Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi
Pagi ini cuaca sangat cerah sekali. Sang mentari
pagi mulai menampakkan wajahnya dengan malu-malu dari balik sebuah bukit di
seberang sawah sana, padi yang menguning terhampar luas, burung-burung
bernyanyi dengan senandung zikir pada pencipta mereka, pencipta manusia juga
dengan kicauannya yang merdu, bapak-bapak tulang punggung keluarga mulai keluar
dari rumah mereka untuk mengait rizki yang telah di tetapkan ilahi untuk
mereka, ibu-ibu pulang pergi dari sungai untuk mengambil air, air sungai
mengalir dengan derasnya dan tidak akan kembali lagi ke hulunya, seperti
kehidupan manusia yang berjalan dengan cepat. Tampa terasa usia senja
telah menjelang, rambut sudah mulai berubah menjadi putih, tenaga makin lama
makin berkurang, kulit dan wajah sudah mulai kriput karena setiap hari berhujan
dan panas, pandangan sudah mulai kabur, pendenganran sudah mulai hilang. Tapi kenapa dunia ini makin lama makin
cantik dan manusia terlena dengan kecantikan dan keindahannya sehingga manusia
lupa dengan tugasnya di dunia. Maka merugilah manusia yang seperti itu karena
hidup mereka tidak akan kekal di dunia ini, mati makin hari makin dekat dan
kehidupan tidak akan kembali lagi kehulunya, kehidupan yang sementara ini akan
berganti dengan kehidupan yang abadi. Karena manusia di dunia hanyalah seperti
seorang perantau yang mencari bekal untuk kembali kekampungnya yang
sesungguhnya.
Tahun 2005 di akhir bulan September adalah awal aku tinggal di
sebuah nagari di Padang namanya Nagari Kaampung Dalam, dinamakan Kampung Dalam
karena letaknya agak jauh dari pusat kota. Aku tinggal disini karena disuruh
oleh kepala sekolahku atas permintaan Wali Nagari begitu orang minang memanggil
Kepala Desa disana, untuk tinggal di salah satu surau atau orang Jawa menyebutnya
Langgar untuk mengajar anak-anak disana mengaji dan sekaligus menjadi imam
salat. Setiap harinya aku pulang pergi dari sekolah ke Kampung Dalam
sejauh empat kilometer dengan memakai sepeda yang disediakan oleh Pak Mukhsin
Wali nagari sekaligus ketua pengurus surau Al-Ikhlas nama surau yang aku
tempati. Surau yang aku tempati berada jauh dari rumah penduduk, karena surau
berada di tepi sungai yang merupakan kebiasaan orang minang membuat surau
selalu di pinggir sungai tujuannya agar mudah mendapatkan air untuk berwuduk. Di
dekat surau hanya ada satu rumah kecil sederhana, yang bahannya terbuat dari
kayu semua kecuali atapnya, rumah ini di tempati oleh seorang ibuk dan seorang
anak laki-lakinya, Daus namanya, Daus sekarang sudah SMP sambil sekolah dia membantu
ibunya bekerja di ladang menanam sayur-sayuran untuk membantu ibunya membayar
uang sekolah dari bulan ke bulan, meskipun mereka hidup sangat sedehana tapi
mereka kelihatanya cukup bahagia.
Sekarang adalah hari minggu, aku membersihkan
surau didalam dan diluarnya. Aku dibantu oleh Daus anaknya Tek Halimah begitu
aku memanggil ibunya. Surau ini sangat kotor apalagi diluarnya sudah banyak
ditumbuhi rumput-rumput yang sudah mulai tinggi karena sudah lama tidak ada
yang mengurusnya, sesekali Tek Halimah dan anaknyalah yang mencabut rumput di
sekelilinga surau. Selah selesai membersihkan surau aku dan Daus istirahat
sambil mencicipi ubi rebus dan kopi yang dibuatkan Tek Halimah.
Matahari sudah mulai tepat diatas kepala.
Bapak-bapak yang bekerja di sawah sudah mulai pulang ke rumah untuk makan salat
zuhur dan makan siang. Ibu-ibu sudah dari tadi pulang dari sungai, setelah
semua cucian mereka selelsai mereka cuci. Kicauan burungpun tak terdengar lagi
kerena hari ini sangat panas mereka memilih berteduh di bawah dedaunan pohon.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan yang sangat histeris dari arah rumah Tek
Halimah” Tolong...tolong...tolong...!!! ” teriak Tek Halimah minta tolong. Tapi
tak seorangpun yang datang menolong karena di sekitar sini hanya ada aku dan
Tek Halimah yang tinggal lagi. Si Daus anak Tek Halimah sehabis membantuku
membersihkan surau tadi pergi bersama teman-temannya.
Akupun berlari ketempat Tek halimah, aku berlari
kencang sekali, sawah yang sudah dipanen aku lompati saja, aku tidak memilih
jalan diatas pembatang sawah kerena jauh. Ku lihat Tek Halimah merintih
kesakitan dia memegang perutnya, wajahnya pucat, dan matanya ia pejamkan karena
tak tahan rasa sakit yang menyerang perutnya. Aku pun tak tahu mau berbuat apa,
aku jadi panik, aku berusaha menenangkan Tek Halimah tapi Tek Halimah terus
menjerit karena sakit yang tak tertahankan. Aku segera ke dapur dan mengambil
segelas air putih kemudian aku minumkan pada Tek Halimah, sesaat kemudian ia
kelihatan sudah mulai tenang, tubuhnya berkeringat, bibirnya seperti tidak
berdarah lagi, ia kelihatan sangat lemah, perlahan dia duduk dan bersandar pada
dinding rumahnya yang terbuat dari kayu. Setelah Tek Halimah kelihatannya
tenang aku pun minta izin pada Tek Halimah karena waktu zuhur sudah masuk.
Tek Haliamah sudah aku anggap seperti ibuku
sendiri dan diapun sudah memperlakukanku seperti anaknya sendiri, Tek Halimah
sangat baik sekali padaku, dia sering salat ke surau setiap waktunya begitu
juga anaknya Daus, bahkan Tek Halimah sering mengantarkan makanan ke tempatku
apalagi kalau dia tahu aku pulangnya kesorean, maghrib dia sudah membawakan
makanan untukku.
Biasanya Daus tidur bersamaku di surau, tapi
sekarang dia tidak datang ke surau bahkan Tek Halimah pun tidak datang salat
kesurau dari asar tadi.
” Apakah
sakit Tek Halimah semakin parah makanya dia tidak datang ke surau?” batinku.
Setelah salat isya selesai dan orang-orang sudah pulang semuanya aku ke rumah
Tek Halimah” Assalamualaikum...” ucapku sambil mengetuk pintu. ”
waalaikumusalam...” terdengar jawaban dari dalam rumah. Daus pun membukakan
pintu untukku. Tapi Tek Halimah tak kelihatan di dalam rumah, kata Daus ibunya
sudah tidur barusan. Tapi tak lama kemudian Tek Halimah keluar dari kamarnya
mungkin karena mendengar suaraku.
” Gimana keadaannya Tek?” tanyaku, ” Alhamdulillah
sudah mulai baikan Dhan” jawab Tek Halimah singkat. ” Tek...kalau saya boleh
tau sudah berapa lama sakitnya Tek...? Tanyaku ambil memperbaiki dudukku.Tek
Halimah menarik nafas panjang-panjang, kelihatannya perutnya masih sakit. ” Sejak bapaknya Daus
meninggal dulu Etek sering sakit-sakitan Dhan...anehnya sakit Etek sema dengan
sakitnya bapak Si Daus. Bapak Daus juga sakit seperti yang Etek alami sekarang
hingga ajalnya menjelang ” jawab Tek Halimah Dengan suara terbata-bata. Rupanya
sudah lama Tek Halimah sakit seperti ini, suaminya meninggal kira-kira dua
tahun yang lalu.
”Apa Etek tahu penyebab penyakit yang diderita
bapak Daus dulu atau penyakit yang Etek derita sekarang? Mungkin saya bisa
membantu.” Tek Halimah mencoba menceritakan penyakit yang diderita suaminya
dulu padaku. Kata Tek Halimah awalnya suaminya juga sakit perut seperti yang
dialami Tek Halimah sekarang. Tapi lama kelamaan penyakit suaminya semakin
parah, tubuh suaminya semakin hari makin kurus. Mereka telah mencoba berobat
kemana-mana, ke dokter, ke dukun kampung sudah mereka coba semua namun penyakit
suaminya tak kunjung sembuh juga. Tek Halimah dahulunya adalah orang yang
berada, suaminya dahulu bekerja sebagai guru karena prestasi suaminya baik dia
diangkat jadi kepala sekolah di sebuah SD di Nagari Kampung Dalam. Namun sejak saat itulah
suaminya mulai sakit-sakitan dan harta mereka makin lama makin habis karena
digunakan untuk biaya berobat suaminya. Sampai sekarang harta Tek Halimah hanya
tinggal sebidang tanah yang Tek Halimah tempati sekarang untuk penyambung hidup
sehari-hari dan untuk membiayai sekolah Daus dari bulan ke bulanya.
Terakhir suami Tek Halimah berobat kepada seorang
dukun kampung Di nagari sebelah, kata dukun tersebut ” Pak Muhsin, almarhum
suami Tek Halimah di santet oleh salah seorang bawahanya, dia iri pada Pak
Muhsin.” Tapi Pak Muhsin tidak percaya karena orang yang disebutkan oleh dukun
itu adalah saudara sepupunya. Kata Tek Halimah uang yang dikeluarkan untuk
berobat suaminya tidak tangung-tangung, sampai-sampai sawah, mobil, motor, dan
rumah mereka dijual tapi Pak Muhsin tak kunjung sembuh juga.
Sekarang adalah hari jum’at. aku salat jum’at di
masjid sekolah karena kalau aku pulang bisa-bisa aku tidak jum’atan karena aku
harus bersepeda kira-kira setenga jam baru sampai di surau. Kali ini yang
khotbah adalah Ustad Abu Bakar. Di dalam Khotbahnya dia mengatakan bahwa ”
Syaitan akan berupaya menyesatkan manusia dengan cara apapun, syaitan mau
menjadi hamba manusia untuk menuruti kata-kata manusia tapi pada dasarnya
manusialah yang diperbudak oleh syaitan” kata Ustad Abu. Aku teringat dengan
Tek Halimah.
Setelah selesai salat jum’at aku menemui Ustad
Abu. Aku bertanya tentang santet, guna-guna. Kata Ustad Abu itu memang ada,
yang melakukannya adalah syaitan atas perintah manusia yang bersekutu
dengannya. Kata Ustad Abu biasanya orang yang disantet atau di guna-guna
tubuhnya makin lama makin kurus dan orang itu akan pucat karena darahnya
dihisap oleh Syaitan terus menerus.
Hari ini aku tidak ada kegiatan di sekolah jadi
aku putuskan untuk pulang. Kira-kira jam empat sore aku sudah sampai di surau.
Akupun segera mandi karena tubuhku rasanya lelah sekali dan tenagaku rasanya
terkuras, keringatku masih bercucuran setelah bersepeda sejauh empat kilometer.
Setelah selesai mandi aku istirahat sambil duduk di beranda surau yang
kebetulan disana ada kursi rotan. Sampai-sampai aku terbawa kedalam lamunan
karena sejuknya udara sore ini dengan sesekali angin sore berhembus
sepoi-sepoi. Aku teringat kata-kata Ustad Abu Bakar tadi” Apa mungkin ya, Tek
halimah dan mendiang suaminya di santet? Batinku. Tiba-tiba dalam lamunanku aku
dikejutkan dengan teriakan Daus sambil berlari ke arahku ” Uda...Uda...tolang tolong
mandeh Da...” Daus kelihatan panik sekali. Aku mencoba menenagngkan Daus.
Setelah dia agak tenang aku bertanya apa yang terjadi dengan Tek Halimah. Daus
tidak menjawab pertanyaanku tapi dia mengambil tanganku dan menarikku
kerumahnya sambil berlari.
Rupanya sakit Tek Halimah semakin parah ia
mengerang-ngerang karena kesakitan. Ia menggigau-gigau kata-kata yang
diucapkannya sudah tak jelas lagi, dia memegang perutnya, tubuhnya bergetar.
Sepertinya luar biasa sakit yang ditanggung Tek Halimah. Daus hanya menangis
karena tak tahan melihat Mandeh nya menahan sakit. Dia duduk di dekat kepala
Tek Halimah sambil menggosok-gosok pundak Mandeh nya.
Aku teringat Ustad Abu. Aku berniat meminta
pertolongnya untuk menolong Tek Halimah. Tampa fikir panjang aku segera ke
surau mengambil sepeda untuk menjemput Ustad Abu, kebetulan dia tinggal didekat
sekolahku. Setelah setengah jam bersepeda aku pun sampai di rumah Ustad Abu.
Aku lansung menemui Ustad Abu dan memberitahu tujuan kedatanganku. Ustad Abu
pun segera mengambil sepeda motornya dan kami segera menuju Kampung Dalam.
Di rumah Tek Halimah sudah banyak orang yang
datang, terutama jama’ah salatku di surau. Tek halimah masih mengerang-ngerang
kesakitan. Ustad Abu meminta segelas air putih. Daus mengambilkannya, lalu
Ustad Abu membacakan kaliamat-kalimat Thaiyibah dan meniup air digelas tersebut
beberapa kali. Air itu diminumkam pada Tek Halimah, setelah meminum air
tersebut Tek Halimah sudah kelihatan agak tenang. Dia tidak mengerang kesakitan
lagi, menggigaunya pun sudah berhenti. Tapi sesaat kemudian hal yang tidak
diuga-duga pun terjadi. Tek Halimah berteriak keras sekali semua orang yang ada
didalam rumah kaget. Tek Halimah berdiri dan dia berusaha lari. Untung Daus
berhasil memegangnya, tapi tek halimah memukul Daus tepat di mukanya. Daus memekik
karena kesakitan, dia terlempar kesudut rumah, kalau tidak dibatasi dinding
mungkin dia jatuh keluar rumah begitu kuatnya pukulan Tek Halimah. Muka Daus
lebam dan menghijau karena pukulan ibunya.
Tek Halimah berhasil kabur dan berlari keluar, dia
terus berlari menuju sungai. Semua orang diatas rumah berusaha mengejarnya, aku
dan Ustad Abu pun ikut mengejar Tek Halimah, tapi
larinya sangat cepat sekali. Raga dan akal Tek Halimah sudah dikuasai oleh
setan. Sesampainya di sungai Tek Halimah langsung meloncat. Untung Pak Umar tetangga Tek Halimah ada di sungai, dia baru pulang dari sawah untuk membasuh badannya
disana. Melihat Tek Halimah yang sudah terapung-apung disungai Pak Umar lansung berenang menolongnya. Tek Halimah pingsan dan dia meminum air sungai
banyak sekali. Saat kami sampai disungai Tek Halimah sudah dipinggir sungai.
Pak Umar lansung membawanya ke rumah. Alhamdulillah nyawa Tek Halimah masih
bisa diselamatkan.
Setelah Tek Halimah tenang dan sudah benar-benar
sadar dan orang-orang sudah pada pulang. Ustad Abu menanyakan awal penyakit
yang diderita Tek Halimah. Rupanya memeng benar Tek Halimah di santet sama
dengan mendiang suaminya. Tapi Ustad Abu tidak mau mengatakan siapa orangnya.
Ustad Abu menyarankan kalau Tek Halimah ingin sembuh minta tolongnya jangan ke
dukun karena itu sama saja kita minta tolong kepada syaitan. Tapi minta
tolonglah kepada Allah kata Ustad Abu dan saya bersedia membantu katanya. Sejak
berobat kepada Ustad Abu Alhamdulillah Tek Halimah sudah mulai berangsur-angsur
sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar