. Walaupun ayah saya tidak
mengharapkan terimakasih dan tanggapan yang baik dari mereka.
Dahulu, jika ada
anak yang dinasehati kebaikan oleh orang lain. Maka orang tuanya akan berterima
kasih kepada orang tersebut. Tapi sekarang, jika anaknya dinasehati oleh orang
lain karena kesalahan anaknya. Orang tua cenderung membela anaknya di depan
orang yang menasehati anaknya. Hal ini tentu akan berakibat buruk pada
kepribadian anak. Anak akan berpikir bahwa kesalahan yang dilakukannya adalah
sebuah kebenaran, karena secara tidak langsung mendapat pembenaran dari orang
tuanya. Anak tidak lagi menghargai orang yang memberikan nasehat kepadanya dan
menganggap remeh orang yang menasehatinya ketika ia berbuat salah.
Nasehat-menasehati
adalah kearifan lokal yang secara turun temurun mendarah daging dalam keseharian
masyarakat Indonesia. Misalnya dalam budaya orang Minagkabau seorang “Mamak”
atau paman yang menjadi pemimpin dalam sebuah nagari (kampung) atau
sukunya berfungsi menjadi pembimbing bagi anak dan keponakan dalam nagari.
Tatkala ada diantara anak dan keponakannya yang melanggar aturan adat dan
syari’at maka mamaklah yang menasehati dan mengajari. Begitu juga dalam budaya
Jawa, Batak, Betawi, dan lainnya nasehat-menasehati adalah perilaku yang
dipandang baik dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan mereka.
Bahkan di dalam
syari’at Islam nasehat memiliki kedudukan utama dalam penanaman nilai-nilai
kebaikan pada manusia. Sebagaimana yang disabdakan
Rasulallah Saw. “Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu 'anh,
“Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah nasehat, Kami
bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim” (Hadis Arba’in
An-Nawawi, hadis ke 7).
Menurut ulama,
kata nasehat dalam bahasa Arab adalah memiliki makna yang sangat tinggi, penuh
isi dan makna kebaikan yang banyak. Sehingga tidak ada padanan kata yang setara
dengan nasehat. Maka dapat dipahami bahwa nasehat merupakan semua ajaran,
anjuran, atau ajakan yang berisi tentang kebaikan. Sedangkan agama sebagai
nasehat dalam hadis di atas maksudnya penopang atau tiang agama. Semua kebaikan
yang diajarkan agama, seperti beriman kepada rukun iman yang enam, perintah
menjalankan ibadah, berakhlak mulia disampaikan melalui nasehat. Sehingga ulama
sepakat bahwa nasehat termasuk fardhu kifayah dan merupakan keharusan yang
dikerjakan dengan sekuat tenaga.
Sungguh ironis
sekali, jika memberikan nasehat telah banyak ditinggalkan kaum muslimin saat
ini, tidak menghargai pemberi nasehat, bahkan meremehkannya. Bagaimana mungkin
nasehat agama akan sampai kepada generasi yang akan datang, jika salah satu
tiang utama penyampai ajaran agama patah digenerasi sekarang. Akan sia-sialah
harapan orang tua dan para pendidik khususnya, jika nasehat ditinggalkan.
Bagaimana mungkin orang tua dan pendidik mempunyai harapan kemulian akhlak
anak-anak dan didikan mereka, jika nasehat mereka tinggalkan.
Melemahnya
pemberian nasehat bisa kita lihat tatkala orang tua dan pendidik melakukan
pembiaran terhadap anak-anak mereka yang melakukan kesalahan. Seringkali kita
melihat orang tua yang menahan nasehat kepada anaknya karena ingin anaknya
senang, padahal anaknya butuh nasehat untuk memberikan pengertian tentang yang
baik dan buruk. Atau seorang guru yang kurang peka terhadap kesalahan anak
didikya, seperti pembiaran terhadap kurangnya adab anak didiknya ketika
menuntut ilmu atau sholat berjama’ah di sekolah. Guru seolah-olah berfikir, mereka
masih kecil, jadi wajar kalau ramai dalam musholah, nanti kalau sudah besar
juga tahu mana yang benar.
Wahai kaum
muslimin, jika anda acuh pada kesalahan-kesalah anak sewaktu mereka masih
kecil, lalu kapan anda akan menaruh perhatian terhadap kesalahan mereka dan
kapan anda akan mengajari mereka tentang kebaikan. Bukankah anda sudah tahu
bahwa apa-apa yang menjadi kebiasaan anak sejak kecil akan berkesan di dalah
dadanya sampai dewasanya nanti. Bukankah mengajari anak tentang kebaikan lebih
mudah diajarkan dan diterima anak ketika dia masih kecil dan polos untuk
menerima semua yang anda ajarkan. Bukankah ketika mereka sudah beranjak remaja
sulit bagi anda untuk menasehati dan meluangkan waktu bersama mereka karena kesibukan
anda dan mereka juga sibuk dengan aktivitasnya. Bukankah di usia remaja mereka
sibuk mencari jati dirinya dan terkadang sudah mulai membantah dan beradu
argumentasi dengan anda. Maka tidak ada kesempatan yang lebih baik, kecuali
anda menasehati banyak kebaikan ketika mereka masih kecil dan memiliki banyak
waktu dengan anda.
Alasan lain,
mengapa pemberian nasehat perlu dibiasakan pada anak sejak kecil. Setiap yang
sudah menjadi kebiasaan, kita akan mudah dan dengan sadar melakukannya.
Sedangkan yang belum pernah kita lakukan, kita akan merasa sulit, bahkan
membayangkannya saja kita sudah malas. Misalnya, bagi seorang tukang sedot WC,
menyedot tinja bukanlah pekerjaan yang berat atau membuat perutnya mual, karena
sudah menjadi kebiasaan dan pekerjaan yang dia lakukan secara berulang-ulang.
Tapi bagi orang yang belum pernah melakukannya, tentu akan sangat berat sekali,
bahkan dengan membayangkannya saja dia bisa muntah.
Seseorang yang
sudah terbiasa menerima nasehat akan lebih muda untuk mendengarkan dan
menghormati orang yang menasehatinya. Dia akan mendengarkan baik-baik setiap
kata yang keluar dari mulut orang yang memberi nasehat dan tentu akan mengikuti
pentunjuk kebaikan yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak
pernah diberi nasehat, dia akan merasa asing dengan nasehat, tidak ada perasaan
menghormati dan menghargai yang memberi nasehat, dia akan acuh dan bahkan bisa
merendahkan nasehat walaupun dia tahu isinya adalah kebaikan.
Memberikan
nasehat bukanlah pekerjaan yang berat untuk dilakukan, setiap orang bisa
memberikan nasehat sesuai dengan kadar ilmu yang dia miliki, walaupun ilmunya
sedikit. Mencegah saudara kita agar tidak berkata bohong merupakan nasehat,
mengajari anak kita tentang kejujuran juga merupakan nasehat, maka semua
kebaikan yang dianjurkan kepada orang lain karena mengharap ridho Allah adalah
nasehat.
Rasulallah Saw.
memberikan tauladan kepada kita bagaimana cara menasehati anak dengan mudah,
dalam keadaan santai, mudah diterima dan diingat anak sepanjang hidupnya. Dalam
sebuah hadis Ibnu Abbas ra. berkata “Pada suatu hari saya pernah berada di
belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Wahai anak
muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat : Jagalah Allah, niscaya
Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di
hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong,
mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul
untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu
peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya
mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya
tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk
dirimu. Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (Hadis
Arba’in An-Nawawi, hadis ke 19). Dalam keterangan hadis ini dikatakan bahwa
saat itu Ibnu Abbas ra. sedang berada di belakang Nabi dan sedang mengendarai
Onta.
Mudah sekali
bukan? Maka alasan lagi yang membuat kita untuk tidak menasehati anak, saudara,
teman, kerabat kepada kebaikan. Allah berkalam dalam Al-Qur’an Al-Karim “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.”
(Al-Qur’an surat Al-‘Ashr : 1-3). Wallahu A‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar