Cari Blog Ini

Selasa, 18 Juni 2019

FITRAH DAN POTENSI JIWA (Konsep Utama dalam Perspektif Psikologi Islam)

FITRAH DAN POTENSI JIWA
Syahri Ramadhan, S.Psi., M.S.I.
&
Dian Manisa Maharani 

A.    Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, sebab tidak ada makhluk lain yang Allah ciptakan seperti manusia yang memiliki unsur-unsur fisik maupun psikis yang lengkap. Allah berkalam di dalam Al-Qur’an Surat At-Tin ayat yang ke empat “Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin, 95 : 4).
Satu dari sekian banyaknya unsur kesempurnaan dalam diri manusia adalah dibekalinya manusia dengan fitrah dan potensi jiwa yang dibawa sejak lahir. Fitrah dan potensi jiwa manusia ini menjadi kajian yang sangat menarik dalam setiap diskusi ilmiah maupun karya-karya ilmiah para ilmuwan muslim khususnya. Sebab fitrah dan potensi jiwa manusia dianggap sebagai unsur psikis yang sangat mempengaruhi perilaku, sikap, tabi’at, dan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Fitrah bahkan tidak semata-mata dianggap sebagai unsur kejiwaan manusia yang berorientasi horizontal (duniawiah) saja, melainkan membawa potensi-potensi yang orientasinya vertikal (ilahiah). Sehingga fitrah secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan manusia secara lahir maupun batin.
Urgensi itulah yang menjadikan fitrah sebagai objek kajian ilmiah yang menarik untuk didiskusikan. Maka, dalam makalah ini penulis kembali menyajikan pembahasan-pembahasan mengenai fitrah manusia. Penulis mencoba mengkaji kembali bagaimana pandangan ilmuwan-ilmuwan muslim tentang fitrah, bentuk kajian makalah ini adalah menganalisis dan mengkomparasikan berbagai pandangan ilmuwan muslim tentang fitrah.
Di sisi lain, sering kali ilmuwan juga membicarakan masalah potensi jiwa yang juga menjadi objek kajian para ilmuwan, khususnya dalam psikologi Islam yang telah berkembang sejak abad 20. Menariknya perbincangan ini tatkala terjadi perbedaan pendapat diantara ahli tentang status persamaan dan perbedaan antara fitrah dan potensi jiwa.
Adapun pokok-pokok pembahasan dalam makalah ini adalah mengkaji pengertian fitrah, fitrah manusia dalam persfektif al-Qur’an, apakah sama fitrah dan potensi jiwa, potensi jiwa manusia dalam al-Qur’an, kemudian dibahas juga perbedaan paradigma fitrah dan psikologi modern Barat dalam memandang jiwa manusia.
B.     Pengertian Fitrah
Secara bahasa kata fitrah menurut Purwoko (2012 : 16) memiliki makna pecah, belah, berbuka, dan mencipta yang memilki kata asal fathara –yafthuru – fathr(an) wa futhr(an) wa fithrat(an). Hal senada juga dikatan oleh Mujahid (2005 : 25) bahwa secara bahasa kata "fitrah" mempunyai arti ciptaan atau sifat pembawaan yang ada sejak lahir, fitrah, agama dan sunnah. Makna fitrah secara bahasa atau harfiyah ini disinonimkan dengan kata "khalaqa". Kata khalaqa banyak digunakan oleh Allah untuk menyatakan penciptaan sesuatu, seperti khalaqallahus samawati wal ard (Allah telah menciptakan langit dan bumi). Contoh lain dari penggunaan kata khalaqa terdapat pada surat al-'Alaq ayat 2, Khalaqal insana min 'alaq (Dia Allah telah menciptakan manusia dari segumpal darah).
Menurut Louis Ma'luf (Mujahid, 2005 : 25) kata fitrah berarti mencipta/membuat sesuatu yang belum pernah ada, yaitu suatu sifat yang setiap yang ada ini disifati olehnya sejak awal penciptaanya, atau sifat pembawaan, agama dan sunnah.
Dilihat dari sumber ushul kata fitrah, yakni dari al-Qur’an. Secara tekstual kata fitrah hanya dikemukakan satu kali, yakni pada surat ar-Rum, 30: 30. Akan tetapi kata lain yang memuat akar kata fitrah sangat banyak. Menurut Baharuddin (2011 : 15) sedikitnya ada enam bentuk kata yang memiliki asal kata yang sama dengan fitrah, yaitu:
1.      فَطَرَ  : terdapat dalam surat al-An’am ayat 79, ar-Rum ayat 30, al-Isra’ ayat 51, Thaha ayat 72, Hud ayat 51, Yasin ayat 22, az-Zukhruf ayat 27, dan al-Anbiya’ ayat 56.
2.      فَاطِرَ : terdapat dalam surat Yusuf ayat 101, al-An’am ayat 14, Ibrahim ayat 10, Fathir ayat 1, az-Zumar ayat 46, dan asy-Syura ayat 11.
3.      يَتَفَطَّرۡنَ : terdapat dalam surat Maryam ayat 90 dan asy-Sura ayat 5.
4.      ٱنفَطَرَتۡ : terdapat dalam surat al-Infithar ayat 1.
5.      فُطُورٖ : terdapat dalam surat al-Mulk ayat 3.
6.      مُنفَطِرُۢ : terdapat dalam surat al-Muzammil ayat 18.
7.      فِطۡرَتَ : terdapat dalam surat ar-Rum ayat 30 (kata fitrah itu sendiri).
Di dalam al-Qur’an terjemahan yang diterbitkan oleh Kementrian Agama RI kata-kata tersebut masing-masing diartikan fathara artinya menciptakan, Faathira artinya orang yang menciptakan, yatafaththarna artinya pecah, infatharat artinya terbelah, futhuura artinya tida seimbang, munfathiru artinya pecah, dan fithrati artinya fitrah.
Purwoko (2012 : 16) mengatakan bahwa menurut orang-orang Arab asli, fathara artinya memulai atau mencipta dan mengkreasi. Hal ini seperti yang dituturkan ar-Razi dari Ibn ‘Abbas ra. yang berkata, “Aku tidak tahu apa arti Fâthir as- Samawât hingga datang kepadaku dua orang Arab Baduwi yang sedang berselisih mengenai sumur. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Fathartuhâ,’ yaitu ibtadâ’tuhâ (aku yang memulai / membuatnya).” Maka kata fathara Allah artinya Allah Menciptakan.
Lebih lanjut, Baharuddin (2011 : 16-17) mengelompokkan kata fathara dengan berbagai pemaknaanya menjadi kedalam tiga bentuk, yakni makna fitrah, penciptaan, dan pecah. Makna fitrah digunakan pada kata fithrati, makna penciptaan pada kata faathiru dan fathara, sedangkan makna pecah digunakan pada kata munfatharayatafahththarnainfatharat, dan futhuura. Di dalam tafsir al-Munawwir kata fithrati juga diartikan dengan makna penciptaan yang memiliki makna sangat luas, merupakan keadaan asli, belum berubah, atau sama dengan keadaan semula. Sedangkan bentuk kata fathara lainnya diartikan dengan pecah, yang memberikan adanya isyarat perubahan, rusak, tidak asli. Kondisi ini juga merupakan kondisi fitrah, yaitu fitrah yang mendatang pada diri manusia. Maka Baharuddin menyimpulkan, berdasarkan analisis makna kata fathara tersebut didapat dua bentuk kondisi objektif fitrah, yaitu fitrah ashliyah (asli) dan fitrah ‘aridah (mendatang).
Fitrah ashliyah adalah fitrah yang cenderung kepada kebenaran (ma’ilun ilal haq) dan fitrah ‘aridah fitrah yang datang dari luar (ba’ibatum minal haq). Selain itu menurut Baharuddin, jika ditelaah ayat-ayat yang menggunakan kata fitrah, maka akan di dapati menceritakan tentang tiga hal, yakni manusia, bumi, dan langit. Kata fathara selalu berhubungan dengan proses penciptaan langit, bumi, dan manusia. Sedangkan kata futhuura, infatharat, yaftharna, dan mufthiru hanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan langit.
Dengan demikian dapat difahami bahwa bahwa dalam penggunaan kata fitrah yang terdapat dalam al-Qur’an selalu dihubungkan dengan penciptaan manusia, langit, dan bumi, serta keadaan langit. Maka semua kata yang menggunakan fitrah mengarah pada ketauhidan. Tauhid berarti berIslam dengan meyakini (beriman) kepada Allah Yang Maha Esa dan tidak mengibadahi tuhan-tuhan selain Allah.
Penjelasan ini bisa kita temukan dalam penafsiran para ulama tentang kata fitrah yang terdapat dalam surat ar-Rum ayat 30.
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(QS. Ar-Rum, 30 : 30).

Lalu para ulama mengkaitkan ayat ini dengan surat al-A’raf ayat 172.
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A’raf, 7 : 172).

Kedua ayat tersebut selanjutnya sering dikaitkan tafsirnya dengan hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasul saw. Bersabda :
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Malik).

At-Thabari dan Ibn al-Mundzir (Purwoko, 2012 : 17-18) menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam.  Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al-A’râf ayat 172.
Menurut Abu ‘Amr dalam at-Tamhîd dan Imam Malik dalam al- Muwatha’, makna fitrah tersebut adalah permulaan.  Maksudnya, permulaan atau ketetapan Allah tatkala menciptakan makhluk. Allah telah mengawali mereka dengan ketetapan bagi kehidupan dan kematiannya serta kebahagiaan dan kesengsaraannya. Pendapat yang senada menyatakan, sejak di dalam kandungan setiap manusia telah ditetapkan kesudahannya apakah di surga ataukah di neraka. Ada juga yang berpendapat, makna fitrah adalah iman, yaitu setiap bayi dilahirkan di atas keimanan.
Ibn Abd al-Bar dan Ibn ‘Athiyah memaknai firah dengan suatu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada diri anak ketika dilahirkan (nature), yang menyediakan atau menyiapkannya untuk mengidentifikasi ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikannya dalil pengakuan terhadap Rabb-nya, mengetahui syariatnya, dan mengimani-Nya. Selain itu, Abu al-’Abbas menyatakan bahwa Allah Swt. menciptakan hati anak Adam as. siap untuk menerima kebenaran seperti menciptakan mata siap untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Hanya saja, faktor-faktor berupa bisikan setan jin maupun setan manusia serta hawa nafsu bisa menggelincirkannya dari kebenaran.
Dari berbagai macam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fitrah sejatinya adalah:
1.      Kecenderungan manusia terhadap tauhid, yakni lahirnya manusia diatas keimanan kepada Allah sejak lahir, sebab di dalam kandungan ketika ruh ditiupkan manusia telah bersaksi bahwa Allah adalah tuhan atau pemeliharanya (QS. al-A’raf, 7 : 172).
2.      Dari pemaknaan terhadap kata fitrah, difahami bahwa fitrah adalah kondisi asal penciptaan manusia atau sifat bawaan yang masih suci dan belum berubah sedikitpun.
3.      Fitrah dimaknai sebagai al-din (agama Islam), maka setiap manusia yang dilahirkan lahir dalam keadaan Islam (tauhid) baik itu dari orang tua Muslim atau Non-Muslim.
          Dari ketiga pegertian diatas, maka dapat dikomparasikan bahwa fitrah adalah kecenderungan     terhadap tauhid (iman kepada Allah) dengan lahir dalam kondisi asal penciptaan yang asli, yakni berIslam tanpa dipengaruhi oleh status keimanan orang tua. Namun, Setelah teraktualisasi fitrah akan terbentuk menjadi dua, yakni fitrah yang yang asli atau baik dan fitrah yang buruk atau fitrah karena adanya pengaruh di masa mendatang. Nabi bersabda dalam sahih Muslim bahwa “Allah berkalam,’Sungguh Aku telah menciptakan para hambaKu dalam keadaan suci bersih, hingga setan mendatangi mereka, lalu mereka menyelewengkan mereka dari agama mereka (fitrahnya)”. (HR. Muslim_sahih).
Hal  di atas, menurut Abdul Mujib (2007 : 43) bahwa firtah yang baik merupakan citra yang asli yang primer, sedangkan fitrah yang buruk merupakan fitrah sekunder yang sudah mengalami perubahan. Fitrah merupakan citra asli yang dinamis, yang terdapat dalam sistem psikofisik manusia, lalu terwujud dalam berbagai bentuk perilaku. Adanya sejak zaman azali diawal penciptaan manusia, setiap manusia memiliki fitrah yang sama walaupun perilakunya berbeda-beda, fitrah manusia yang paling esensial adalah penerimaannya tentang keEsaan Allah (tauhid) sebagaimana dalam surat ar-Rum ayat 30.
Yang diungkapkan oleh Abdul Mujib tersebut hampir senada dengan yang dikatakan oleh Zaizul Abd. Rahman (2012 : 165) mengatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan atau disposisi alami yang dibawa oleh manusia sejak lahir. Yang mana kecenderungan tersebut mengarah pada ketauhidan.
C.    Fitrah Dalam Persfektif Islam
Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, telah difahami bahwa fitrah merupakan potensi dasar yang ada pada manusia dengan kecenderungan kepada tauhid, kemudian dalam aktualisasinya bisa berwujud baik dan buruk, yang baik merupakan fitrah asli, sedangkan yang buruk merupakan fitrah yang telah berubah dari citra aslinya. Fitrah yang asli memiliki kecendrungan (disposisi) alami (nature) untuk bertauhid kepada Allah. Hakikatnya fitrah asli ini sama pada setiap manusia walaupun bentuk aktualisasinya berbeda-beda tergantung proses aktualisasi fitrah yang dijalani setiap manusia. Allah berkalam di dalam al-Qur’an:
وَنَفۡسٖ وَمَا سَوَّىٰهَا ٧ فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ٨  قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠

“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syam [91] : 7-10).

Tafsir ayat di atas menurut Ibnu Katsir (2014 : 607, edisi terjemahan jilid 9) bahwa Allah menciptakan jiwa itu dengan sempurna dan lurus di atas fitrah yang benar yang sudah digariskan Allah dalam Surat ar-Rum ayat 30 dan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang keadaan anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Sementara itu mengenai ayat ke 8 sampai ke sepuluh disimpulkan dari tafsir Ibnu Katsir bahwa ada ulama yang berpendapat Allah telah mengilhamkan atau menjelaskan atau menanamkan ke dalam jiwa itu kejahatan dan kebaikan. Kemudian setelah jelas antara kebaikan dan keburukan oleh jiwa tersebut Allah memudahkan kepada jiwa tersebut terhadap apa yang telah ditetapkan atasnya. Kemudian orang-orang yang beruntung adalah mereka yang mensucikan jiwanya (atau disucikan jiwanya oleh Allah) dari keburukan dan kehinaan, sedangkan orang-orang yang merugi adalah mereka yang mengotori jiwanya (dibiarkan kotor oleh Allah) setelah petunjuk itu datang.
D.    Apakah Sama Fitrah dan Potensi Jiwa?
Di atas telah penulis uraikan panjang lebar mengenai pengertian fitrah dan padanan kata yang mengandung akar kata fitrah. Dari penelusuran yang penulis lakukan terhadap beberapa pendapat ahli tentang fitrah, penulis menemukan pemakaian kata fitrah dan potensi jiwa sering disamakan. Artinya, para ahli tidak membedakan secara spesifik tentang kata fitrah dan potensi jiwa.
Hamdani Bakran Adz Dzaky (2008 : 26) menggunakan kata potensi-potensi manusia sebagai padanan kata fitrah. Adz Dzaky menyebutkan bahwa Allah telah memberikan potensi-potensi ilahiyah ke dalam diri manusia yang bersifat fitri (suci). Hal ini menunjukkan fitri berarti kondisi awal penciptaan yang belum ternoda atau berubah sedikitpun, keadaannya suci, bersih, dan tidak rusak.
Sementara itu, Abu Bakar dan Surohim (2005 : 25-26) mengatakan bahwa Allah melengkapi manusia dengan alat-alat potensial (yang mempunyai fitrah) dan potensi dasar atau fitrah yang harus ditumbuh kembangkan dalam kehidupan nyata di dunia melalui proses pendidikan. Memahaminya, bahwa alat-alat potensial yang dimaksud adalah unsur-unsur badaniah yang sifatnya fisik, misalnya alat peraba, alat pendengar, alat penglihatan, dan alat penciuman. Kemudian potensi dasar atau fitrah yang dimaksud adalah kemampuan dasar yang dibawa oleh alat-alat potensial tersebut. Misalnya alat penglihatan membawa kemampuan dasar atau fitrahnya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan di dunia. Kemampuan dasar itu bisa saja rusak, disebabkan rusaknya alat-alat potensial yang dimiliki atau disebabkan penyimpangan (zahiriah atau bathiniah) yang dilakukan oleh alat-alat potensial tersebut. Sehingga merusak fitrah manusia sebagai khalifatullah dan ‘abdullah.
Mujahid (2005 : 27) mengutip pendapat Hamka tentang fitrah dalam tafsir al-Azhar bahwa fitrah sebagai rasa asli, murni dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu pengakuan adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, yang maha Kuasa, maha Perkasa, maha Raya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah dan elok. Jelaslah bahwa Hamka mensifati fitrah dengan potensi jiwa (sifat-sifat batiniah) yang merupakan bawaan manusia dari asal penciptaannya.
Lebih lanjut, Muhaimin dkk (Mujahid, 2005 : 27) juga menjelaskan makna fitrah sebagai suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap atau menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah, cenderung kepada kebenaran (hanif).
Dari berbagai pendapat ahli yang penulis kutip di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fitrah dan potensi jiwa adalah sama. Fitrah merupakan potensi esensial pada manusia yang lebih global, sedangkan potensi jiwa adalah bentuk-bentuk fitrah manusia dalam aktualisasinya sebagai khalifatullah dan ‘abdullah. Keduanya mengandung makna yang sama, walaupun beberapa orang menyebutnya secara terpisah sehingga seolah-oleh keduanya berbeda. Wallahu ‘alam
E.     Potensi Manusia Dalam Al-Qur’an
Adapun berbagai potensi dasar atau fitrah yang dimiliki manusia sangat beragam jenisnya, tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan. Adapun agar tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam, maka dapat dilihat dalam pendapat yang dikemukakan oleh Muhaimin dan Syahminan Zaini (Abu Bakar dan Surohim, 2005 : 27-29), yakni sebagai berikut:
1.      Fitrah beragama : fitrah ini merupakan fondasi penting yang dibawa manusia sejak lahir untuk mengendalikan fitrah-fitrah yang lain. Fitrah beragama senantiasa mengarahkan manusia untuk tunduk kepada kekuatan Allah semata yang menguasai dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
2.      Fitrah berakal budi : fitrah ini merupakan potensi bawaan yang mengarahkan manusia untuk selalu berfikir dan berdzikir tentang ayat-ayat Allah, baik itu ayat qauliyah maupun ayat kauniyah. Fitrah ini pula yang mendorong manusia untuk kreatif dalam mengatasi segala persoalan hidup sehingga eksistensi manusia tetap berlanjut.
3.      Fitrah kebersihan dan kesucian : fitrah ini selalu mendorong manusia untuk selalu berkomitmen pada kesucian maupun kebersihan lahiriah maupun batiniah.
4.      Fitrah bermoral dan berakhlak : fitrah ini mendorong manusia untuk senantiasa taat pada aturan dan norma-norma yang berlaku.
5.      Fitrah kemerdekaan : fitrah ini mendorong manusia untuk selalu memilih kebebasan dan kemerdekaan dari segala bentuk perbudakan oleh sesuatu, kecuali jika dia menghendaki dan karena kecintaanya pada kebaikan.
6.      Fitrah keadilan : fitrah ini mendorong manusia untuk senantiasa berbuat adil.
7.      Fitrah persamaan dan persatuan : fitrah ini mndorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak, dan menentang segala bentuk deskriminasi etnis, ras, bahasa, dan sebagainya dan berusaha menjalin persatuan dan kesatuan.
8.      Fitrah individu : fitrah yang mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan, mempertahankan diri, menjaga keselamatan diri dan hartanya.
9.      Fitrah sosial : fitrah yang mendorong manusia untuk selalu hidup bersama, berkumpul, bekerja sama, gotong royong, saling membantu dan sebagainya.
10.  Fitrah seksual : fitrah ini mendorong manusia untuk mewariskan keturunan, menjaga nasab, dan mewariskan tugas-tugas kepada generasi selanjutnya.
11.  Fitrah ekonomi : fitrah ini mendorong manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
12.  Fitrah politik atau kekuasaan : fitrah ini yang selalu mendorong manusia untuk menyusun kekuatan untuk melindungi kepentingan bersama.
13.  Fitrah seni : fitrah yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya.
14.  Fitrah kebenaran : fitrah yang senantiasa mengarahkan manusia untuk tetap menjunjung tinggi kebenaran.
Abu Bakar dan Surohim (2005 : 26) mengatakan bahwa pontensi dasar yang dibawa manusia sejak lahir, disebut juga dengan fitrah di dalam al-Qur’an menurut Abdl Fatah Jalal adalah:
1.      Al-lams dan al-Syum (alat peraba dan penciuman), lihat kalam Allah dalam QS. al-An’am ayat 7 dan QS. Yusuf ayat 94.
2.      Al-Sam’u (alat pendengaran), lihat kalam Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 36, Al-Mu’minun ayat 78, As-Sajdah ayat 9, al-Mulk ayat 23, dan sebagainya.
3.      Al-Abshar (penglihatan), lihat QS. al-A’raf ayat 185, Yunus ayat 101, dan sebaginya.
4.      Al-‘Aql ( akal atau daya pikir), lihat QS. surat Ali Imran ayat 191, al-An’am ayat 50, dan lainnya.
5.      Al-Qalb (hati), lihat QS. al-Hajj ayat 46 dan sebagainya.
Selain beberapa fitrah yang sudah disebutkan diatas, masih banyak lagi fitrah-fitrah yang lain, yang merupakan potensi dasar bawaan manusia, dan harus dikembangkan untuk mencapai kesempurnaan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifatullah dan ‘abdullah. Menurut Ramayulis (Abu Bakar dan Surohim, 2005 : 27) fitrah sangat berharga dan harus tetap dikembangkan agar manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaan. Adapun berbagai potensi dasar atau fitrah yang dimiliki manusia sangat beragam jenisnya, tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan.
         Kesemua potensi-potensi dasar manusia tersebut diperuntukkan guna merenungkan, memahami, dan mempelajari tanda-tanda kebesaran Allah. Serta semua yang dilakukan oleh alat-alat potensial tersebut akan dipertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah.
    Konsekuensi pertanggung jawaban inilah yang mengarahkan fitrah tauhid manusia kepada aktualisasi tujuan penciptaan manusia, yakni khalifatullah dan ‘abdullah. Sebagai khalifatullah manusia bertanggungjawab mengelola bumi ini dengan baik sesuai dengan aturan-aturan Allah, maka manusia tidak akan sesuai dengan fitrahnya bila tugas-tugasnya dalam mengelola bumi tidak bersesuaian dengan hkum-hukum Allah baik dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan bernegara.
         Sebagai ‘Abdullah manusia dituntut untuk menyembah atau menuhankan Allah saja, orientasi segala amal dan perbuatan manusia seharusnya dilandasi dengan ketauhidan, yakni ikhlas kepada Allah dan menghindari segala bentuk kesyirikan dalam beramal. Manusia yang berbuat syirik akan melenceng jauh dari fitrahnya sebagai ‘Abdullah, sebab kesyirikan bisa saja membawa manusia kepada hamba harta, hamba jabatan, hamba wanita, dan hamba-hamba yang lainnya.
F.     Perbedaan Pradigma Fitrah dan Paradigma Psikologi Barat Tentang Jiwa Manusia
Uraian pada bagian sebelumnya sudah memberikan penjelasan bagaimana fitrah menurut Islam atau ilmuwan Muslim. Untuk mempertegas kembali, fitrah di dalam Islam adalah kecenderungan kepada tauhid mengenai hal ini semua ilmuwan Muslim sepakat. Sebab dalam dalil-dalil nash yang ada semua kata yang berkaitan dengan fitrah mengacu kepada tauhid, yaitu suatu keadaan hati dengan ikhlas meng-Esakan Allah sebagai tuhan dan pemelihara seluruh alam.
Tauhid merupakan akar dari segala potensi yang ada pada jiwa manusia, potensi beragama maka fitrahnya harus tauhid, fitrah sosial maka fitrahnya haruf tauhid, potensi ekonomi maka fitrahnya harus tauhid, begitu seterusnya. Jika potensi-potensi yang ada pada diri manusia berpaling dari fitrahnya, maka kondisi ini disebut gangguan mental (jiwa) di dalam Islam. Sebab jiwa yang sehat adalah jiwa yang tunduk kepada Allah (ber-Islam). Maka kebanyakan ulama mengartikan kata ‘Islam’ dengan tunduk kepada Allah. Orang Islam berarti orang yang tunduk kepada Allah.
Fitrah dalam Islam diyakini sebagai potensi yang ditanamkan pada setiap diri manusia oleh Allah sebelum kelahirannya ke dunia. Sebab di dalam kandungan ketika proses penciptaannya, Allah mengambil persaksian pada setiap jiwa manusia, yakni persaksian untuk mengakui ke-Esaan Allah. Maka setiap anak yang lahir baik itu dari orang tua yang kafir maupun orang tua yang muslim terlahir sebagai seorang Muslim. Akan tetapi, dalam proses kehidupannya di dunia ini orang tuanya bisa menjadikannya najasi, yahudi, atau nasrani tergantung apa agama orang tuanya.
Ilmuwan Muslim juga memandang fitrah di dalam diri manusia tidak berubah eksistensinya. Tapi, dalam aktualisasinya fitrah ini bisa saja berubah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an Surat Asy-Syam ayat ke 8. Bahwa Allah itu mengilhamkan ke dalam jiwa manusia itu sifat takwa dan sifat fujur. Kedua sifat ini diilhamkan Allah setelah dijelaskan pada setiap jiwa itu hakikat ketakwaan dan hakikat fujur. Maka ada ilmuwan muslim yang berpendapat bahwa fitrah itu memiliki citra asli, yaitu citra yang baik (takwa) dan citra tidak asli (yang sudah ternodai), yaitu citra yang buruk (fujur).
Walaupun Allah mengilhamkan sifat takwa (baik) dan sifat fujur (buruk) dalam jiwa manusia, namun menurut Malik B. Badri (1986 : 73) fitrah yang ada pada diri manusia tetap sebagai sifat baik yang ditanamkan Allah ke dalam setiap diri manusia. Maka di dalam konsep Islam, tidak ada pandangan yang mengatakan bahwa ada anak haram, anak kutukan (buruk bawaaan), dan sebagainya, yang ada adalah bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah baik sesuai dengan fitrahnya.
Menurut Baharuddin dan Mulyono (2008 : 91) dalam menafsirkan surat ar-Rum ayat 30 bahwa fitrah merupakan naluri beragama yang Allah berikan kepada setiap manusia, yaitu tauhid, maka bila ada manusia yang tidak beragama tauhid itu karena pengaruh lingkungan dan kesombongan dirinya. Keadaan ini berarti fitrah manusia itu mengalami perubahan dalam aktualisasinya.
Lebih lanjut, Bharuddin (2004 : 146) mengatakan bahwa fitrah merupakan identitas esensial psikis manusia, dengan identititas esensial ini manusia menjadi dirinya (Abdullah dan khalifatullah, penulis), bukan menjadi yang lain, identititas esensial ini juga yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya sejak awal kejadian sampai akhir. Semakin jelas, bahwa pernyataan Baharuddin di atas menguatkan pendapat sebelumnya bahwa fitrah terdiri dari citra asli (baik) dan citra palsu (buruk), dimana citra asli yang baik tidak akan berubah, akan tetapi dalam aktualisasinya lah terjadi perubahan menjadi citra palsu karena pengarung lingkungan dan kesombongan manusia.
Sementara itu, di dalam konsep psikologi Barat tidak mengenal konsep fitrah. Para psikolog barat memiliki berbagai pandangan yang berbeda mengenai keadaan asal jiwa manusia. Dalam teori psikoanalisis Freud, sebagai mazhab tertua dalam psikologi potensi jiwa manusia hanya dipandang sebagai motif-motif seksual yang buruk, menurut teori Freud semua perilaku manusia didasari oleh motif seksual atau keinginan untuk terpuaskan (pleasure principle). Maka Freud memandang manusia selayaknya hewan, sama sekali tidak memiliki potensi yang baik. Bahkan lebih hina dari hewan, sebab hewan masih memiliki insting untuk melindungi jenisnya dari kepunahan dan bahaya binatang lain.
Menurut Baharuddin (2004 : 283), psikoanalisis memandang manusia hanya sebatas objek dalam relasi manusia-alam, sifatnya mekanistik, dterministik, dan pesimistik. Bahkan persoalan fundamental yang sangat berperan dalam perilaku manusia menurut psikoanalisis adalan ketidaksadaran (unconsciousness), wilayah ini diyakini sebagai wilayah yang paling luas dalam mempengaruhi kepribadian manusia, ibarat gunung es yang kelihatan kecil puncaknya, tapi dibawahnya sangat besar sekali.
Lain dengan psikoanalisis Freud, mazhab psikologi yang lahir sebagai kritikan atau antitesa terhadap teori psikoanalisis Freud adalah aliran behaviorisme. Aliran behaviorisme dilator belakangi oleh filsafat empirisisme yang tokoh utamanya adalah Jhon Locke. Doktrin filsafat Jhon Locke yang terkenal adalah tentang tabula rasa atau ‘Blank Slate’. Bahwa setiap anak yang lahir seperti kertas putih yang tampa noda, artinya anak lahir tanpa membawa potensi apa-apa. Namun, anak bisa berketerampilan karena belajar dari lingkungannya. Menurut Baharuddin (2004 : 283), aliran behaviorisme sama dengan psikoanalisis Freud, memandang manusia secara mekanistik, deterministic, dan pesismistik. Lebih lanjut Baharuddin menekankan, bahwa aliran behaviorime adalam mekanistik-objektif, yaitu keyakinan mendasar terhadap fakta-fakta yang actual, konkrit, dan menyentuh wilayah empiris-sensoris dalam memahami, menginterpretasi, memformulasi, dan meprediksi tingkah laku manusia.
Pemikiran para psikolog behaviorisme sama dengan konsep tabularasa Jhon Locke. Sehingga dalam membangun teorinya pun para tokoh behaviorisme melakukan percobaan-percobaan terhadap hewan, kemudian menghasilakn teori stimulus respon (S-R). Menurut behaviorisme perilaku manusia muncul karena hasil belajar dari lingkungannya, bukan karena dorongan seksual (seperti yang dikemukakan Freud) yang ada dalam diri manusia. Manusia berperilaku karena hasil belajar dari lingkungannya, maka segala perilaku manusia didasarkan pada pengalaman hidupnya.
Untuk kedua aliran utama psikologi Barat diatas Malik B. Badri (1986 : 71) memendanganya sebagai psikologi tidak berjiwa, sebab didasari oleh filsafat positivistic yang ateis. Kedua aliran tersebut terkesan sangat materialistic dan mengesampingkan dimensi agama dan spiritual pada diri manusia.
Psikologi Barat yang hampa tersebut kemudian mulai menampakkan kepedulian terhadap agama dan spiritual meskipun masih dipengaruhi oleh dominasi aliran pendahulunya. Selanjutnya, lahir mazhab humanistik yang lebih memandang manusia sebagai diri yang baik dan mempunyai keunikan masing-masing. Namun, aliran humanistik cenderung mengedepankan sisi kemanusian manusia saja, sehingga aspek agama dan spiritual hanya tersentuh sedikit saja. Oleh karena itu menurut Baharuddin (2004 : 391) aliran humanistik terlalu optimis memandang manusia, manusia dianggap berkuasa atas segalanya terhadap dirinya dan manfikan dimensi alin yang turut membentuk dan menentukan dirinya.
Pandangan humanistik tentang manusia yang baik, berbeda dengan manusia yang baik menurut konsep fitrah dalam Islam. Individu yang baik menurut humanistic adalah manusia itu sejak lahir pada dasarnya baik. Sedangkan baik dalam konsep fitrah psikologi Islam adalah potensi yang condong kepada tauhid.
Maka, dari uraian diatas bisa difahami bahwa fitrah di dalam psikologi Islam lebih memiliki cakupan yang luas, tidak sekedar asumsi subjektivitas dan materialistik. Fitrah mencakup potensi-potensi ilahiah dan manusiawiah, agama dan spiritualitas. Jika ditelusuri lebih dalam kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan sunah, potensi-potensi jiwa di dalam al-Qur’an lebih jelas dibandingkan potensi jiwa dala pandangan psikologi Barat.
G.    Simpulan
Uraian yang penulis tulis pada bagian-bagian sebelumnya menjelaskan pokok-pokok penting tentang fitrah. Penulis telah menyarikan dari beberapa pendapat ahli tentang fitrah yang secara khusus memaknai fitrah sebagai potensi asli manusia atau keadaan awal penciptaan manusia yang belum berubah dan masih suci. Namun, dalam aktualisasinya potensi tersebut bisa berubah atau menyimpang dari fitrahnya, sebab Allah telah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia keburukan dan kebaikan.
Sementara itu, pemakaian kata fitrah dan potensi jiwa oleh beberapa ahli yang kadang kala seolah-olah sama, tapi dikondisi lain seolah-olah tampak berbeda. Menurut hemat penulis kedua istilah tersebut sama, sebab potensi jiwa merupakan bentuk dari fitrah manusia yang cenderung kepada tauhid. Sebagaimana penjelasan para ahli yang penulis kemukakan diatas tentang bentuk-bentuk fitrah manusia dalam aktualisasinya sebagai khalifatullah dan abdullah. Bentuk fitrah pun berbeda-beda, tergantung sudut pandang orang dalam melihatnya. Namun, penjelasan penulis di atas tidak menutup kemungkinan ada diskusi lain tentang fitrah. Sehingga konsep fitrah akan tetap menjadi diskusi ilmiah yang menarik untuk dibicarakan.
Mengenai perbedaan paradigm fitrah dan paradigm psikolog barat dalam memandang jiwa manusia, jelas sekali terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Dalam paradigm fitrah manusia dipandang sebagai Abdullah dan khalifatullah, Abdullah adalah potensi ilahiah, sedangkan khalifatullah adalah potensi sosio-humanistik. Maka dalam psikologi Islam manusia bukanlah makkhluk mekanisik, deterministik, dan pesimistik sebagaimana anggapan psikoanalisis dan behaviorisma, atau makhluk yang bebas nilai dan berkuasa penuh atas dirinya sebagaimana pandangan humanistik. Namun, dalam psikologi Islam dengan paradigm fitrahnya manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi tauhid dan esensi psikisnya adalah baik, selain itu manusia dan hidupnya juga ditentukan oleh dimensi ilahiah. Wallahu ‘alam





H.    Daftar Pustaka
Adz Dzaky, H.B. (2008. Konseling dan Psikoterapi Islam. Yogyakarta : Al-Manar.
Al-Mubarakfuri, S. (2014). Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 9 : Juz 28-30. Jakarta : Ibnu Katsir.

Badri, M.B. (1986). Dilema Psikologi Muslim. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Baharuddin. (2004). Paradigma Psikologi Islami : Studi tentang elemen psikologi dari al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Baharuddin dan Mulyono. (2008). Psikologi Agama Dalam Persfektif Islam. Malang : UIN Malang Press.

Bakar, U.A dan Surohim. (2005). Gungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam : Respon kreatif terhadap undang-undang Sisdiknas. Yogyakarta : Safiria Insania Press.

Mujahid. (2005). Konsep Fitrah dalam Islam dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 2, No. 1 tahun 2005.

Mujib, A. (2007). Kepribadian Dalam Psikologi Islam. Jakarta : Rajawali Perss.

Purwoko, S.B. (2012). Psikologi Islami : Teori dan penelitian. Edisi ke 2. Bandung : Saktiyono Wordpress.


Rahman, Z, Abd. (2012). The Role of Fitrah as an Element in The Personality of a Da’i in Achieving The Identity of a True Da’i. International Jurnal of Business and Social Science. Vol 3, No. 4, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate