Oleh : Syahri
Ramadhan, S.Psi
Manusia
adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, yaitu bentuk
yang sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya (Surat At-Thin : 4).
Maka manusia diberi amanah untuk menjadi khalifah di Bumi. Untuk mengemban
amanah kekhalifahan tersebut Allah memberikan kepada manusia potensi-potensi
kepemimpinan, yaitu berupa ruh, akal, dan nafsu. Ketiga potensi ini diberikan
kepada manusia untuk menjadi khalifah Allah di Bumi, berbuat kebaikan-kebaikan
dalam berinteraksi dengan seluruh makhluk Allah di Bumi ; hewan, tumbuhan, air,
udara, tanah, api dan sebagainya. Tapi, tetap ada saja manusia yang berbuat
kerusakan di permukaan Bumi (Surat Al-Baqarah : 11-12), sehingga keseimbangan
alam terganggu dan menyebabkan bahaya bagi manusia.
Fungsi
kekhalifahan akan berjalan sesuai titah Allah, jika manusia taat kepada peintah
Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Manusia harus menjalani kehidupan di
muka Bumi ini sesuai dengan amanah yang Allah tetapkan di dalam syari’atnya,
yaitu Dienul Islam. Sedikit saja manusia menyimpang dari syari’at Allah maka
keberlangsungan hidup manusia di muka Bumi akan terganggu baik zahir
(fikik/jasadiah) atau bathin (psikis/ruhaniah). Kerusakan akan terjadi di muka
Bumi, apakah itu kurasakan alam, kerusakan moral-social, kerusakan ekonomi,
kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sebagainya.
Allah menciptakan manusia (Adam)
sebagai khalifah di muka Bumi (Surat Al-Baqarah : 30). Tujuan penciptaan
manusia ini difirmankan Allah kepada Malaikat. Makaikat menjawab “mengapa
Engkau (Allah) menciptakan khalifah di Bumi itu orang yang berbuat kerusakan
dan pertumpahan darah?”, namun, Allah Maha Mengetahui dari para Malaikat. Allah
mengajarkan manusia nama-nama benda-benda, sedangkan Malaikat tidak mampu
menyebutkannya (Surat Al-Baqarah : 31). Maka Allah Maha Hakim (menciptakan
sesuatu sesuai dengan sifat, guna, dan faedahnya).
Manusia yang mampu menjalankan
fungsi-fungsi kekhalifahan adalah manusia yang memiliki ketaatan kuat (haqqa tuqaatihi), yang memiliki
kedekatan dengan Allah, sehingga selalu merasa diawasi oleh Allah (muraqabah), yang cinta kepada Allah (mahabbah ilallah), yang hatinya (qalb) selalu menghadirkan Allah dalam
setiap aktifitas gerak lahir dan batin, sehingga dia memiliki jiwa yang tenang
(nafs al- muthma’innah). Mereka
adalah manusia yang ridho kepada Allah dan Allah ridho kepada mereka. Mereka
dipanggil-panggil oleh Allah untuk masuk ke golongan para hamba-Nya dan menjadi
penghuni surga yang telah disediakan Allah (Surat Al-Fajr : 28-30).
Ada juga manusia yang kadang-kadang
mampu menjalankan fungsi kekhalifahan, tapi kadang-kadang mereka menyimpang
dari fungsi kekhalifahan itu. Mereka adalah kelompok yang memiliki jiwa yang “galau”,
penuh keragu-raguan, kadang mudah tergoda oleh kenikmatan maksiat dunia. Namun,
di suatu waktu mereka mampu menahan diri dari godaan dunia. Di dalam Al-Alqur’an
Allah menyebut mereka dengan nafs al-Lawwamah (Surat Al-Qiyamah : 2), yaitu
jiwa-jiwa yang penuh penyesalan. Jiwa lawwamah
berada diantara dua natur, yaitu jiwa muthma’innah
dan jiwa ammarah. Jiwa ammarah yaitu
jiwa yang paling rendah, yang penuh dengan ambisi-ambisi duniawi sehingga
meninggalkan keutamaan-keutamaan ukhrawi. Disebabkan natur itulah, maka menurut
Abdul Mujib (baca :Psikologi Kepribadian Islam) jiwa lawwamah akan bermuara kepada tiga kemungkinan.
Pertama,
ia akan tertarik dengan watak gelapnya, sehingga ia akan tetap dalam kualitas
rendahnya, dalam hal ini berkoalisi dengan hawa nafsu. Menurut al- Ghazali,
akal yang tertahan oleh syahwat dan ghadab
akan menyebabkan al-intikas (jungkir-balik), pada hal seharusnya akal mampu
menahan syahwat dan ghadab. Kedua, ia akan tertarik oleh nurani,
sehingga ia bertaubat dan berusaha memperbaiki kuaitasnya, dalam hal ini ia
berkoalisi dengan qalbu. Ketiga, ia
berada dalam posisi netral. Artinya, perbuatan yang diciptaan tidak bernilai
baik atau buruk, tapi berguna bagi kelestarian eksistensi duniawi sebagaimana
pemahaman orang-orang humanism.
Terakhir ada jenis manusia yang
tidak mampu menjalankan fungsi kekhalifahan, karena mereka sibuk dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hawa nafsu, mereka cenderung pada tabiat jasad
dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan atau pemuasan (pleasure principle). Jiwa mereka
didominasi oleh kemauan hawa nafsu, sehingga kecenderungan hawa nafsu yang
memiliki naluri primitive menjadi sumber-sumber keburukan dan kejelekan akhlak
mereka. Allah berkalam di dalam Al-Qur’an tentang hawa nafsu, yaitu nafsu
selalu menyerukan kepada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang di rahmati oleh
Allah (Surat Yusuf : 53).
Antara jiwa muthma’innah, jiwa lawwamah,
dan jiwa ammarah memiliki perbedaan
yang mendasar, yaitu perbedaan dalam mendayagunakan potensi-potensi
kekhalifahan. Perbedaan itu menjadi jurang pemisah manfaat akhlak antara
ketiganya. Jiwa muthma’innah adalah
jiwa yang memiliki natur ilahiah yang dominan potensi ruh, kebaikan-kebaikan
akhlak dan perilaku berasal dari jiwa muthma’innah.
Motivasi ibadanya adalah menggapai ridho Allah, sehingga segala cara dalam
ibadahnya adalah sesuai dengan syari’at Allah. Sedangkan jiwa lawwamah jiwa yang penuh penyesalan,
tidak ada kepastian dalam hidup, sering ragu dengan motivasi dan tujuan hidup. Jiwa
lawwamah didominasi oleh natur akal, sehingga dia diperbudak oleh akal, baginya
kebaikan adalah segala sesuatu yang benar menurut akal. Hal yang tidak masuk
akal maka diragukan sebagai suatu kebenaran, inilah yang menyebabkannya selalu
ragu dan bimbang antara menerima kebenaran ilahiah
yang abstrak atau kebenaran logika yang berdasarkan fakta dan realita. Sedangkan
jiwa yang paling rendah adalah jiwa ammarah
yang dikuasai oleh hawa nafsu, jiwa yang dipenuhi naluri-naluri primitif yang
selalu menuntut kepuasan jasad. Orientasinya adalah kenikmatan dunia, sama
sekali tidak berfikir tentang kehidupan akhirat, karena sudah terlena dengan
gemerlapnya dunia.
Wallahu
‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar