Cari Blog Ini

Rabu, 24 Agustus 2016

Seri Psikologi Islam 7

PENDIDIKAN MENUJU TAKLIF


Taklif merupakan waktu dimana seseorang dibebankan sesuatu, dalam hal ini adalah dibebankan hukum-hukum dalam syariat Islam. Waktu tersebut ditandai dengan seorang wanita apabila sudah menstruasi (haid) dan laki-laki bila sudah mimpi basah (baca : mimpi bersenggama dan mengeluarkan air mani/sperma). Itu merupakan tanda-tanda primer untuk mengetahui seseorang laki-laki atau perempuan sudah balig atau belum.
Selain tanda-tanda primer tersebut tanda-tanda lain yang mendukung (sekunder) adalah bagi perempuan bila payudaranya mulai menonjol, suaranya mulai berubah, rambutnya mulai berminyak, tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan dan ketiak, badan mulai mengeluarkan bau yang kurang sedap yang berasal dari keringat, serta mulai merasakan dorongan ketertarikan kepada lawan jenisnya. 

Sementara bagi laki-laki juga hampir sama dengan yang dialami oleh perempuan, yaitu di sekitar kemaluan mulai ditumbuhi rambut, adanya perubahan pada suara, jakun mulai kelihatan, bila berkeringat menimbulkan bau badan yang kurang sedap, mulai tertarik kepada lawan jenis, rambut kelihatan berminyak, serta otot-otot badan mulai mengekar dan terlihat kuat secara fisik. 
Di dalam ilmu perkembangan masa ini terjadi ketika pergantian masa anak-anak menuju dewasa atau dalam ilmu Psikologi Perkembangan modern disebut dengan masa remaja (adolescent).
Masa remaja dikenal oleh Psikologi Barat sebagai masa storm and stress (topan dan badai). Menurut Psikologi Barat pada masa ini selalu ditandai dengan gejolak di dalam jiwa (Nashori, 2010). Sehingga pada masa remaja sering terjadi berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh anak-anak remaja. Misalnya pada masa remaja anak mulai berani membangkang kepada perintah orang tua, mulai terlibat perkumpulan geng-geng liar, mulai sering pulang malam, terlibat narkoba, pergaulan bebas, dan prestasi belajar di sekolah yang ambradul. 
Pandangan bahwa remaja selalu mengalami topan dan badai selama ini berlaku universal oleh psikologi modern (Barat). Sehingga teori ini digunakan untuk menjelaskan perilaku remaja di seluruh dunia. Namun apakah pandangan ini seutuhnya benar, atau jangan-jangan gejala topan dan badai hanya terjadi dikalangan remaja di Barat (Eropa dan Amerika) saja?
Menurut hasil penelitian Margaret Mead pada anak-anak remaja di Samoa ternyata anak-anak remaja di sana tidak memiliki gejala storm and stress. Remaja di Samoa melalui masa-masa remaja mereka dengan damai tanpa ada gejolak jiwa (Nashori, 2010). Hal ini membuktikan bahwa ternyata pandangan universalitas psikologi modern tentang masa remaja terbantahkan dan tidak berlaku untuk semua latar belakang kebudayaan.
Ketika kita melihat masa remaja dari perspektif keilmuan Islam, maka ditemukan bahwa di dalam Islam ternyata tidak mengenal konsep remaja. Dalam tahap-tahap perkembangan yang dijelaskan dari dalil-dalil al-Qur’an yang terdapat dalam surat Al Mukmin.

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ ثُمَّ يُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡ ثُمَّ لِتَكُونُواْ شُيُوخٗاۚ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبۡلُۖ وَلِتَبۡلُغُوٓاْ أَجَلٗا مُّسَمّٗى وَلَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٦٧ 
Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). (QS. Al-Mukmin [40] : 67).

Jelas di dalam ayat di atas di sebutkan bahwa tahap-tahap perkembangan manusia adalah dari tanah, kemudian menjadi mani, setelah itu menjadi segumpal darah, kemudian lahir menjadi seorang anak, lalu menjadi dewasa, selanjutnya menjadi tua. Dalam keterangan dalil-dalil yang lain baik melalui al-Qur’an maupun hadis Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dapat disimpulkan pada masa sejak manusia mulai lahir biasa disebut dengan bayi, kemudian anak-anak awal (thifl), selanjutnya anak-anak akhir (ghair tamyiz), fase tamyiz (anak mulai bisa membedakan antara yang baik dan buruk), fase amrad (kira-kira umur 10-15 tahun), fase taklif (menerima beban syariat), fase futuh (kebijaksanaan). Walaupun para ahli perkembangan dari kalangan ilmuwan Muslim memiliki klasifikasi yang berbeda-beda mengenai tahap-tahap perkembangan manusia, setidaknya secara umum gambaran perkembangan manusia adalah seperti yang dipaparkan tadi.
Apabila merujuk kepada klasifikasi perkembangan di atas, maka ketika seseorang mengalami masa balig (baca : remaja) sebagaimana perspektif psikologi Barat akan mengalami badai dan topan. Menurut Nashori (2010) Maka dalam perspektif Psikologi Islam tidak demikian sebagaimana yang disampaikan dalam kritisi ilmuwan Muslim mengenai hal ini bahwa Islam tidak mengenal konsep remaja, yang ada dalam konsep Islam adalah akil balig, yaitu masa peralihan dari anak menjadi dewasa, pada masa ini seseorang mulai dikenai kewajiban syariat sebagaimana orang dewasa, sehingga dengan konsep seperti ini seorang anak yang hendak memasuki usia akil balig sudah dididik mengenai kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai orang dewasa.
Sesuai dengan konsep perkembangan Islam, maka tidak ada storm and stress ketika seseorang menginjak usia remaja (baligh). Sebab menurut konsep pendidikan Islam sebelum anak mencapai usiah balig sudah dipersiapkan dengan dididik mengenai kewajiban dan tanggungjawabnya kelak. 
Maka pendidikan menuju taklif merupakan sebuah keharusan bila ditinjau dari perspektif Psikologi Pendidikan Islam dan tujuan dari hidup manusia baik sebagai abdullah (baca : hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang berkewajiban beribadah kepadaNya) maupun khalifatullah (wakil Allah Subhanahu Wata’ala mengurusi bumi) di muka bumi ini. Lalu, bagaimana bentuk-bentuk pendidikan menuju taklif ini? Apa saja yang harus dikuasai oleh seseorang menjelang menginjak masa taklif? Atau dalam konsep ilmu pendidikan disebut dengan kurikulum dan metodenya.
Apabila kita mengacu kepada tahap-tahap perkembangan manusia menurut sudut pandang keilmuan Islam, dalam hal ini Psikologi Perkembangan Islam maupun Psikologi Pendidikan Islam. Maka pendidikan menuju taklif dilaksanakan sebelum anak menginjak fase taklif, yang terdiri dari fase bayi, fase anak-anak awal, fanek anak-anak akhir, fase ghairu tamyiz, fase tamyiz, dan fase amrad.
Untuk itu persiapan menuju taklif sudah bisa dilaksanakan semenjak anak lahir sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya dan tahap-tahap perkembangan kognitifnya.

Kurikulum Pendidikan Menuju Taklif
Berbicara mengenai kurikulum pendidikan menuju taklif, utamanya tentang materi pendidikannya tentulah bukan perkara yang mudah, sebab harus membutuhkan kajian dan rumusan yang mendalam. Namun secara umum dalam ilmu psikologi dan pendidikan modern sudah banyak dibahas mengenai hal ini, tapi belum tertata dengan rapi sebagai sebuah kurikulum yang baik. Umumnya muatan materi-materi pendidikan menuju taklif ini sudah termuat di dalam kurikulum pendidikan nasional baik dari Dinas Pendidikan Nasional maupun Kementrian Agama RI. Utamanya pada sekolah-sekolah Islam, seperti sekolah-sekolah dibawah naungan Kementrian Agama dan sekolah sekolah di bawah naungan Dinas Pendidikan yang bernuansa Islam seperti Sekolah Islam Terpadu (SIT) dan Islamic School. 
Diantara tulisan yang membahas mengenai pendidikan menuju taklif ini adalah buku yang di tulis oleh Muhammad Fauzil Adhim (1996) dengan judul “Mendidik Anak Menuju Taklif” di dalam bahasannya mengulas tentang urgensi pendidikan sebelum masa taklif dan berbagai persoalannya, serta bagaimana cara mengatasi persoalan tersebut dan apa saja yang harus diajarkan menjelang anak memasuki masa taklif.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (2014) dalam kitabnya yang berjudul “Taujihat Islamiyah Li Islah al-Fard wa al-Mujtama’ ” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat” mengemukakan pokok-pokok tentang pendidikan anak, yaitu mengajarkan salat, memperingatkan anak untuk menjauhi larangan Allah Subhanahu Wata’ala, menutup aurat dan hijab, akhlak dan sopan santun, jihad dan keberanian, berbakti kepada kedua orang tua, mengenal dan menjauhi dosa-dosa besar, dan taubat. 
Dengan lebih komprehensif dan mendalam Syeikh Khalid Abdurrahman Al-Ikk (2009) dalam bukunya  “Tarbitatul Abna’ wal Banaat fii Dhau’il Kitaab wa Sunnah” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pedoman Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an dan Sunnah” menjelaskan berbagai hal mengenai pendidikan anak mulai dari hak-hak pendidikan anak sejak dalam janin, membangun kepribadian anak, hak-hak anak dalam pengasuhan dan kecintaan, membangun kepatuhan beragama, keimanan, dan ibadah dalam diri anak, adab-adab, bertutur kata, memberi tugas, mendidik akhlak dan jiwa bermasyarakat, memberi ilmu pengetahuan, pembinaan intelektual, sosial, dan emosional, serta memperhatikan masa depannya.
Sementara itu, Jalaluddin (2012) dalam bukunya “Psikologi Agama : Memahami Perilaku Dengan Mengaplikasikan Psinrip-prinsip Psikologi” lebih ringkas mengemukakan aspek-aspek pendidikan yang sangat penting diberikan kepada anak menjelang taklif, yaitu pendidikan Ibadah, pokok-pokok ajaran Islam dan membacara al-Qur’an, pendidikan akhlakul karimah, dan pendidikan akidah islamiyah. 
Selanjutnya dalam pemikiran Al-Ghazali sebagaimana dinukil oleh Ladzi Safrony (2013) dalam bukunya “Al-Ghazali Berbicara Tentang Pendidikan Islam” bahwa pada usia 0-6 tahun anak-anak harus dijaga dari segala bentuk hal-hal buruk, seperti bermewah-mewahan, bersenang-senang, pendusta, pendengki, pencuri, adu domba, suka meminta-minta, banyak perkataan sia-sia, suka tertawa, banyak gurau, dan menipu. Lanjut pada usia 6-9 tahun anak mulai diajarkan al-Qur’an dan Hadis, hadis-hadis yang mengandung cerita-cerita , riwayat dan hal ikhwal orang saleh agar teladannya menghujam ke dalam dadaynya.
Selanjutnya pada usia 9-13 tahun menurut Al-Ghazali anak mulai diajarkan kemandirian dan pendidikan akhlak dan adab kepada sesama manusia, terutama adab kepada ibu bapak dan orang yang lebih tua, anak juga diperintahkan untuk melaksanakan bersuci dan salat dan tidak diperbolehkan meninggalkannya, berpuasa ramadhan, diajarkan tentang batas-batas agama, ditakutkan dia dari mencuri, makanan haram, khianat, dusta, berbuat keji, dan perbuatan maksiat lainnya. Menginjak usia 13-16 tahun (masa taklif) Al-Ghazali menganjurkan anak diperkenalkan rahasia tentang segala hal yang sudah diajarkan, misalnya bahwa makanan adalah obat, karena yang dimaksud obat itu adalah yang menguatkan manusia untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan dunia sesungguhnya bukanlah pokok karena dia fana, yang pokok itu adalah akhirat. Ditambahkan Safrony bahwa masa ini evaluasi terhadap apa yang sudah diajarkan kepada anak, pemantapan pendidikan kemandiarian, adab, dan intelektualitas.
Dari berbagai penjelasan di atas, maka apabila ditarik sebuah kesimpulan mengenai materi pendidikan menuju taklif meliputi materi akidah islamiyah (tauhid; meliputi rukun iman), materi tentang kewajiban beribadah (meliputi rukun Islam), materi tentang akhlak mulia, materi tentang batasan-batasan (baca: larangan) syariat, materi kemampuan pribadi (kemandirian), materi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan alam semesta (intelektualitas), dan materi tentang memahami diri sendiri dan orang lain (psikologis dan sosial).

Metode Pendidikan Menuju Taklif
Di pembahasan sebelumnya sudah disampaikan sekilas bahwa baiknya pendidikan diajarkan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan psikologis anak yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan motorik. Memperhatikan ketiga aspek ini penting dalam pemberian pendidikan kepada anak, sebab fungsi pikir, rasa, dan tubuh anak berkembang melalui tahan-tahapan tertentu seiring bertambahnya usia anak. Mengenai metode khusus dalam pendidikan Agama Al-Ghazali menekankan bahwa proses pendidikan anak itu dimulai dengan hafalan, selanjutnya pemahaman, ditingkatkan dengan keyakinan, dan disempurnakan dengan pembenahan (Safrony, 2013).
Metode pendidikan yang dikemukakan oleh Al-Ghazali mengisyaratkan bahwa keimanan pada awalnya harus ditumbuhkan dalam dada anak dengan tanpa dalih terlebih dahulu, sebab diantara kemurahan Allah Subhanahu Wata’ala kepada hambaNya adalah dimudahkannya keimanan masuk kedalam hatinya sejak kecil, bahkan sejak di alam rahim keimanan manusia sudah dikokohkan Allah Subhanahu Wata’ala dengan persaksian tauhid (lihat surat al-A’raf [7] : 172). Setelah keimanan itu masuk kedalam lubuk hati anak, maka anak mulai diajarkan tentang berbagai rahasia tentang keimanan tersebut, dengan begitu anak akan semakin yakin dengan keimanannya, sehingga pendidik atau orang tua tinggal membenahi apabila ada kekurangan-kekurangan dalam pengamalannya.
Metode pendidikan Al-Ghazali di atas dapat juga diaplikasikan untuk materi pendidikan lainnya, misalnya pendidikan seks kepada anak. Dalam tradisi pendidikan tradisional Muslim yang berlangsung di kutab-kutab, masjid, dan pondok pesantren ketika belajar masalah fikih yang pertama kali diajarkan adalah persolan fikih bersuci (thaharah). Di dalam fikih bersuci diajarkan tentang hukum-hukum buang hajat, cara membersihkan dan mensucikannya, masalah haid, masalah junub, pembatal-pembatal wudhu, yang menyebabkan mandi besar, masalah mimpi basah. Kemudian dalam masalah adab diajarkan batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, bagaimana menundukkan pandangan, menjaga diri dari bercampur baur dengan perempuan (ikhtilat), menjaga diri dari berduan dengan perempuan bukan mahram (khalwat). Permulaan pendidikan dengan hafalan dan peringatan secara indoktrinisasi dengan tanpa dalih mampu mengakar kuat kedalam hati anak. Menjelang menuju balig seiring usianya doktrin-doktrin tersebut dikuatkan dengan pemahaman dan keyakinan. Sehingga gejala goncangan batin (storm and stress) sebagamana yang terjadi pada remaja-remaja Eropa dan Amerika tidak akan mengganggu remaja-remaja Muslim.
Agaknya dalam urain yang sederhana ini masih sedikit sekali penulis membahas tentang pendidikan menuju taklif karena keterbatasan penulis secara pribadi. Untuk itu harapannya apa yang sudah dikemukakan oleh para ilmuwan Muslim yang memiliki atensi yang kuat terhadap pendidikan anak seperti Syeikh Khalid Abdurrahman Al-Ikk, Al-Ghazali, Muhammad Fauzil Adhim, dan lainnya bisa diimplementasikan dalam kehidupan pendidikan anak-anak Muslim di seluruh dunia. Bagi para pendidik, terkhusus orang tua dan guru ada baiknya selalu berusaha menambah wawasannya tentang pendidikan Islam, sebab sikap yang terlalu terbuka terhadap tradisi pendidikan Barat nampaknya kurang baik, karena bagaimanapun Islam sebagai life core (pijakan hidup) yang kita yakini substansi pokoknya berbeda dengan ilmu pengetahuan dari Barat yang sekuler. Bagi kita umat Islam segala sesuatu diyakini bersumber dari kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Maka sesiapa yang ingin selamat dalam kehidupannya di dunia hingga akhirat harus menyesuaikan diri dengan kehendak Allah Subhanahu Wata’ala, dalam hal ini tata aturan (Dienul Islam) yang Allah Subhanahu Wata’ala turunkan melalui kekasihNya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate