Cari Blog Ini

Minggu, 22 November 2015

BAHASA KIASAN DALAM PENDIDIKAN ANAK DI MINANGKABAU

Oleh : Syahri Ramadhan

Di era tahun 90an bisa dikatakan sebagai akhir dari kejayaan kearifan lokal budaya tradisional, misalnya di Minangkabau. Sebab, ketika memasuki era milenium ke 2 (tahun 2000) kearifan lokal di Minangkabau mulai tergerus oleh arus globalisasi dan westernisasi. Para budayawan sepakat bahwa faktor utama yang menyebabkan asimilasi kebudayaan adalah perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitu cepat. Sementara menurut agamawan juga disebabkan oleh semakin melemahnya Iman dan Takwa (IMTAK) masyarakat yang semakin menjauh dari nilai-nilai agama yang mereka anut. Selain kedua faktor utama tersebut, ada beberapa faktor pendukung yang memperkuat asimilasi kebudayaan seperti tingkat pendidikan yang masih rendah, peran tokoh adat dan agama yang mulai melemah, dan arus budaya asing, terutama budaya Barat yang begitu cepat masuk ke cela-cela kehidupan masyarakat yang belum siap menerimanya, sehingga mengakibatkan shock culture.
Asimilasi kebudayan cenderung bersifat negatif terhadap suatu kebudayaan. Asimilasi kebudayaan adalah proses bertemunya antara dua kebudayaan atau lebih, dimana kebudayaan asli lambat laun tergerus dan hilang diganti dengan kebudayaan baru. Dalam interaksi kebudayaan lokal Minangkabau dengan budaya asing, karakteristik asimilasi kebudayaan lebih kentara dibandingkan akulturasi kebudayaan, yaitu proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih, namun budaya lokal lebih selektif terhadap kebudayaan baru, sehingga kearifan lokal yang dimiliki tetap bertahan dan lestari. Salah satu akibat asimilasi kebudayaan di Minangkabau adalah hilangnya bahasa kiasan dalam pendidikan anak.
Bahasa kiasan bisa disamakan bahasa isyarat, bahasa sindiran, atau analogi. Pada prakteknya bahasa kiasan digunakan secara umum dalam kehidupan masyarakat Minangkabau baik itu antara orang tua dan anak, sesama kawan, kepada yang lebih tua, dan dari yang tua ke yang muda. Bahasa kiasan merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki orang Minangkabau dalam menyampaikan maksudnya kepada orang lain, biasanya bisa berupa isyarat non-verbal, pantun, sindiran, pepatah, dan perumpamaan-perumpamaan. Esensi bahasa kiasan adalah penyampaian maksud secara tidak langsung, yang makna atau maksud sebenarnya ada dibalik bahasa kiasan itu. Bahasa kiasan dimaksudkan untuk menjaga perasaan dan kehormatan orang lain, karena apabila disampaikan dengan vulgar atau terang-terangan apa adanya akan menyakiti perasaan dan menodai kehormatan orang lain. Maka untuk mengerti dan faham bahasa kiasan seseorang harus mengasah kemampuannya dan banyak bergaul dan belajar dari orang yang lebih tua.
Orang tua di Minangkabau, dahulu mendidik anak-anaknya dengan menggunakan bahasa kiasan, sehingga masyhur dikalangan masyarakat Minagkabau pepatah “Binatang tahan palu, manusia tahan kieh”, artinya binatang itu dididik dengan menggunakan palu atau pukulan, sedangkan manusia itu dididik dengan kias atau bahasa kiasan. Pepatah tersebut menunjukkan urgensi bahasa kiasan dalam pendidikan di Minangkabau. Apabila kearifan lokal ini dijalankan, maka dalam pendidikan anak di Minangkabau tidak mengenal bullying atau kekerasan terhadap anak. Sebab, orang tua atau guru cukup dengan bahasa isyarat untuk menegur anak yang melakukan kesalahan, tidak perlu dengan kekerasan. Misalnya apabila anak ramai di kelas, guru cukup dengan melihat saja, maka anak-anak sudah tenang.
Pepatah “Binatang tahan palu, manusia tahan kieh” memiliki makna pendidikan yang amat dalam. Dari pepatah tersebut dapat dipahami ada tingkatan-tingkatan metode pendidikan dalam kearifan lokal budaya Minagkabau. Metode pendidikan yang dimaksud adalah cara yang digunakan orang Minangkabau dalam menyampaikan nasehat maupun teguran kepada anak-anak kemenakan mereka. Contohnya, orang Minangkabau biasanya menggunakan bahasa kiasan ketika menasehati anak kemenakan yang melanggar norma adat dan agama. Misalnya untuk menasehati agar anak perempuan tidak keluyuran malam hari, orang tua atau mamak (pamannya) akan menyindir dengan kiasan “parampuan anai-anai”, anai-anai atau laron (lihat : jawa) adalah sejenis serangga yang keluar di malam hari dan menyukai tempat-tempat yang bercahaya. Bahasa kiasan “parampuan anai-anai” ini dimaknai sebagai sifat yang tidak baik bagi perempuan dan pantas dijauhi. Adapun tingkatan metode pendidikan yang terkandung dalam pepatah “Binatang tahan palu, manusia tahan kieh” adalah pendidikan dengan bahasa kiasan, pendidikan dengan bahasa vulgar atau apa adanya, dan pendidikan dengan pukulan.
Tingkatan pertama adalah pendidikan dengan bahasa kiasan. Pendidikan dengan bahasa kiasan menempati metode pendidikan tertinggi yang mencerminkan kemuliaan budi pekerti dan ketinggian intelektualitas suatu masyarakat. Pendidikan dengan bahasa kiasan adalah pendidikan anti kekerasan, pendidikan yang mendidik dengan hati dan perasaan yang halus, pendidikan yang menjaga kehormatan anak didik, dan pendidikan yang humanis, yaitu pendidikan memanusiakan manusia. Maka pendidikan dengan metode ini layak untuk dipertahankan dan dilestarikan dari generasi-ke generasi.
Tingkatan kedua adalah pendidikan dengan bahasa yang vulgar atau apa adanya. Cara ini digunakan dengan menyampaikan maksud secara terang-terangan. Bahasa vulgar digunakan apabila bahasa kiasan tidak mempan lagi untuk menyampaikan maksud. Pada tahap ini bisa jadi bahasa kiasan sudah hilang, sehingga banyak orang yang tidak paham dengan bahasa kiasan.
Tingkatan ketiga adalah pendidikan dengan pukulan. Pukulan yang dimaksud tidak selalu berarti kekerasan. Pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang mendidik, yang tidak menyakiti atau melukai, pukulan yang menunjukkan ketegasan. Namun, pendidikan dengan pukulan tidak disarankan dalam pendidikan, sebab masyarakat Minangkabau menyetarakannya dengan pendidikan untuk binatang. Opsi pendidikan dengan pukulan dilakukan apabila pendidikan dengan tingkatan pertama dan kedua sudah tidak mempan lagi. Maka prinsipnya adalah pemukulan dilakukan apabila tidak ada cara lain untuk menunjukkan ketegasan kecuali dengan pemukuluan, artinya kesalahan yang dilakukan anak sudah melampaui batas dan berulang kali. Tujuannya adalah agar anak memahami kesalahannya dan segera bertobat.
Untuk tetap melestarikan bahasa kiasan dalam kearifan lokal masyarakat Minangkabau, maka perlu digalakkan kembali dalam pendidikan di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Orang tua bisa mengajari anak-anaknya tentang bahasa kiasan dan mendidik mereka peka terhadap bahasa kiasan. Sebab, pendidikan di keluarga menjadi kunci penanaman nilai-nilai kearifan lokal dan kelestariannya. Selanjutnya di sekolah, kurikulum tentang kearifan lokal, misalnya tentang Budaya Alam Minangkabau (BAM) diarahkan kepada kompetensi penggunaan bahasa kiasan, anak didik dikenalkan tentang bahasa kiasan, dan dididik dengan memberikan teladan dalam interaksi di lingkungan sekolah baik sesama anak didik maupun dengan guru atau menggalakkan wacana sekolah yang berkearifan lokal budaya Minangkabau. Kemudian dalam masyarakat, penggunaan bahasa kiasan perlu dibudayakan lagi, salah satu langkah yang sudah ditempuh oleh masyarakat adat Minangkabau adalah program Kembali ke Nagari dan Kembali ke Surau. Mungkin, program ini perlu dievaluasi kembali, dan diadakan berbagai perbaikan yang menunjang bahasa kiasan kembali hidup ditengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate