Cari Blog Ini

Jumat, 28 Juni 2013

ANTARA PANDANGAN ISLAM DAN ERICH FROMM TERHADAP CINTA YANG PRODUKTIF

Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi
“Perspektif Islam Terhadap Romantisme Cinta Saat Pacaran Antara Dua Orang Anak Manusia”

PENDAHULUAN
Innal hamdalillah, wa syukurillah wa asyhaduallaa ilaha illallah wahdah. Washolatu wa salamu ‘ala muhammadin maulanal mursalin.
Banyak teori-teori psikologi barat yang mengemukakan pendapat mereka tentang kepribadian manusia, diantaranya teori Erich Fromm. Fromm mengemukakan teori kodrat kepribadian yang sehat, salah satunya adalah “cinta yang produktif”. Fromm mengatakan bahwa cinta yang produktif bukanlah semata-mata cinta yang di dasari oleh nafsu dan tidak terbatas cinta yang erotis, tetapi mungkin cinta persaudaraan (cinta kepada sesama manusia) atau cinta keibuan (cinta dari ibu kepada anak). Esensi cinta produktif adalah adanya perlindungan dan tanggung jawab. Tidak ada yang namanya penguasaan antara satu pihak ke pihak lainnya.
Di dalam Islam kita juga di ajarkan untuk saling mencintai, namun cinta yang paling utama adalah cinta kepada Allah Swt, kemudian Cinta kepada Rasul Saw, kemudian cinta kepada ibu bapak, dan yang terakhir adalah cinta kepada sesama manusia. Allah Swt berfirman (QS. Ali Imran: 31):
“...maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”. (Al-Maidah: 54)
“ Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ali Imran: 31).
Rasul Saw bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga ia mencintai (mengasihi) saudaranya sebagaimana ia  mencintai dirinya  sendiri”.(HR. Bukhari dan Anas).
Cintailah kekasihmu sewajarnya saja, siapa tahu suatu saat ia akan menjadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu biasa-biasa saja, siapa tahu suatu waktu ia akan menjadi kekasihmu”. (HR. Bukhari, Abu daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Imam Ali bin Abi Thalib karamahullahu wajhahu berkata: “Jika engkau mencintai, maka cintailah dengan dengan cinta yang sewajarnya, Karena engkau tidak tahu kapan engkau akan meninggal. Dan jika engkau membenci maka bencilah dengan sewajarnya, karena engkau tidak tahu kapan rasa cinta akan datang kiembali”.
Begitulah sedikit gambaran cinta dalam Islam. Islam adalah agama yang menanamkan rasa cinta kepada setiap pemeluknya. Bukan hanya terbatas cinta kepada Allah, Rasul, sesama manusia saja, bahkan Islam mengajarkan cinta kepada seluruh makhluk Allah, baik itu binatang maupun hewan. Karena Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.
Namun, dalam pembahasan penulis pada esai ini, penulis hanya akan membahas bagaimana tuntunan Islam dalam mengatur umatnya untuk saling mencintai sesama manusia dengan mengkorelasikannya pada teori cinta yang produktif menurut Erich Fromm, tidak tertutup kemungkinan kedua pandangan ini akan saling mengisi satu sama lainnya atau lebih ekstrim penulis membahasakannya “teori Fromm merupakan kunci untuk menggali ke kamilan (kesempurnaan Islam dalam memandang arti cinta”.
Penulis tertarik membahas masalah ini karena umat Islam khususnya telah banyak salah mengartikan cinta. Terutama dikalangan muda-mudi Islam saat ini, memang masa remaja adalah masa yang indah. Pada masa ini manusia mulai mengenal dan tertarik kepada lawan jenisnya, sehinggga keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih intim diantara wanita dan pria sangat kuat. Akibatnya, karena kurang pahamnya remaja kita dengan ajaran Islam maka tidak sedikit kita mendengar sekarang Remaji muslim yang hamil diluar nikah atau orang kulon mengatakan KDT (kehamilan yang tidak diinginkan) atau lebih halus lagi di istilahkan dengan MBA (merried by accident).
Ada akibat tentu ada sebabnya, jika kita berjalan-jalan ke tempat-tempat wisata sekarang, dimanapun itu tempatnya, baik yang ada di keramaian orang maupun di tempat yang sepi-sepi, baik di kota mau pun di desa. Tidak sedikit kita jumpai remaja kita yang asyik duduk-duduk berduan, saling berpegangan tangan, bercandaria, bahkan ada yang tertangkap mata kita mereka saling ciuman (kissing) dengan lawan jenis yang bukan mahrom mereka. Anehnya lagi yang perempuannya banyak yang mengenakan jilbab.
Rasul Saw bersabda:
Janganlah seorang laki-laki berduaaan dengan seorang perempuan, kecuali bersama dengan mahromnya”. (HR. Bukhari)
Janganlah seorang laki-laki berduan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya Syaitan adalah adalah orang ketiga diantara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya”. (HR. Ahmad).
Mereka menyebut hal semacam ini dengan “pacaran”. Tentu saja Islam sangat menentang dan melarang dengan keras perbuatan mereka tersebut karena akan bisa berdampak kepada perzinahan. Padahal Allah Swt melarang manusia untuk tidak mendekati zina:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32).
Oleh karena itu penulis akan mencoba untuk membahas bagaimana seharusnya remaja kita mengendalikan hasrat cinta yang mereka miliki kepada butiran-butiran mahligai mutiara cinta yang diridhoi oleh Allah Swt dan bagaimana sebenarnya cinta yang produktif menurut Islam.

LATAR BELAKANG
Pergaulan social sesama manusia adalah hal penting dalam kehidupan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk social, meminjam istilah Yunani, manusia adalah homo socius, atau makhluk bermasyarakat. Dalam masyarakat, hubungan seseorang dengan orang lain tentu saja diatur oleh aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Manusia diciptakan untuk hidup bermasyarakat, sehingga manusia tidak akan bisa hidup tampa adanya teman atau masyarakat lain. Seperti itu jugalah gambaran kebutuhan antara pria dan wanita yang saling melengkapi satu sama lainnya dalam memenuhi kebutuhan mereka, karena memang  esensinya Allah ta’ala menciptakan makhluknya berpasang-pasangan, seperti ada surga ada neraka, ada langit ada bumi, ada daratan ada lautan, ada air dan ada api, dan ada laki-laki (ar-Rijal) dan ada perempuan (mar’at). Allah ta’ala berfirman:
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.(QS. ar-Ra’ad: 3)
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.(QS.Adz-Zariyat:49).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Cinta kepada lawan jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. karena sebab cintalah, keberlansungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga (bidadari surga yang dipersembahkan Allah ta’ala bagi hambanya yang beriman dan beramal saleh). Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan hasrat cinta tersebut dalam syari’at yang rahmatal lil’alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar’i? fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan “pacaran”.
Dalam keilmuan Islam belum begitu banyak para ahli yang membahas mengenai masalah cinta dan istilah pacaran. Akan tetapi beberapa tahun belakangan ini pembahasan mengenai masalah cinta dan pacaran mulai berkembang dalam keilmuan Islam khususnya, Salah seorang tokoh ilmuwan Islam yang membahas masalah ini adalad Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam buku terjemahan kitabnya “Raudhatul Muhibbiin”, yang berjudul Taman Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006).
Pengertian Cinta
Cinta berasal dari bahasa arab al-Hubb dengan bersyakal dammah (al-Hubb) atau kasrah (al-Hibb), memiliki makna cinta, kasih sayang, dan persahabatan (al-Wudad wal Ulfah). Kita juga dapat mendevinisikan terminologi cinta sebagai berikut.            “Kondisi seseorang yang terpesona dan terpikat, yang terjadi antara dua belah pihak, yakni antara al-Mahbub (yang dicintai) dan al-Muhibb (yang mencintai). Dengan cara yang khusus sesuai dengan kadarnya dan kedalaman rasa cintanya. Jadi dalam terminologi cinta seperti ini juga termasuk cinta kepada kedua orang tua, saudara, sahabat, teman, dll. Seperti sabda Rasul Saw bahwa cinta itu dapat terjadi, sekalipun antara seorang manusia dengan benda mati.
Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami pun mencintainya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasa cinta (al-Hubb) adalah antonim dari emosi (al-Bughd). Dengan keluasan maknanya, rasa cinta tidak hanya disyariatkan, namun terkadang diwajibkan. Namun sebaliknya, cinta tidak hanya dilarang, namun terkadang sering kali diharamkan.
Lebih jelas lagi beberapa ahli fikih memberikan devinisi cinta sebagai berikut:
Pertama, cinta menurut Ibn Hazm adalah bersatunya dua bagian jiwa yang terpisah di dalam wujud bentuk ciptaannya, yang pada asalnya merupakan satu entitas yang luhur.
Ibnu Hazm menjelaskan tentang kondisi seseorang pecinta secara mendetail sebagai berikut. Pribadi seorang pecinta memilki sifat ikhlas, mengetahui posisi yang dekat untuk mencari sang kekasih. Hatinya tertambat kepadanya, senantiasa mencarinya, memiliki hasrat untuk bertemu. Jika saja memungkinkan, ia akan berusaha untuk selalu menariknya. Layaknya antara megnet dan besi, dimana kekuatan unsur magnet akan selalu berhubungan dengan kekuatan unsur besi, tidak bisa menyalahi hukumnya. Namun jika magnet tersebut sudah habis daya magnetnya, maka tidak akan kembali menarik besi. Namun, akan selalu menarik dan menggerakkan besi, jika magnet tersebut memiliki kekuatan daya magnet yang besar.
Kekuatan unsur besi telah baku, tidak dapat tercegah karena adanya suatu penghalang. Besi juga akan mencari benda yang menyerupainya, akan menghabiskan waktu dengannya, dan akan bangkit berdiri dihadapan benda-benda tersebut secara otomatis dan reflex, baik karena memilih atau menyengaja.
Kedua, cinta menurut Dr. Khalid Jamal adalah cahaya jalan, dan tempat berjalannya cahaya (Nurutthariq wa Thariqunnar). Cinta juga merupakan ruhnya kehidupan dan kehidupan bagi ruh (Ruhulhayat wa Hayaturruh).
Ungkapan diatas selaras dengan apa yang didevinisikan oleh Dr. Khalid Jamal sebagai berikut. ”Cinta adalah perasaan jiwa dan emosi hati, serta gejolak jiwa yang memikat hati seorang pecinta kepada kekasih hatinya, dengan cinta yang penuh rasa, simpatik, dan manusiawi.”
Ketiga, cinta menurut Imam ar-Rafi’i adalah dua jiwa yang saling bertautan (ta’alluq) dan hanya dipenuhi dengan perasaan yang sepenuh hati (ihsas). Cinta juga merupakan pancaran cahaya yang didalamnya terdapat kekuatan kehidupan. Seperti cahaya matahari yang bersumber langsung dari matahari.
Apakah perhiasan cinta dan seisi dunia dapat membeli rahasia-rahasia, perasaan cinta, dan cahaya yang hidup (Nur al-Hayy)?
Oleh karena itu arti cinta adalah rasa cinta itu sendiri. Arti makna cinta ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Imam ar-Rafi’i sebagai berikut; “Sungguh, cinta akan meletakkkan ruhnya disetiap ruangannya. Sensasi perasaan ini dapat mengubah kondisi psikologis seorang manusia. Sehingga kondisi jiwanya akan berubah seiring dengan perubahan perasaan cintanya”.
Sedangkan dari internet arti cinta adalah agama dan agama adalah cinta. KataIlahi (tuhan) diambil dari kata al-Walah, yang artinya adalah kehilangan kesadaran dan kebingungan karena cinta. Sedangkan al-Alaqah (relasi) antara Allah ta’ala dengan makhluk-Nya didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang. Berdasarkan hal inilah, maka Allah ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat ar-Rahim dan al-Wadud (Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Di dalam sejarah kehidupan manusia, devinisi tentang term agama dan cinta di atas merupakan devinisi lain dari yang lain. Devinisi tersebut menginformasikan kepada kita tentang kandungan cinta dan agama, bahwa agama adalah cinta kepada Allah ta’ala, manusia, dan kepada kebaikan. Cinta menjadi suci jika didasari dengan kecintaan kepada Allah ta’ala, kebenaran, dan keindahan absolute (mutlak). (Situs Internet Balagh: Babu Ad-Din wa Al-Hayat ( Bab agama dan Kehidupan) di dalam makalah yang berjudul “Agama dan Cinta”).
Cinta merupakan sebab dari segala bentuk hubungan yang dilandasi dengan kasih sayang, perhatian, tanggungjawab, saling menjaga, dan rela berkorban demi orang yang kita cintai. Seorang pecinta yang sejati akan melakukan apa saja terhadap orang atau apa saja yang ia cintai, jika itu bisa membuat yang ia cintai menjadi senang. Seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita akan selalu berusaha membuat wanita yang dicintainya itu menjadi senang. Seorang anak yang mencintai orang tuanya, akan berbakti kepada keduanya dengan selalu mebuat orang tuanya menjadi bangga dan senang. Seorang hamba yang mencintai rabb-nya akan menjalankan seluruh perintahNya dan menjauhi segala laranganNya dan akan selalu merasa rabb-nya selalu mengawasinya dan selalu dekat dengannya.
Kembali kepada topic pembahasan kita, bahwa cinta dikalangan remaja saat ini sering di aktualisasikan dengan “pacaran”. Pacaran dalam tinjauan syari’at Islam merupakan wujud penyaluran cinta yang tidak syar’i. Namun, fenomena inilah yang melanda hampir sebagian besar kalangan remaja Islam saat ini. Berikut adalah beberapa tinjauan syar’i Islam mengenai pacaran.
Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina
            Allah ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an, “Dan jangan lah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32). Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras dari pada perkataan “Janganlah melakukannya”. Artinya, jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani dalam Fathul Qadir mengatakan, “Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan”.
            Dilihat dari perkataan ini kita juga dapat menyimpulkan, bahwa, setiap jalan (perantara) menuju zina adalah sesuatu yang dilarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis yang bukan mahrom karena hal itu sebagai perantara zina adalah sesuatu yang terlarang.
Pria mana sih yang tidak ingin mendapatkan gadis yang masih suci ketika menikah? Pria yang berhasil mendapatkan perawan akan lebih bahagia dan mencintai istrinya daripada yang sudah tidak perawan lagi. Memang ada juga yang tidak peduli, karena memang sudah cinta mati, terpaksa kawin, atau memang cowok bandel yang biasa main cewek nakal dan lebih mementingkan kepuasan serta kebaikan fisik saja.
Bisa jadi awalnya tidak ada masalah, namun laki-laki bisa saja penasaran atas kenapa isterinya tidak perawan dan apakah istrinya terkena penyakit menular seksual/ PMS atau tidak. Bisa jadi punya pikiran kalau istrinya dulu wanita nakal, jablai, maniak, dan sebagainya yang bisa mengurangi rasa cintanya.
Kenapa sih seorang gadis harus kehilangan keperawanan demi sedikit rasa enak yang beresiko tinggi menghancurkan masa depan dan bisa membuat aib keluarga. Bermainlah yang aman-aman saja tanpa harus melibatkan orang lain. Untuk mendapatkan kenikmatan tidak harus dibantu lawan jenis. Cara mencintai yang baik yang sehat adalah mencintai yang tidak melibatkan hubungan seks.
Islam Memerintahkan untuk Menundukan Pandangan
            Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukan pandangan  ketika melihat lawan jenis. Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah kepada lak-laki yang beriman:”Hendaklah mereka menundukan pandangannya dan memelihara kemaluannya”. (QS. an-Nur: 30). Dalam lanjutan ayat ini Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beeriman:”Hendaklah mereka menundukan pandangannya dan memelihara kemaluan mereka”. (QS. An-Nur: 31).
            Ibnu Katsir ketika manafisrkan ayat pertama di atas mengatakan”Ayat ini merupakan perintah Allah ta’ala kepada hambaNya yang beriman untuk menundukan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali terhadap apa yang dihalalkan kepada mereka untuk melihatnya (yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera”.
            Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, Firman Allah ta’ala: ”Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka ‘yaitu hendaklah mereka menundukan pandangan dari apa yang Allah haramkan melihatnya kecuali suaminya’. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki selain suami dan mahromnya. Baik dengan syahwat atau tanpa syahwat. Sebagian ulama lain mengatakan boleh melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.
            Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis? Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan ”Aku bertanya kepada Rasulallah Saw tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulallah Saw memerintahkan kepadaku agar segera memalingkan pandanganku”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi, Ahmad).
            Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syari’at, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang.
 Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela”.
Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., “Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya”. Umar berkata, “Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan”. (Riwayat Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb.
Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, “Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang”.
Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika rasa cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.
Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat lagi kemudian.
            Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh. (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Waidz, dia berkata, Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Waidz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, “Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda? Dia menjawab, “Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, “Wahai Habib? Aku menjawab, “Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah. “Allah berfirman, “Lewatlah Kamu di atas neraka”. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, “Aduh” (karena sakitnya). Maka Dia memanggilku, “Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka)”. Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.
Faedah dari menundukan pandangan, sebagaimana di firmankan Allah Swt dalam QS. An-Nur: 30, “Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu dengan menundukan pandangan akan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatan oleh Ibnu Katsir. Semoga Allah ta’ala merahmati beliau.
Agama Islam Melarang Beruduaan dengan Lawan Jenis
            Seiring dengan kematangan seksual, menurut Gorrison (Sunarto & Agung Hartono, 1994) seorang remaja akan mengalami jatuh cinta dalam masa kehidupannya pada usia belasan tahun. Dalam perkembangan fisik pada usia tersebut telah mencapai kematangan seksual yang mempengaruhi perkembangan sosialnya. Pada masa itu remaja laki-laki mulai tertarik pada lain jenis dan sebaliknya. Kedua jenis remaja mulai mengenal perasaan cinta.        
Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi rambu-rambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali. Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah pacaran.
Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah terkenal: ”apel”. Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.
Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya”.
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga (mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan”. (HR Ahmad).
Ath-Thabarani juga meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya”.
Ibnul al-Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a. keduanya berkata, Rasulullah saw. berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut”.
Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri. (http://www.ppmr.org/arsip/ hubungan-muda-mudi-sebelum-menikah-pacaran-dalam-tinjauan-syariat/).
Islam Melarang Jabat Tangan dengan Lawan Jenis yang Bukan Mahrom
Jabatan dengan lawan jenis termasuk hal yang dilaramg Islam, sebagaimana sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini sesuatu yang pasti terjadi, tidak bias tidak. Zina kedua mata dengan melihat, zina kedua telinga dengan mendengar, zina lisaqn adalah dengan berbicara, zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Dan zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti membenarkan dan mengingkari yang demikian”. (HR. Muslim).
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis yang bukan isteri atau mahrom, di istilahkan dengan berzina. Berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang dilarang oleh syari’at karena berdasarkan kaidah ushul “Apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu yang lain yang dihukumi harom, maka menunjukan, bahwa perbuatan tersebut adalah harom”.(lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al-Juda’i).
Dalam percintaan ala remaja saat ini yang biasa disebut “pacaran” tidak mungkin tidak ada yang saling berpegangan atau “saling menyentuh” sama sekali, bahkan lebih dari itu telah mereka lakukan. Nauzubillahi tsumma nauzubillah.
Meninjau Fenomena Pacaran Saat Ini
Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah populer di kehidupan kita. Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak seseorang mulai mengenal lingkungan hidupnya. Dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah tak kenal maka tak sayang adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa lagi, di zaman sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di masyarakat. Yaitu, suatu hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi sudah berhubungan erat dan saling menyayangi. Hubungan seperti ini oleh masyarakat dikenal dengan istilah “pacaran”.
Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasih-kasihan, yaitu dari sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari sudut pandang syar’i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu hubungan yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.
Pacaran merupakan suatu jembatan untuk mendekati zina. Mula-mula diawali dengan pandangan, kemudian pandangan itu mengendap ke dalam hati, kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua, lalu berani berdua-duaan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan lawan jenis atau pasangan dengan dihiasi sedikit ciuman yang lama-lama cinta tadi dibuktikan dengan hubungan persetubuhan (zina). Na’uzubillahi min Zalik. Lau pintu mana lagi yang lebih dekat dengan perzinahan selain pintu pacaran?
Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan “pacaran Islami” tidak mungkin bias terhindar dari larangan di atas. Banyak kaum muslimin yang berkata pacaran itu boleh-boleh saja, asalkan tau batas-batasnya dan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan ini semakna dengan kalimat “Mandi boleh asal jangan basah”. Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami oleh orang saat ini, tidaklah sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam Islam hanya diperbolehkan melihat calon isteri (nazhor) sebelum dinikahi dengan didampingi mahromnya, itupan ada batas-batasnya, yang biasa disebut sebagai pacaran oleh kalangan ahlul fiqh. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu merupakan istilah yang rancu, karena pacaran sekarang tidaklah seperti itu. Yang lebih didominasi oleh hubungan yang lebih intim lagi, misalnya sepasang kekasih yang berjalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat atau sekarang dengan ber SMS ria, dan berbagai hal lain yang jelas-jelas disisipi hal-hal yang haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, hayalan haram, dan banyak lagi yang lain, yang tidak dibenarkan oleh syari’at.
Bila kemudian ada istilah “pacaran Islami”, itu merupakan pemaksaan makna. Kalau seandainya ada pacaran Islami maka ada juga dong, istilah judi Islami atau bahkan meneguk minuman keras yang Islami dan sejenisnya.
Bagaimana Cinta Produktif Menurut Erich Fromm?
Cinta dalam pandangan Erich Fromm dikenal dengan Cinta “Yang Produktif”, atau dalam bukunya “The Art of Loving” (1956), menyebutnya “perhatian aktif terhadap kehidupan dan pertumbuhan sesuatu yang kita cintai”, adalah suatu hubungan manusia yang bebas dan sederajat dimana partner-partner dapat mempertahan individualitas mereka. Diri orang sendiri tidak terserap atau hilang dalam cinta terhadap orang lain. Diri tidak berkurang dalam cinta produktif, melainkan diperluas, dibiarkan terbuka sepenuhnya. Suatu perasaan akan hubungan tercapai tetapi identitas dan kemerdekaan seseorang terpelihara.
Tercapainya cinta yang produktif merupakan salah satu dari prestasi-prestasi kehidupan yang lebih sulit. Kita tidak “jatuh” dalam cinta; kita harus berusaha sekuat tenaga karena cinta yang produktif menyangkut empat sifat yang menantang; perhatian, tanggung jawab, respek, dan pengatahuan. Memperhatikan orang lain berarti memperhatikan dan memelihara mereka, sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan mereka, dan membantu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Menurut penulis ungkapan Fromm ini semakna dengan apa yang di firmankan Allah ta’ala di dalam al-Qur’an al-Karim surat an-Nisa: 34 dan at-Tahrim ayat: 6.
Kaum laki-laki adalah pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita” (QS. An-Nisa: 34)
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6).
Islam mengajarkan kepada pemeluknya bukan hanya cinta, perlindungan, atau pun pemeliharan sebatas di dunia saja, malainkan Islam mengajarkan pemeluknya Untuk mencintai, melindungi, dan memelihara orang kita cintai sampai kepada kehidupan sesudah mati yaitu dari siksaan neraka. Inilah yang dinamakan dengan cinta yang hakiki yaitu cinta yang didasarkan karena cinta kepada Allah ta’ala yang mengahasilkan cinta murni, ikhlas, penuh tanggungjawab, perlindungan, tampa mengharapkan imbalan, dan bukan cinta yang harus memiliki atau menerima, tetapi cinta yang selalu memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintai.
Dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan yang belum menikah atau percintaan pada masa remaja Fromm menamakan cinta seperti ini dengan cinta erotic, yaitu cinta antara jenis kelamin yang berbeda antara pria dan wanita. Cinta ini disebut erotic karena mengundang nafsu atau dorongan-dorongan erotic dan seksual. Pada umumnya perasaan cinta ini muncul pada diri seseorang bersamaan dengan berkembangnya hormon-hormon seksual saat memasuki masa remaja awal. Jika perasaan cinta ini tidak terkendalikan dengan baik justru akan menimbulkan berbagai bentuk penyimpangan seksual.
Namun demikian, Erich Fromm menegaskan cinta yang produktif tidak terbatas pada cinta erotic. Walaupun Fromm menyatakan demikian, menurut penulis, jika cinta antara pria dan wanita tidak di dasari oleh pemahaman yang dalam terhadap agama akan menghancurkan diri Si pecinta dan yang dicintainya. Disinilah kita bisa melihat kesempurnaan ajaran Islam yang telah mengatur dan membatasi gerak-gerik orang-orang yang sedang dimabuk cinta yang bisa membuat orang menjadi hilang akalnya, sehingga cinta yang seharusnya mendatangkan kebahagian malah berakhir dengan tragedy yang tragis dan penyasalan.












DAFTAR PUSTAKA
Tafsir dan terjemahan Al-Qur’anu al-Karim
Ath-Thahir, Fathi muhammad. Petunjuk Mencapai Kebahagian dalam Pernikahan. 2005. Jakarta: Amzah. Judul asli Hakazda Yablughu al-Hubb Baynahuma Dalii Luka as-Sa’adah az-Zaujuyah.
Asyhari, Muhammad. Tafsir Cinta. Jakarta: Al-Hikmah.
Schultz, Duane. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Calhoun, James F. dan Joan Ross Acocella. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. 1990. Edisi 3. New York: Perusahaan Penerbit McGraw-Hill.
Purwoko, Yudho. Memasuki Masa Remaja dengan Akhlak Mulia. 2007: Bandung: Jembar.
Buletin At-Tauhid. Tema: Cinta Buukan Disalurkan dengan Pacaran. Edisi 17/V 28 Rabi’ul Akhir 1430 H/24 April 2009 ditulis oleh Muhammad Abduh Tausikal.
Hidayati, Wiji dan Sri Purnami. Psikologi Perkembangan. 2008. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Beberapa situs dari Internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate