Cari Blog Ini

Selasa, 11 Oktober 2016

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Seri Psikologi Islam 12)

   Ketika dua orang anak manusia, yaitu laki-laki dan perempuan menjalin hubungan pernikahan yang sah menurut syari’at Islam. Maka keduanya secara otomatis akan memikul tanggungjawab-tanggungjawab dari agama.

   Seorang suami dibebankan oleh syari’at menjadi pemimpin keluarganya, memberikan nafkah, mendidik dan membimbing keluarganya sesuai ajaran dan tuntunan Islam yang benar. 
      Sedangkan seorang isteri memiliki tanggungjawab untuk mengurusi rumah tangga suaminya, mendidik anak-anaknya, dan berbakti kepada suaminya. 
  Sementara sebagai orang tua mereka memiliki tanggungjawab untuk mendidik anak-anak mereka ke arah yang diridai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu menjaga anak-anaknya dari api neraka, maksudnya menghalangi mereka dari kedurhakaan kepada Allah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦ 
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim : 6).

   Ayat diatas memberikan penjelasan tentang tujuan dalam pendidikan Islam, yaitu untuk menjadikan manusia taat kepada Allah dan menghalangi manusia dari berbuat durhaka kepada Allah. Maka tujuan ini seharusnya menjadi landasan bagi setiap orang tua dalam kegiatan pendidikan terhadap anak-anaknya, begitu pula dengan pendidikan di sekolah-sekolah, dan di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
  Bagi orang tua untuk mencapai tujuan tersebut ada tanggungjawab-tanggungjawab yang harus mereka tunaikan dalam pendidikan anak-anak mereka. Syaikh Khalid Abdurrahman Al-Ikk (2009) membagi tanggungjawab orang tua kepada anaknya menjadi dua belas macam, yaitu tanggung jawab pendidikan iman, pendidikan akhlak, pendidikan intelektual, memberikan hukuman dalam rangka mendidik anak, mengajarkan anak tentang berbakti kepada orang tua, pendidikan jasmani, pendidikan psikologis, pendidikan sosial, memberikan pengasuhan yang adil kepada anak laki-laki dan perempuan, memisahkan anak laki-laki dan perempuan dari tempat tidur bila sudah mencapai usia 10 tahun, dan memberikan hak hidup.
  Senada dengan Al-Ikk, beberapa tanggungjawab orang tua dalam pendidikan anak juga dikemukakan oleh Muhammar Nur Abdul Hafidzh Suwaid (2010), yaitu membentuk akidah, membentuk aktivitas ibadah, membentuk jiwa sosial-kemasyarakatan, membentuk akhlak islami, membentuk perasaan, membentuk jasmani, menanamkan cinta ilmu, memelihara kesehatan, dan mengarahkan kecenderungan seksual (gender).
    Dari kedua pakar parenting islami di atas memiliki persamaan-persamaan dalam kesimpulan mereka tentang tanggungjawab orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Dengan klasifikasi yang lebih sederhana dan agar tidak tumpang tindih antara tanggungjawab satu dengan tanggungjawab laninnya dapat. Maka apa yang disampaikan kedua pakar terseut dapat dikelompokkan menjadi enam macam, yaitu tanggungjawab pendidikan akidah, tanggungjawab pendidikan akhlak, tanggungjawab pendidikan intelektual, tanggungjawab pendidikan sosiologis, tanggungjawab pendidikan jasmani, dan tanggungjawab pendidikan psikologis.

Tanggungjawab Pendidikan Akidah
    Akidah yang benar menurut Islam adalah tauhid, yaitu ajaran tentang keyakinan untuk ke-Esaan Allah. Maka segala bentuk persekutuan kepada Allah dihukumi haram. Bahkan pelakunya diancam sebagai penghuni neraka bila mati dalam keadaan membawa dosa syirik (menyekutukan Allah). Allah Maha Pengampun, maka Allah dengan sifat pengampun-Nya bisa saja mengampuni siapa saja yang dia kehendaki di hari peradilan kelak. Namun, Allah menutup pintu ampunan-Nya bagi pelaku syirik.
    Orang tua memiliki tanggungjawab utama dalam pendidikan akidah yang benar terhadap anak-anaknya. Orang tua harus mengajarkan anaknya tentang bertauhid yang benar. Menjauhkan anak dari berbagai faham-faham yang mengandung kesyirikan. 
   Menjaga kesucian dan kemurnian potensi ketauhidan yang dibawa anak sejak lahir. Sebab setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Menurut sebagian ulama fitrah mengandung makna kecenderungan kepada tauhid. Maka dalam sebuah hadis Nabi dikatakan bahwa orang tuanyalah yang menyebabkan anak-anak menjadi Nasrani, Yahudi, dan Majusi.
  Tauhid adalah keyakinan yang terkandung dalam rukun iman yang pertama, yaitu bersyahadat kepada Allah dengan mengikrarkan “Asyhadu An Laa Ilaaha Illa Allah”. Kemudian syahadat yang diyakini didalam hati dan diikrarkan dengan lisan, selanjutnya diaplikasikan dalam segala bentuk perbuatan.
    Maka menurut para ulama, apabila salah satu dari ketiga unsur hati, lisan, dan perbutan tersebut tidak terpenuhi bisa membatalkan syahadat seseorang. Dengan demikian “Laa Ilaaha Illa Allah” bukan hanya sekedar ucapan lisan. Tapi ucapan tersebut memiliki kosekuensi-konsekuensi yang harus dijalankan oleh pengucapnya.
  Islam sangat concern dalam penanaman nilai-nilai tauhid kepada anak. Dalam sebuah atsar dari salafus shaleh diriwayatkan bahwa “Bukalah kata-kata pertama pada anak-anak kalian dengan lafal Laa Ilaaha Illa Allah”. Hal ini juga diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Ahmad dan At-Timidzi bahwa Rasulullah membaca azan di telinga Hasan setelah Fatimah melahirkannya dengan azan untuk shalat.
  Keutamaan azan adalah dapat mengusir setan, maka dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oelh Abu Hurairah Nabi bersabda “Tidak ada seorang bayi pun yang dilahirkan melainkan diganggu oleh setan sehingga dia menangis dengan keras disebabkan oleh gangguan setan ini, kecuali putera Maryam (Nabi Isa) dan ibunya”. Maka menurut Suwaid (2010) hikmah dibalik syari’at azan ini adalah untuk melindungi anak dari gangguan setan.
     Mendidik anak tentang ketauhidan ini adalah tanggungjawab orang tua hingga anak-anak mencapai usia baligh, dimana pada usia baligh anak akan menerima beban syari’at (taklif). Maka pendidikan tauhid memiliki rentang waktu yang cukup lama, sehingga orang tua seharusnya bersungguh-sungguh menanamkan keyakinan dan nilai-nilai tauhid yang lurus kepada anak-anak mereka.

Tanggungjawab Pendidikan Akhlak
   Pendidikan akhlak memiliki korelasi yang erat dengan kemurnian dan kekokohan akidah. Akidah yang benar akan melahirkan akhlak yang benar, karena akidah menuntut seseorang untuk menyesuaikan diri dari segi perasaan, perkataan, dan perbuatannya dengan nlai-nilai akidah yang dia yakini. Maka akidah mengandung core value (nilai inti) yang menjadi acuan dalam setiap amalan hati, lisan, dan perbuatan seseorang.
  Akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar (Ilyas, 2012). Maka akhlak memiliki ciri-ciri perilaku atau perbuatan yang sudah menjadi karakter seseorang sebab akahlak muncul dalam bentuk perilaku yang otomatisasi atau spontanitas. 
  Apabila kita melihat seseorang menghadapi suatu masalah, kemudian dari perilakunya muncul sifat-sifat mulia, tenang, sabar, dan bertawakal kepada Allah, maka itulah akhlaknya.
  Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa akhlak akan tampil dalam bentuk perilaku dalam setiap kehidupan manusia. Maka kemulian diri bisa dicerminkan oleh akhlak yang terdapat pada seseorang. Orang yang mulia akan memperlihatkan akhlak-akhlak yang mulia. Sebaliknya orang yang rendah akan mempertontonkan akhlak-akhlak yang buruk.
    Islam adalah agama yang mulia dan hanya mengajarkan dan menyeru kepada akhlak-akhlak yang mulia. Maka generasi muslim haruslah dididik dengan akhlak yang mulia sebagai cerminan agama yang mereka anut. Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam pendidikan akhlak mulia ini. Sebab, anak sejak kecil tinggal yang dibesarkan oleh orang tuanya, anak diasuh, dan dididik di lingkungan orang tuanya. Masa-masa anak bersama orang tua adalah masa-masa penting uttuk menanamkan nilai-nilai akhlak mulia. Yaitu, masa kecil adalah masa yang paling penting dan mudah untuk mengarahkan dan mendidik akhlak anak. Karena karakteristik belajar anak adalah dengan meniru dan mencontoh orang-orang yang ada di lingkungnnya. Maka peran orang tua adalah memberikan teladan akhlak yang mulia kepada anak-anak mereka.
    Beberapa contoh akhlak yang harus diajarkan orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil adalah seperti menjauhkan anak dari gaya hidup yang hedonisme, meniru-niru orang kafir (tasyabbuh), mencegah anak dari kesenangan terhadap lagu-lagu dan musik-musik yang amoral, mencegah anak menyerupai lawan jenisnya, mencegah anak berlaku ikhtilat, tabarruj, mencegah anak dari pergaulan bebas, narkoba, dan pelbagai jenis kemaksiatan lainnya.
   Orang tua dianjurkan mengarahkan anak kepada keluhuran budi pekerti seperti menanamkan kasih sayang antar sesama, saling menghormati, menghargai, tutur kata yang santun, perangai yang terpuji, mampu menjaga kehormatan diri dan keluarganya, kasih sayang terhadap makhluk ciptaan Allah seperti hewan dan tumbuhan, dan pelbagai akhlak mulia lainnya.

Tanggungjawab Pendidikan Intelekual
    Orang tua memiliki tanggungjawab mendidik akal anak-anak mereka. Orang tua harus membekali anak-anak mereka dengan kemampuan intelektual yang baik. Ukurannnya adalah anak mampu menjaga eksistensi dirinya dalam menghadapi kehidupannya. 
    Generasi muslim haruslah cerdas dan memiliki intelektualitas yang tinggi dan mumpuni. Sebab, jika kecerdasannya rendah dan intelektualitasnya juga rendah mereka akan menjadi budak musuh-musuh Islam. Hal ini bisa kita lihat bagaimana sejarah mencatat bahwa bangsa yang lemah intelektualitasnya dengan mudah dijajah oleh bangsa-bangsa yang lebih maju.
   Tugas orang tua adalah memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak mereka dengan mendidiknya sendiri jika mereka sanggup atau menyekolahkan anak-anak mereka bila mereka tidak mampu memberikan gizi intelektualitas yang berkualitas kepada anak-anak mereka. Namun, apapun pilihan orang tua yang perlu diperhatikan adalah pendidikan yang diberikan mampu menjaga kelurusan akidah, akhlak, dan akal anak.

Tanggungjawab Pendidikan Sosiologis
    Tanggung jawab yang bersifat sosial adalah segala pengajaran yang berkaitan dengan kebutuhan anak dalam lingkungan sosialnya.  Orang tua harus menanamkan nilai-nilai adab bermasyarakat, menjaga hak-hak orang lain, mendidik anak tentang kasih sayang antar sesama, menjaga ukhuwah dan silaturrahmi.
   Kehidupan sosial adalah ranah tersendiri yang terpisah dari pribadi dan keluarga. Maka untuk terlibat dalam kehidupan sosial secara efektif membutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu. Maka, menjadi penting keterampilan-keterampilan sosial ini diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak. Untuk itu orang tua dituntut bukan hanya mengajarkan saja, tapi sekaligus memberikan teladan.

Tanggungjawab Pendidikan Jasmani
   Pendidikan jasmani merupakan tanggungjawab orang tua yang berkaitan dengan kesehatan badan anak. Kesehatan badan itu akan terpenuhi apabila diberi makan dengan makanan yang halal dan baik (halalan thayyiban), makanan yang mengandung gizi yang menyehatkan badan, mengobati anak bila ia sakit, melatih anak untuk menjaga kesehatn dengan berolah raga, mendidik anak hidup dengan kerajinan dan kerja keras, melatih hidup sederhana, dan menjauhkan anak dari penyakit yang menular.

Tanggungjawab Pendidikan Psikologis
     Tujuan dari pendidikan psikologis adalah untuk membentuk dan menyempurnakan kepribadian anak, sehingga ketika besar ia mampu menjalankan kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepadanya dengan sesempurna mungkin. Orang tua bertanggungjawab mendidik psikis anak, menjaga kesehatan jiwa anak, agar anak terhindar dari berbagai penyakit-penyakit kejiwaan yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam yang lurus.
      Bentuk-bentuk penyakit kejiwaan dalam Islam secara umum tergolong dalam segala bentuk perbuatan kemaksiatan kepada Allah, misalnya berbohong, menipu, menghina orang lain, berzina, berjudi, syirik, homoseksual, menyerupai lawan jenis dalam berperilaku dan berpakaian, kemunafikan, kefasikan dan lain sebagainya adalah bentuk-bentuk penyakit jiwa dalam pandangan Islam. Karena perilaku-perilaku tersebut menyimpang dari ajaran Islam yang mulia.
     Maka, tanggungjawab orang tua mengarahkan psikologis anak untuk selalu menjaga ketaatan kepada Allah dengan menjauhi berbagai macam kemaksiatan. Tentu kesehatan psikologis ini akan tercapai apabila orang tua mampu menjaga tanggungjawabnya dalam pendidikan akidah, akhlak, intelektual, sosial, dan fisik anak. Kesempurnaan pada tanggungjawab pendidikan tersebut akan mengantarkan kepada kematangan psikologis yang sesuai dengan syari’at Islam. Wallahu A’lam.

1 komentar:

Translate