Cari Blog Ini

Kamis, 21 Juli 2016

Seri Psikologi Islam 3

Dilema Pendidikan Islam

Umat Islam merupakan kelompok mayoritas yang menghuni negeri Indonesia tercinta ini. Menurut data kependudukan umat Islam berkisaran 80% dari total seluruh jumlah penduduk Indonesia, bahkan di dunia negara yang memiliki penganut Islam terbesar termasuk Indonesia di dalamnya. Dengan jumlah yang cukup besar tersebut umat Islam secara ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan memiliki andil yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Salah satu aspek yang penting bagi kelangsungan kebaragamaan umat Islam adalah sektor pendidikan. Sebab pendidikan memiliki peran vital dalam pewarisan ajaran Islam dari generasi ke generasi, sejak dahulu hingga sekarang dan menuju masa yang akan datang.

Pendidikan yang dipelopori oleh umat Islam termasuk pendidikan dengan model tertua dan pertama di Indonesia, yaitu model pendidikan yang diselenggarakan di masjid-masjid. Model pendidikan seperti ini merupakan model pendidikan yang di warisi secara tradisi sejak zaman Nabi, kemudian para sahabat khulafa rasyidin, lalu masa dinasti umayyah dan abbasiah sampai saat ini. Walaupun model pendidikan di masjid dikelompokkan sebagai pendidikan non formal, tapi tetap eksis hingga saat ini.

Dari model pendidikan di masjid, kemudian bermetamorfosa menjadi model pendidikan pesantren, yang menurut sejarahnya bermula dari penuhnya masjid oleh para penuntut ilmu, sehingga dicarilah solusi untuk membangun pondokan (rumah sederhana) sekaligus sebagai tempat tinggal para penuntut ilmu di sekitat masjid, yang kemudian diasuh oleh salah seorang guru (sekarang kyai). Lama-lama pondokan semakin ramai karena banyaknya para penuntut ilmu, maka pondokan tersebut berubah menjadi pondok pesantren seperti sekarang ini. Sekarang para penunutut ilmu tersebut dipanggil santri, yang diasuh oleh seorang guru (kyai) dan di bantu oleh beberapa orang ustadz yang biasanya alumni dari pendidikan pondok pesantren tersebut.

Pondok pesantren dengan berbagai dinamikanya terus berkembang hingga saat ini menyesuaikan dengan zamannya. Sedangkan model pendidikan sekolah atau madrasah lebih dipengaruhi oleh corak pendidikan Barat. Model pendidikan sekolah dalam pendidikan Islam pertama kali dipakai oleh Kyai H. Ahmad Dahlan, pada awalnya dianggap aneh dan menyimpang dari tradisi oleh sebagian masyarakat, namun seiring waktu mulai diterima, bahkan sekarang muncul dengan berbagai model singkretik antara model pendidikan sekolah dengan pondok pesantren.

Di tengah hiruk pikukmya dunia pendidikan nasional saat ini, model pendidikan Islam baik pesantren maupun madrasah atau sekolah mengalami dinamika persoalan di berbagai aspek. Namun, terlepas dari banyaknya persoalan yang dihadapi sekolah-sekokah Islam saat ini ada satu persoalan pokok yang sangat substantif perlu segera dicarikan solusinya, yaitu pertanyaan 'Apakah pendidikan Islam yang berlangsung semenjak pendidikan dini, kemudian Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, lalu perguruan tinggi sudah mengantarkan murid-muridnya memahami kandungan Al-Qur'an sebanyak30 juz?'. Jawabannya tentu belum. Walaupun ada sebagian, atau mungkin malah sedikit sekali dari sekolah Islam atau pesantren yang sudah menerapkan kurikulum ini. Sebab, sebagian besar pondok pesantren dan madrasah-madrasah hanya menerapkan laiaknya kurikukum sekolah negeri biasa.

Menerapkan kurikulum memahami Al-Qur'an 30 juz adalah suatu keniscayaan bagi sekolah-sekokah Islam. Al-Qur'an merupakan sumber utama ajaran Islam, maka suatu kewajiban bagi setiap pribadi muslim untuk memahami sumber ajaram Islam tersebut, dan sarana utama mengajarkam Al-Qur'an adalah melalui pendidikan, terutama pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah Islam, seperti madrasah dan pondok pesantren. Sebenarnya tidak terlalu sulit bila sekolah-sekolah Islam mendesain kurikulum memahami Al-Qur'an 30 juz dalam materi pembelajarannya disamping materi-materi pelajaran lainnya. Apalagi di pondok pesantren yang memang memiliki banyak waktu dibandingkan madrasah.

Baik untuk pesantren maupun madrasah bisa mendasain kurikulum paham Al-Qur'an 30 juz semenjak tingkat pendidikan menengah pertama atau tsanawiyah. Pada tingkat tsanawiyah secara psikologis murid sudah memiliki  kesiapan yang baik untuk menerima materi tafsir al-Qur'an. Pada usia ini murid sudah mencapai kemampuan berpikir abstrak, silogisme, berfikir kritis, analitik, dan kemampuan-kampuan kognitif lainnya yang sudah mulai matang. Maka, pada pendidikan dasar murid perlu dimatangkan dalam penguasaan tahsin (membaca) Al-Qur'an serta kemampuan lainnya yang menopang kurikulum tafsir al-Qur'an, seperti bahasa Arab, ulumul Qur'an, hadits , serta tahfiz Al-Qur'an.

Apabila kurikulum ini diprogram dengan baik, maka dalam rentang waktu 3 tahun para murid bisa merampungkan belajar tafsir Al-Qur'an 30 juz, sebab di salah satu pondok pesantren di Solo ada program khusus belajar tafsir Al-Qur'an hanya dalam waktu 3 bulan berikut dengan tambahan ilmu penunjang lainnya. Setelah selesai mempelajari tafsir Qur'an pada tingkat tsanawiyah, maka di tingkat Aliyah guna memperkuat pemahaman tentang al-Qur'an 30 juz, para murid diberi tambahan materi tentang  tafsir hadis.

Lulus Aliyah, para murid hasil didikan sekolah-sekolah Islam memiliki kemampuan yang baik dalam memehami Al-Qur'an 30 juz. Ditambah kemampuan memahami hadis-hadis nabi dengan baik. Sehingga pada tingkat perguruan tinggi, seorang mahasiswa sudah mampu menganalisis berbagai persoalan kekinian di tengah-tengah umat Islam, kemudian bisa diangkat sebagai tema analisis dalam penelitian-penelitian (skripsi) mereka. Apa yang dipaparkan di atas tentunya bukan isapan jempol belaka. Ide-ide sederhana yang hanya berupa keresahan penulis tersebut sebelumnya sudah direalisasikan oleh sebuah lembaga pendidikan, sebut saja pondok pesantren di tengah-tengah kota Solo, Jawa Tengah. Tapi sayang, belum banyak lembaga pendidikan Islam yang seperti ini.

Kedepannya, kita berharap melalui Kementrian Agama umat Islam mampu mewujudkan cita-cita mulia ini.  sangat disayangkan sekali, bila pendidikan anak-anak Muslim yang berlangsung lebih kurang 16 tahun bila dihitung sejak SD hingga Perguruan Tinggi tidak mampu mencetak orang yang faham Al-Qur'an. Padahal Al-Qur'an adalah sumber hukum dan tata aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan setiap muslim. Baiknya umat ini ditimbang dengan kesesuaian hidup mereka dengan Al-Qur'an. Yang itu berarti umat ini tidak akan baik selama belum memiliki pemahaman yang baik mengenai Al-Qur'an. Wallahu A'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate