Cari Blog Ini

Senin, 29 Agustus 2016

Seri Psikologi Islam 10

Menjadikan Anak Berkepribadian Islami

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kepribadian sebagai sifat dasar manusia yang menjadikannya unik atau berbeda dibandingkan dengan yang lainnya. Maka kepribadian Islami adalah  kepribadian yang menyesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Menjadikan anak berkepribadian Islami berarti mendidik anak menjadi seorang Muslim sejati yang bertutur kata, perilakunya, akhlaknya, prinsip hidupnya, cara pandangnya, dan tujuan hidupnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah.

Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Di dalam Al-Qur’an terdapat segala petunjuk untuk kehidupan manusia. Segala persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya ada solusinya di dalam Al-Qur’an. Termasuk petunjuk dan solusi yang dihadapi orang tua dalam pendidikan anak-anak Muslim.

Mengenai pendidikan anak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan tentang Luqman Al-Hakim mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang berkepribadian Islami. Luqman Al-Hakim adalah seorang hamba Allah Subhanahu Wa ta’ala yang diridai oleh-Nya. Maka, sepatutnya kisah Luqman Al-Hakim diteladani oleh setiap orang tua Muslim dalam mendidik anak-anak mereka.

Dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat ke 17, Luqman Al-Hakim berkata kepada anaknya “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala”).

Imam Ar-Razi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan “Tatkala Luqman melarang anaknya dari perbuatan syirik dan menakut-nakutinya dengan ilmu dan kekuasaan Allah (lihat: QS Luqman ayat 13), lalu ia perintahkan anaknya melaksnakan shalat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa shalat adalah ajaran semua Nabi, walaupun caranya berbeda-beda. Kemudian Luqman menyuruh anak-anaknya ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Ini berarti setelah menyempurnakan diri dengan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, selanjutnya perbaikilah orang lain sambil bersabar terhadapnya. Ini adalah tradisi para Nabi dan ulama waratsatul anbiya’ (Al-Ikk, 2009).

Dari penjelasan Imam Ar-Razi dapat dipahami bahwa urutan pendidikan karakter kepada anak adalah pertama-tama diawali dengan pendidikan tauhid yang benar, selanjutnya pendidikan ibadah sesuai tuntunan syariat, kemudian pendidikan ber-amar ma’ruf nahi mungkar, dan ajaran untuk bersabar dalam menghadapi cobaan.

Pertama, Pendidikan tauhid berarti mendidik anak dalam hal akidahnya. Akidah merupakan inti ajaran Islam, maka akidah yang salah menyebabkan rusaknya nilai-nilai ajaran Islam yang lainnya. Apabila akidah seorang muslim rusak, maka bisa merusak ibadahnya. Penyimpangan-penyimpangan dalam beribadah, seperti penyembahan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah buah dari akidah yang rusak. Untuk itu, orang tua-orang Muslim sebaiknya meneladaninya dari Luqman Al-Hakim.

Di zaman yang penuh fitnah subhat ini sepatutnya para orang tua Muslim lebih merisaukan akidah anaknya sepeninggal mereka kelak. Sebagaimana kerisauan Ya’qub diakhir hayatnya terhadap anak-anaknya, Ya’qub bertanya bukan masalah pekerjaan, harta, atau jabatan anak-anaknya. Tapi yang ditanyakan Ya’qub kepada anak-anaknya adalah tentang akidahnya, yaitu siapa yang akan mereka sembah sepeninggal Ya’qub (lihat: surat Al-Baqarah ayat 133). 

Dengan akidah yang benar dan kuat, maka fondasi kepribadian anak sebagai seorang Muslim terhujam kokoh di dadanya. Segala tata cara dan orientasi hidupnya senantiasa akan disesuaikan dengan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika dihadapkan pada peluang-peluang untuk melakukan korupsi, kebohongan, kecurangan, dan perilaku maksiat lainnya, maka ia akan memilih taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kedua, pendidikan ibadah sesuai tuntunan syariat. Para ulama fikih berkesepahaman mengenai syarat diterimanya ibadah disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu beribadah dengan niat yang ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan beribadah dengan mengikuti (ittiba’) cara-cara beribadah yang sudah diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Syarat yang pertama berarti bertauhid dalam beribadah, menghindari segala bentuk penghambaan diri kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Syarat yang kedua berarti benar tata cara pelaksanaan ibadah sesuai dengan sunah-sunah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan tanpa menambah atau menguranginya sedikitpun terutama dalam ibadah-ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya (mahdhah) seperti shalat, puasa, wudhu, haji, dan qurban.

Ketiga, ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Berani menyerukan kebenaran dan melarang kemungkaran adalah tiang penyangga tegaknya syariat Islam di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Sejak dini anak penting diajarkan prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi mungkar, menanamkan keberanian ke dalam jiwa anak untuk menyampaikan yang hak dan mencegah yang bathil. Seorang Muslim yang sejati haruslah memiliki tabi’at pemberani dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Pada tahapan yang ketiga ini juga terkandung pemahaman bahwa setelah anak dididik dengan akidah dan ibadah yang benar, maka tahap selanjutnya kepribadian islaminya dikuatkan dengan sikap perhatian terhadap lingkungannya, yaitu memperbaiki lingkungannya dengan mendakwahkan kebaikan dan menghilangkan penyebab-penyebab kerusakan dalam kehidupan, yaitu kemungkaran.

Keempat, mengajarkan anak tentang kesabaran dalam menghadapi cobaan. Kesabaran adalah amalan mulia dan dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam memurnikan tauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, juga dalam beribadah, dan ber-amar ma’ruf nahi mungkar banyak cobaan dan rintangan yang akan dihadapi. Maka pada tahap keempat ini anak dididik mengenai kesabaran, diajarkan kisah-kisah yang mengandung mutiara kesabaran seperti dakwah Rasulallah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang penuh rintangan, begitu juga kisah-kisah kesabaran para nabi dan rasul terdahulu, dan para sahabat-sahatab Nabi Shalallahu ‘Alaihu Wasallam yang mulia.


Tahap-tahap mendidik anak berkepribadian Islami di atas dapat dilakukan oleh para pendidik baik orang tua maupun guru. Maka yang harus diusahakan adalah menciptakan pendidikan yang seirama antara di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Rumah, sekolah, dan masyarakat harus memiliki visi dan misi yang sama dalam pendidikan anak-anak kaum Muslimin. Sehingga anak-anak kaum Muslimin terhindar dari dualisme cara hidup yang berbeda antara keyakinannya terhadap nilai-nilai ajaran Islam dan perilakunya dalam kehidupan (split personality). 

Sebaliknya, pendidikan mampu menjadikan mereka seorang yang berkepribadian Islami. Antara nilai-nilai ajaran Islam yang dia yakini sejalan dengan perilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga apapun profesinya, dia tetap menjadi pribadi yang Islami, menjadi presiden−presiden yang islami, menjadi gubernur−gubernur yang islami, menjadi jenderal−jenderal yang Islami, dan seterusnya.  Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate