Menjadikan Anak
Berkepribadian Islami
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kepribadian
sebagai sifat dasar manusia yang menjadikannya unik atau berbeda dibandingkan
dengan yang lainnya. Maka kepribadian Islami adalah kepribadian yang menyesuaikan dengan
nilai-nilai ajaran Islam yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam. Menjadikan anak berkepribadian Islami berarti mendidik
anak menjadi seorang Muslim sejati yang bertutur kata, perilakunya, akhlaknya,
prinsip hidupnya, cara pandangnya, dan tujuan hidupnya sejalan dengan
nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah.
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Di dalam
Al-Qur’an terdapat segala petunjuk untuk kehidupan manusia. Segala persoalan
yang dihadapi manusia dalam kehidupannya ada solusinya di dalam Al-Qur’an.
Termasuk petunjuk dan solusi yang dihadapi orang tua dalam pendidikan anak-anak
Muslim.
Mengenai pendidikan anak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mengisahkan tentang Luqman Al-Hakim mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang
berkepribadian Islami. Luqman Al-Hakim adalah seorang hamba Allah Subhanahu
Wa ta’ala yang diridai oleh-Nya. Maka, sepatutnya kisah Luqman Al-Hakim
diteladani oleh setiap orang tua Muslim dalam mendidik anak-anak mereka.
Dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat ke 17, Luqman
Al-Hakim berkata kepada anaknya “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala”).
Imam
Ar-Razi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan “Tatkala Luqman melarang anaknya
dari perbuatan syirik dan menakut-nakutinya dengan ilmu dan kekuasaan Allah (lihat:
QS Luqman ayat 13), lalu ia perintahkan anaknya melaksnakan shalat. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa shalat adalah ajaran semua Nabi, walaupun
caranya berbeda-beda. Kemudian Luqman menyuruh anak-anaknya ber-amar ma’ruf
nahi mungkar. Ini berarti setelah menyempurnakan diri dengan beribadah
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, selanjutnya perbaikilah orang lain
sambil bersabar terhadapnya. Ini adalah tradisi para Nabi dan ulama waratsatul
anbiya’ (Al-Ikk, 2009).
Dari
penjelasan Imam Ar-Razi dapat dipahami bahwa urutan pendidikan karakter kepada
anak adalah pertama-tama diawali dengan pendidikan tauhid yang benar,
selanjutnya pendidikan ibadah sesuai tuntunan syariat, kemudian pendidikan ber-amar
ma’ruf nahi mungkar, dan ajaran untuk bersabar dalam menghadapi cobaan.
Pertama, Pendidikan tauhid berarti mendidik anak dalam
hal akidahnya. Akidah merupakan inti ajaran Islam, maka akidah yang salah
menyebabkan rusaknya nilai-nilai ajaran Islam yang lainnya. Apabila akidah
seorang muslim rusak, maka bisa merusak ibadahnya. Penyimpangan-penyimpangan
dalam beribadah, seperti penyembahan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala
adalah buah dari akidah yang rusak. Untuk itu, orang tua-orang Muslim sebaiknya
meneladaninya dari Luqman Al-Hakim.
Di zaman
yang penuh fitnah subhat ini sepatutnya para orang tua Muslim lebih
merisaukan akidah anaknya sepeninggal mereka kelak. Sebagaimana kerisauan
Ya’qub diakhir hayatnya terhadap anak-anaknya, Ya’qub bertanya bukan masalah
pekerjaan, harta, atau jabatan anak-anaknya. Tapi yang ditanyakan Ya’qub kepada
anak-anaknya adalah tentang akidahnya, yaitu siapa yang akan mereka sembah
sepeninggal Ya’qub (lihat: surat Al-Baqarah ayat 133).
Dengan akidah yang benar
dan kuat, maka fondasi kepribadian anak sebagai seorang Muslim terhujam kokoh
di dadanya. Segala tata cara dan orientasi hidupnya senantiasa akan disesuaikan
dengan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika dihadapkan pada
peluang-peluang untuk melakukan korupsi, kebohongan, kecurangan, dan perilaku
maksiat lainnya, maka ia akan memilih taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kedua, pendidikan ibadah sesuai tuntunan syariat.
Para ulama fikih berkesepahaman mengenai syarat diterimanya ibadah disisi Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu beribadah dengan niat yang ikhlas hanya untuk
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan beribadah dengan mengikuti (ittiba’)
cara-cara beribadah yang sudah diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam. Syarat yang pertama berarti bertauhid dalam beribadah,
menghindari segala bentuk penghambaan diri kepada selain Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Syarat yang kedua berarti benar tata cara pelaksanaan ibadah sesuai
dengan sunah-sunah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan tanpa
menambah atau menguranginya sedikitpun terutama dalam ibadah-ibadah yang sudah
diatur tata cara pelaksanaannya (mahdhah) seperti shalat, puasa, wudhu,
haji, dan qurban.
Ketiga, ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Berani
menyerukan kebenaran dan melarang kemungkaran adalah tiang penyangga tegaknya
syariat Islam di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Sejak dini anak penting
diajarkan prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi mungkar, menanamkan
keberanian ke dalam jiwa anak untuk menyampaikan yang hak dan mencegah yang
bathil. Seorang Muslim yang sejati haruslah memiliki tabi’at pemberani dalam amar
ma’ruf nahi mungkar. Pada tahapan yang ketiga ini juga terkandung pemahaman
bahwa setelah anak dididik dengan akidah dan ibadah yang benar, maka tahap
selanjutnya kepribadian islaminya dikuatkan dengan sikap perhatian terhadap
lingkungannya, yaitu memperbaiki lingkungannya dengan mendakwahkan kebaikan dan
menghilangkan penyebab-penyebab kerusakan dalam kehidupan, yaitu kemungkaran.
Keempat, mengajarkan anak tentang kesabaran dalam
menghadapi cobaan. Kesabaran adalah amalan mulia dan dicintai Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Dalam memurnikan tauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
juga dalam beribadah, dan ber-amar ma’ruf nahi mungkar banyak cobaan dan
rintangan yang akan dihadapi. Maka pada tahap keempat ini anak dididik mengenai
kesabaran, diajarkan kisah-kisah yang mengandung mutiara kesabaran seperti
dakwah Rasulallah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang penuh rintangan,
begitu juga kisah-kisah kesabaran para nabi dan rasul terdahulu, dan para
sahabat-sahatab Nabi Shalallahu ‘Alaihu Wasallam yang mulia.
Tahap-tahap
mendidik anak berkepribadian Islami di atas dapat dilakukan oleh para pendidik
baik orang tua maupun guru. Maka yang harus diusahakan adalah menciptakan
pendidikan yang seirama antara di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Rumah,
sekolah, dan masyarakat harus memiliki visi dan misi yang sama dalam pendidikan
anak-anak kaum Muslimin. Sehingga anak-anak kaum Muslimin terhindar dari
dualisme cara hidup yang berbeda antara keyakinannya terhadap nilai-nilai
ajaran Islam dan perilakunya dalam kehidupan (split personality).
Sebaliknya,
pendidikan mampu menjadikan mereka seorang yang berkepribadian Islami. Antara
nilai-nilai ajaran Islam yang dia yakini sejalan dengan perilaku dalam
kehidupannya sehari-hari. Sehingga apapun profesinya, dia tetap menjadi pribadi
yang Islami, menjadi presiden−presiden yang islami, menjadi gubernur−gubernur
yang islami, menjadi jenderal−jenderal yang Islami, dan seterusnya. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar