Cari Blog Ini

Minggu, 07 Juli 2013

Penentuan Awal Ramadhan dan Larangan-Larangan Padannya



Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi


A. Penentuan awal Ramadhan

Beberapa tahun belakangan ini berbagai permasalahan seputar penentuan awal ramadhan dan hari raya Iedul Fitri terjadi di negeri ini. Berbagai kelompok internal umat Islam memiliki persfektif masing-masing dalam menentukan awal Bulan Ramadhan, sehingga yang terjadi adalah perbedaan pelaksanaan awal puasa Ramadhan di kalangan umat Islam, terutama di Indonesia.


Fenomena ini kemudian banyak ditafsirkan para tokoh agama atau kalangan ulama sebagai bentuk perpecahan umat Islam di Indonesia. Tentu pandangan ulama ini bukan hanya isapan jempol belaka. Banyak fakta-fakta kongkrit yang mengarah pada perpecahan umat Islam di zaman ini. Penentuan awal Bulan Ramadhan hanya salah satu contoh dari sekian banyak fenomena perbedaan yang ada. Sebut saja sekarang di Indonesia kita umat Islam dibelah menjadi dua belahan besar antara kelompok besar Nahdhatl Ulama dan Muhammadiyah, yang sejatinya dahulu bukanlah berbau ideologi hanya organisasi pergerakan Nasional umat Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan. Namun, tidak bisa kita pungkiri, belakangan ini perbedaan idealisme antara kedua kelompok ini sangat kentara. Bisa dirasakan, dilihat, dan nyata dalam kehidupan uma Islam di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan kelompok-kelompok kecil lainnya yang memiliki nama, isme, dan ciri khas tersendiri. Kemudian menjadikan kita dengan mudah memebadakan antara satu dengan yang lainnya. Sebut saja Salafi, Hizbut Tahrir Indonesi (HTI), Persis, dan masih banyak yang lainnya. Pertanyaannya bisakah umat Islam bersatu menjadi ummatan wahidah walaupun memiliki pemahaman yang berbeda, setidaknya ini bisa diwujudkan dalam penentuan awal dan akhir Bulan Ramadhan (Satu Syawal)?




Dalam penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Satu Syawal para ulama menggunakan dua metode, yaitu metode Ru'yatul Hilan (melihat bulan) dan Hisab (hitung). Dimana metode ini juga dilakukan semasa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam hidup. Ini tergambarkan dalam sabda beliau :


وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: ( فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ ) . وَلِلْبُخَارِيِّ: ( فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ )


"Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari." Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari." (Muttafaqun 'Alaih).

Hadis di atas menjelaskan bahwa penentuan awal Bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan (ru'yatul hilal), kata rasulallah "apabila engkau melihat bulan maka shaumlah (berpuasalah)" dan penentuan satu syawal atau Iedul fitri juga dengan metode yang sama "apabila engkau melihat bulan maka berbukalah (berhar rayalah / Iedul fitri). Namun, jika ru'yatul hilal tidak bisa dilakukan dengan sebab tertentu, misalnya terhalang kabut sehingga hilal tidak kelihatan. Maka kata Nabi "jika awan menutupi kalian maka "faqduruu" atau perkirakanlah" dalam riwayat Muslim dikatakan "maka perkirakanlah tiga puluh hari" sedangkan dalam riwayat Bukhari "maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari". Maksudnya adalah, jika mata kita terhalangi awan dari melihat hilal, maka genapkanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari dan berpuasalah pada hari setelah tanggal tiga puluh Sya'ban (satu Ramadhan).

Dari Abu Hurairah ra :


وَلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ )


Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah: "Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban 30 hari." (Shahih)

Pemahaman lain yang bisa kita ambil dari hadis ini adalah metode utama dalam penentuan awal bulan Ramadhan adalah dengan ru'yatul hilal, kemudian metode pendukung (kedua) adalah hisab. Mengapa demikian, karena rasulallah sendiri memerintahkan kaum muslimin berpuasa setelah hilal terlihat, bukan dengan hisab (menghitung). Hisab digunakan kalau hilal tidak bisa terlihat. Esesnsinya Ilmu hisab merupakan metode yang bisa membantu kita dalam menentukan kapan ru'yatul hilal bisa dilaksanakan, sehingga memudahkan umat Islam dalam menentukan awal dan akhir Bulan Ramadhan. Walaupun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hisab dan ru'yatul hilal sejajar dan bisa digunakan ke dua-duanya dengan alasan bahwa pada zaman Nabi ilmu hisab belum sebaik sekarang ini, sehingga cenderung menggunakan metode ru'yatul hilal.

Berikut hadis-hadis dari jalu periwayatan lain yang menguatkan penjelasan di atas :

1. Hadis Ibnu Umar ra.


وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ 


"Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Orang-orang melihat bulan sabit, lalu aku beritahukan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum". Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban.


2. Hadis Ibnu Abbas ra.


وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ( إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: " أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا" ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ


Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah." Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sesang Nasa'i menilainya mursal


B. Larangan-Larangan Sepuatar Awal Ramadhan

1. Larangan mendahuli berpuasa satu atau dua hari menjelang ramadhan atau lebih dari itu. sengaja berpuasa dengan niat persiapan mengahadapi Ramadhan. Namun, jika puasa itu sudah biasa dilakukan, maka boleh berpuasa (puasa senin kamis, atau puasa Daud).

Dalilnya ada pada riwayat Abu Hurairah ra.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه


Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau mendahului Ramadhan dengan shaum sehari atau dua hari, kecuali bagi orang yang terbiasa shaum, maka bolehlah ia shaum." Muttafaq Alaihi.


2. Larangan berpuasa pada hari syak (yaitu hari yang diragukan tentang awal ramadhan, tidak memiliki keyakinan yang kuat tentang bukti-bukti yang menunjukkan bahwa hari itu adalah awal ramadhan, misal belum terlihatnya hilal)

Dalilnya ada pada riwayat Ammar Ibnu Yasir ra.


وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم ) وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ


Ammar Ibnu Yasir Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa shaum pada hari yang meragukan, maka ia telah durhaka kepada Abdul Qasim (Muhammad) Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Hadits mu'allaq riwayat Bukhari, Imam Lima menilainya maushul, sedang Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menilainya hadits shahih.

Lalu, bagaimana dengan kebiasaan-kebiasaan lain yang banyak dilakukan manusia, seperti sengaja mandi besar untuk menyambut bulan ramadhan, sengaja ziarah kubur khusus menjelang bulan ramadhan, nyadranan, kekhususan minta maaf kepada semua orang menjelang Ramadhan, dan lain-lain. Maka hati-hatilah dalam beramal, terutama dalam masalah ibadah. Pada asalnya hukum ibadah adalah haram, kecuali ada dalil-dalil syar'i yang memerintahkannya. dahulukanlah ilmu sebelum beramal. Agar kita terjauhkan dari dosa-dosa bid'ah.

Wallahu A'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate