Cari Blog Ini

Jumat, 28 Juni 2013

“KETIKA SYAITAN YANG DISEMBAH”

 Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi

Pagi ini cuaca sangat cerah sekali. Sang mentari pagi mulai menampakkan wajahnya dengan malu-malu dari balik sebuah bukit di seberang sawah sana, padi yang menguning terhampar luas, burung-burung bernyanyi dengan senandung zikir pada pencipta mereka, pencipta manusia juga dengan kicauannya yang merdu, bapak-bapak tulang punggung keluarga mulai keluar dari rumah mereka untuk mengait rizki yang telah di tetapkan ilahi untuk mereka, ibu-ibu pulang pergi dari sungai untuk mengambil air, air sungai mengalir dengan derasnya dan tidak akan kembali lagi ke hulunya, seperti kehidupan manusia yang berjalan dengan cepat. Tampa terasa usia senja telah menjelang, rambut sudah mulai berubah menjadi putih, tenaga makin lama makin berkurang, kulit dan wajah sudah mulai kriput karena setiap hari berhujan dan panas, pandangan sudah mulai kabur, pendenganran sudah mulai hilang. Tapi kenapa dunia ini makin lama makin cantik dan manusia terlena dengan kecantikan dan keindahannya sehingga manusia lupa dengan tugasnya di dunia. Maka merugilah manusia yang seperti itu karena hidup mereka tidak akan kekal di dunia ini, mati makin hari makin dekat dan kehidupan tidak akan kembali lagi kehulunya, kehidupan yang sementara ini akan berganti dengan kehidupan yang abadi. Karena manusia di dunia hanyalah seperti seorang perantau yang mencari bekal untuk kembali kekampungnya yang sesungguhnya.

Tahun 2005 di akhir  bulan September adalah awal aku tinggal di sebuah nagari di Padang namanya Nagari Kaampung Dalam, dinamakan Kampung Dalam karena letaknya agak jauh dari pusat kota. Aku tinggal disini karena disuruh oleh kepala sekolahku atas permintaan Wali Nagari begitu orang minang memanggil Kepala Desa disana, untuk tinggal di salah satu surau atau orang Jawa menyebutnya Langgar untuk mengajar anak-anak disana mengaji dan sekaligus menjadi imam salat. Setiap harinya aku pulang pergi dari sekolah ke Kampung Dalam sejauh empat kilometer dengan memakai sepeda yang disediakan oleh Pak Mukhsin Wali nagari sekaligus ketua pengurus surau Al-Ikhlas nama surau yang aku tempati. Surau yang aku tempati berada jauh dari rumah penduduk, karena surau berada di tepi sungai yang merupakan kebiasaan orang minang membuat surau selalu di pinggir sungai tujuannya agar mudah mendapatkan air untuk berwuduk. Di dekat surau hanya ada satu rumah kecil sederhana, yang bahannya terbuat dari kayu semua kecuali atapnya, rumah ini di tempati oleh seorang ibuk dan seorang anak laki-lakinya, Daus namanya, Daus sekarang sudah SMP sambil sekolah dia membantu ibunya bekerja di ladang menanam sayur-sayuran untuk membantu ibunya membayar uang sekolah dari bulan ke bulan, meskipun mereka hidup sangat sedehana tapi mereka kelihatanya cukup bahagia.

Sekarang adalah hari minggu, aku membersihkan surau didalam dan diluarnya. Aku dibantu oleh Daus anaknya Tek Halimah begitu aku memanggil ibunya. Surau ini sangat kotor apalagi diluarnya sudah banyak ditumbuhi rumput-rumput yang sudah mulai tinggi karena sudah lama tidak ada yang mengurusnya, sesekali Tek Halimah dan anaknyalah yang mencabut rumput di sekelilinga surau. Selah selesai membersihkan surau aku dan Daus istirahat sambil mencicipi ubi rebus dan kopi yang dibuatkan Tek Halimah.

Matahari sudah mulai tepat diatas kepala. Bapak-bapak yang bekerja di sawah sudah mulai pulang ke rumah untuk makan salat zuhur dan makan siang. Ibu-ibu sudah dari tadi pulang dari sungai, setelah semua cucian mereka selelsai mereka cuci. Kicauan burungpun tak terdengar lagi kerena hari ini sangat panas mereka memilih berteduh di bawah dedaunan pohon. Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan yang sangat histeris dari arah rumah Tek Halimah” Tolong...tolong...tolong...!!! ” teriak Tek Halimah minta tolong. Tapi tak seorangpun yang datang menolong karena di sekitar sini hanya ada aku dan Tek Halimah yang tinggal lagi. Si Daus anak Tek Halimah sehabis membantuku membersihkan surau tadi pergi bersama teman-temannya.

Akupun berlari ketempat Tek halimah, aku berlari kencang sekali, sawah yang sudah dipanen aku lompati saja, aku tidak memilih jalan diatas pembatang sawah kerena jauh. Ku lihat Tek Halimah merintih kesakitan dia memegang perutnya, wajahnya pucat, dan matanya ia pejamkan karena tak tahan rasa sakit yang menyerang perutnya. Aku pun tak tahu mau berbuat apa, aku jadi panik, aku berusaha menenangkan Tek Halimah tapi Tek Halimah terus menjerit karena sakit yang tak tertahankan. Aku segera ke dapur dan mengambil segelas air putih kemudian aku minumkan pada Tek Halimah, sesaat kemudian ia kelihatan sudah mulai tenang, tubuhnya berkeringat, bibirnya seperti tidak berdarah lagi, ia kelihatan sangat lemah, perlahan dia duduk dan bersandar pada dinding rumahnya yang terbuat dari kayu. Setelah Tek Halimah kelihatannya tenang aku pun minta izin pada Tek Halimah karena waktu zuhur sudah masuk.

Tek Haliamah sudah aku anggap seperti ibuku sendiri dan diapun sudah memperlakukanku seperti anaknya sendiri, Tek Halimah sangat baik sekali padaku, dia sering salat ke surau setiap waktunya begitu juga anaknya Daus, bahkan Tek Halimah sering mengantarkan makanan ke tempatku apalagi kalau dia tahu aku pulangnya kesorean, maghrib dia sudah membawakan makanan untukku.

Biasanya Daus tidur bersamaku di surau, tapi sekarang dia tidak datang ke surau bahkan Tek Halimah pun tidak datang salat kesurau dari asar tadi.

 ” Apakah sakit Tek Halimah semakin parah makanya dia tidak datang ke surau?” batinku. Setelah salat isya selesai dan orang-orang sudah pulang semuanya aku ke rumah Tek Halimah” Assalamualaikum...” ucapku sambil mengetuk pintu. ” waalaikumusalam...” terdengar jawaban dari dalam rumah. Daus pun membukakan pintu untukku. Tapi Tek Halimah tak kelihatan di dalam rumah, kata Daus ibunya sudah tidur barusan. Tapi tak lama kemudian Tek Halimah keluar dari kamarnya mungkin karena mendengar suaraku.

” Gimana keadaannya Tek?” tanyaku, ” Alhamdulillah sudah mulai baikan Dhan” jawab Tek Halimah singkat. ” Tek...kalau saya boleh tau sudah berapa lama sakitnya Tek...? Tanyaku ambil memperbaiki dudukku.Tek Halimah menarik nafas panjang-panjang, kelihatannya  perutnya masih sakit. ” Sejak bapaknya Daus meninggal dulu Etek sering sakit-sakitan Dhan...anehnya sakit Etek sema dengan sakitnya bapak Si Daus. Bapak Daus juga sakit seperti yang Etek alami sekarang hingga ajalnya menjelang ” jawab Tek Halimah Dengan suara terbata-bata. Rupanya sudah lama Tek Halimah sakit seperti ini, suaminya meninggal kira-kira dua tahun yang lalu.

”Apa Etek tahu penyebab penyakit yang diderita bapak Daus dulu atau penyakit yang Etek derita sekarang? Mungkin saya bisa membantu.” Tek Halimah mencoba menceritakan penyakit yang diderita suaminya dulu padaku. Kata Tek Halimah awalnya suaminya juga sakit perut seperti yang dialami Tek Halimah sekarang. Tapi lama kelamaan penyakit suaminya semakin parah, tubuh suaminya semakin hari makin kurus. Mereka telah mencoba berobat kemana-mana, ke dokter, ke dukun kampung sudah mereka coba semua namun penyakit suaminya tak kunjung sembuh juga. Tek Halimah dahulunya adalah orang yang berada, suaminya dahulu bekerja sebagai guru karena prestasi suaminya baik dia diangkat jadi kepala sekolah di sebuah SD di Nagari  Kampung Dalam. Namun sejak saat itulah suaminya mulai sakit-sakitan dan harta mereka makin lama makin habis karena digunakan untuk biaya berobat suaminya. Sampai sekarang harta Tek Halimah hanya tinggal sebidang tanah yang Tek Halimah tempati sekarang untuk penyambung hidup sehari-hari dan untuk membiayai sekolah Daus dari bulan ke bulanya.

Terakhir suami Tek Halimah berobat kepada seorang dukun kampung Di nagari sebelah, kata dukun tersebut ” Pak Muhsin, almarhum suami Tek Halimah di santet oleh salah seorang bawahanya, dia iri pada Pak Muhsin.” Tapi Pak Muhsin tidak percaya karena orang yang disebutkan oleh dukun itu adalah saudara sepupunya. Kata Tek Halimah uang yang dikeluarkan untuk berobat suaminya tidak tangung-tangung, sampai-sampai sawah, mobil, motor, dan rumah mereka dijual tapi Pak Muhsin tak kunjung sembuh juga.

Sekarang adalah hari jum’at. aku salat jum’at di masjid sekolah karena kalau aku pulang bisa-bisa aku tidak jum’atan karena aku harus bersepeda kira-kira setenga jam baru sampai di surau. Kali ini yang khotbah adalah Ustad Abu Bakar. Di dalam Khotbahnya dia mengatakan bahwa ” Syaitan akan berupaya menyesatkan manusia dengan cara apapun, syaitan mau menjadi hamba manusia untuk menuruti kata-kata manusia tapi pada dasarnya manusialah yang diperbudak oleh syaitan” kata Ustad Abu. Aku teringat dengan Tek Halimah.

Setelah selesai salat jum’at aku menemui Ustad Abu. Aku bertanya tentang santet, guna-guna. Kata Ustad Abu itu memang ada, yang melakukannya adalah syaitan atas perintah manusia yang bersekutu dengannya. Kata Ustad Abu biasanya orang yang disantet atau di guna-guna tubuhnya makin lama makin kurus dan orang itu akan pucat karena darahnya dihisap oleh Syaitan terus menerus.

Hari ini aku tidak ada kegiatan di sekolah jadi aku putuskan untuk pulang. Kira-kira jam empat sore aku sudah sampai di surau. Akupun segera mandi karena tubuhku rasanya lelah sekali dan tenagaku rasanya terkuras, keringatku masih bercucuran setelah bersepeda sejauh empat kilometer. Setelah selesai mandi aku istirahat sambil duduk di beranda surau yang kebetulan disana ada kursi rotan. Sampai-sampai aku terbawa kedalam lamunan karena sejuknya udara sore ini dengan sesekali angin sore berhembus sepoi-sepoi. Aku teringat kata-kata Ustad Abu Bakar tadi” Apa mungkin ya, Tek halimah dan mendiang suaminya di santet? Batinku. Tiba-tiba dalam lamunanku aku dikejutkan dengan teriakan Daus sambil berlari ke arahku ” Uda...Uda...tolang tolong mandeh Da...” Daus kelihatan panik sekali. Aku mencoba menenagngkan Daus. Setelah dia agak tenang aku bertanya apa yang terjadi dengan Tek Halimah. Daus tidak menjawab pertanyaanku tapi dia mengambil tanganku dan menarikku kerumahnya sambil berlari.

Rupanya sakit Tek Halimah semakin parah ia mengerang-ngerang karena kesakitan. Ia menggigau-gigau kata-kata yang diucapkannya sudah tak jelas lagi, dia memegang perutnya, tubuhnya bergetar. Sepertinya luar biasa sakit yang ditanggung Tek Halimah. Daus hanya menangis karena tak tahan melihat Mandeh nya menahan sakit. Dia duduk di dekat kepala Tek Halimah sambil menggosok-gosok pundak Mandeh nya.

Aku teringat Ustad Abu. Aku berniat meminta pertolongnya untuk menolong Tek Halimah. Tampa fikir panjang aku segera ke surau mengambil sepeda untuk menjemput Ustad Abu, kebetulan dia tinggal didekat sekolahku. Setelah setengah jam bersepeda aku pun sampai di rumah Ustad Abu. Aku lansung menemui Ustad Abu dan memberitahu tujuan kedatanganku. Ustad Abu pun segera mengambil sepeda motornya dan kami segera menuju Kampung Dalam.

Di rumah Tek Halimah sudah banyak orang yang datang, terutama jama’ah salatku di surau. Tek halimah masih mengerang-ngerang kesakitan. Ustad Abu meminta segelas air putih. Daus mengambilkannya, lalu Ustad Abu membacakan kaliamat-kalimat Thaiyibah dan meniup air digelas tersebut beberapa kali. Air itu diminumkam pada Tek Halimah, setelah meminum air tersebut Tek Halimah sudah kelihatan agak tenang. Dia tidak mengerang kesakitan lagi, menggigaunya pun sudah berhenti. Tapi sesaat kemudian hal yang tidak diuga-duga pun terjadi. Tek Halimah berteriak keras sekali semua orang yang ada didalam rumah kaget. Tek Halimah berdiri dan dia berusaha lari. Untung Daus berhasil memegangnya, tapi tek halimah memukul Daus tepat di mukanya. Daus memekik karena kesakitan, dia terlempar kesudut rumah, kalau tidak dibatasi dinding mungkin dia jatuh keluar rumah begitu kuatnya pukulan Tek Halimah. Muka Daus lebam dan menghijau karena pukulan ibunya.

Tek Halimah berhasil kabur dan berlari keluar, dia terus berlari menuju sungai. Semua orang diatas rumah berusaha mengejarnya, aku dan Ustad Abu pun ikut mengejar Tek Halimah, tapi larinya sangat cepat sekali. Raga dan akal Tek Halimah sudah dikuasai oleh setan. Sesampainya di sungai Tek Halimah langsung meloncat. Untung Pak Umar tetangga Tek Halimah ada di sungai, dia baru pulang dari sawah untuk membasuh badannya disana. Melihat Tek Halimah yang sudah terapung-apung disungai Pak Umar lansung berenang menolongnya. Tek Halimah pingsan dan dia meminum air sungai banyak sekali. Saat kami sampai disungai Tek Halimah sudah dipinggir sungai. Pak Umar lansung membawanya ke rumah. Alhamdulillah nyawa Tek Halimah masih bisa diselamatkan.


Setelah Tek Halimah tenang dan sudah benar-benar sadar dan orang-orang sudah pada pulang. Ustad Abu menanyakan awal penyakit yang diderita Tek Halimah. Rupanya memeng benar Tek Halimah di santet sama dengan mendiang suaminya. Tapi Ustad Abu tidak mau mengatakan siapa orangnya. Ustad Abu menyarankan kalau Tek Halimah ingin sembuh minta tolongnya jangan ke dukun karena itu sama saja kita minta tolong kepada syaitan. Tapi minta tolonglah kepada Allah kata Ustad Abu dan saya bersedia membantu katanya. Sejak berobat kepada Ustad Abu Alhamdulillah Tek Halimah sudah mulai berangsur-angsur sembuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate