Penulis: Syahri Ramadhan, S.Psi
Pendahuluan
Agama merupakan salah satu factor eksternal
yang mempengaruhi kondisi psikologis manusia. Manusia
memiliki kecendrungan untuk mengakui bahwa ada kekuatan yang Maha Dahsyat di
luar dirinya yang dibahasakan dengan nama spiritual. Hardjana (2005, 24-25)
mengatakan bahwa sifat spiritual paling tampak pada sifat transendennya.
Transenden berarti mengatasi atau melampaui, hal baru yang belum ada dalam
tahap hidup sebelumnya, hal yang demikian baru atau tinggi sehingga ada diluar
segala hal yang pernah dijumpai dalam hidup sampai saat ini. Dengan sifat
transendennya manusia jadi terbuka. Terbuka berarti bahwa dalam diri manusia
tersedia ruang, terdapat dorongan, dan ada kemampuan untuk diisi dan dipenuhi
oleh sesuatu. Berkat keterbukaannya, manusia memiliki kemungkinan, dorongan,
dan kemampuan untuk mengerti, menerima, dan mencapai hal yang melampaui diri
dan dunianya. Kemudian Hardjana (1995, 14-15) manusia beragama didorong oleh beberapa
faktor utama, yaitu mendapatkan keamanan, mencari perlindungan dalam hidup,
menemukan penjelasan atas dunia serta segala yang termaktub di dalamnya,
memperoleh pembenaran atas praktik-praktik hidup yang ada, dan meneguhkan tata
nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat, serta memuaskan kerinduan hidup.
Unsur penciptaan manusia itu sendiri terdiri dari ruh dan jasad.
Nashori (2005, 23-24) mengatakan bahwa ruh yang ada di dalam diri manusia
merupakan ruh ilahi (the spirit of god).
Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi.
Dengan adanya ruh ilahi ini manusia memiliki potensi-potensi ketuhanan dalam
dirinya. Maksudnya, dalam diri manusia melekat sifat-sifat dasar atau
potensi-potensi dasar sebagaimana yang dimiliki Allah. Kecendrungan manusia
untuk bertuhan dan memiliki potensi spiritual jelas tergambarkan di dalam
firman Allah Surat Al-A’araf [7] ; 172 :
“Dan ingatlah ketika tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbinya dan Allah mengambil
kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (QS. Al-A’araf [7] : 172).
Kondisi spiritual seseorang akan terlihat dalam kehidupan agamanya (religiousitas), menurut Hardjana religiousitas yaitu perasaan dan
kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Allah, karena manusia
telah mengenal serta mengalami kembali Allah, dan percaya kepada-Nya (Faoziyah,
2010, 24). Kemudian menurut Jalaluddin (2003, 69) mengatakan bahwa dorongan
keberagamaan merupakan faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa
seseorang akan menjadi sosok penganut agama yang taat, sepenuhnya tergantung
dari pembinaan nilai-nilai agama oleh kedua orang tuanya. Rasulallah saw.
bersabda:
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah saw bersabda: “Tiada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka
kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. (HR.
Muslim).
Perkembanngan religious seseorang bisa dipengaruhi oleh faktor internal
(dirinya sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan dan pengalamannya). Sehingga
proses internalisasi nilai-nilai agama ini akan membentuk dinamika keberagamaan
seseorang. Maka tidak jarang orang yang biasanya tidak religious menjadi religious,
atau sebaliknya orang yang biasanya religious tiba-tiba menjadi tidak
religious. Bahkan sebagian diantara mereka mengalami religious doubt (keraguan dalam beragama) dan religious conversion (perubahan keyakinan). Sebagaimanan yang
diungkapkan Anshari (1991, 39-40) bahwa munculnya religiousitas karena terdapat
sumber penyebab yaitu dari dalam diri manusia, apakah itu bersumber dari
perenungan (philosofis) atau dari
keimanan/keyakinan (theologis) atau
juga dari mekanisme psikis (psychologis).
Sumber utama dari mekanisme psikis ada kemungkinan mendapat pengaruh-pengaruh
dari luar atau lingkungan.
Anshari menambahkan bahwa perubahan kadang-kadang sering terjadi dalam
religiousitas yang disebabkan oleh adanya perubahan kondisi psikis seseorang (religious consciousness) dan sebaliknya
ada kemungkinan kondisi psikis akan berubah sedemikian rupa karena pengalaman
religious (religious experience).
Religiousitas ternyata bergerak secara dinamis sesuai dengan dinamika psikis
dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan, bahkan keyakinan pun juga akan
berubah secara dinamis pula. Dari sinilah kita akan melihat adanya satu
mekanisme yang saling bertaut satu dengan yang lainnya. Secara teoligis orang
yang memiliki keimanan yang mantap terhadap Tuhan, maka perubahan-perubahan dan
dinamika psikis yang terjadi tidak akan keluar dari garis-garis baku yang ada
dalam lingkup wawasan iman yang dimiliki, sehingga perubahan-perubahan dalam
religiousitasnya senantiasa mengarah pada peningkatan bobot dan kualitas dan
kalau toh terjadi perubahan iman akan mengarah kepada iman yang semakin kuat
dan mantap. Tetapi, bagi orang yang belum memiliki iman yang mantap maka
perubahan tersebut mengarah kepada dua kemungkinan, yaitu semakin berbobot dan
berkualitas religiousitasnya dan semakin kuat dan mantap. Namun, bukan suatu
hal yang mustahil apabila terjadi sebaliknya bahkan kemungkinan terjadi
konversi. Kemungkinan terakhir inilah yang banyak terjadi pada mualaf.
Menurut Clark (dalam Darajat, 2005, 160) konversi agama (religious conversion) adalah suatu macam
pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang
cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran agama dan tindak agama. Lebih jelas
dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan suatu perubahan emosi yang
tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah terjadi, yang
mungkin saja sangat mendalam atau dangkal. Dan mungkin pula terjadi perubahan
tersebut secara berangsur-angsur.
Para psikolog agama berpendapat bahwa terjadinya konversi agama
merupakan suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang memberi
pengertian adanya perubahan arah yang sangat berarti dalam sikap terhadap
ajaran agama ataupun dalam tingkah laku agama. Konversi agama menunjukan adanya
suatu perubahan emosi secara mendadak (tiba-tiba/eksplosif), bisa bersifat
sangat mendalam atau dangkal saja. Dan perubahan emosi tersebut bisa terjadi
secara bertahap (Anshari, 1991, 13).
Fenomena mualaf merupakan salah satu bukti adanya dinamika religious
pada seseorang. Dimana proses internalisasi nilai-nilai agama terus berkembang
dari fase ke fase secara dinamis. Mualaf (orang yang masuk Islam) memiliki
alasan masing-masing untuk memilih memeluk Islam. Sehingga realita menunjukan
adanya perbedaan tingkat religiousitas pada mualaf. Misalnya di antara mereka
ada yang berusaha memahami dan mengamalkan syari’at Islam secara
sungguh-sungguh. Namun, ada juga yang hanya sekedar masuk Islam, tapi mereka
tidak memahami dan mengamalkan syari’at Islam dengan sungguh-sungguh.
Konversi Agama
1.
Pengertian
Religiusitas berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama, kesalehan,
jiwa keagamaan. Henkel Nopel (dalam Ihsanudin 2007, 6) mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan,
tingkah laku keagamaan, karena religiusitas berkaitan erat dengan segala hal
tentang agama.
Sedangkan menurut Susilangsih (dalam makalah Psikologi Agama, 2010) Religiousitas adalah
Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia yang terbentuk melalui proses
internalisasi nilai-nilai agama semenjak usia dini. Religiusitas akan terbentuk
menjadi kristal nilai pada akhir usia anak dan berfungsi
pada awal remaja. Kristal nilai yang terbentuknya akan berfungsi menjadi
pengarah sikap dan perilaku dalam kehidupannya.
Menurut Clark (dalam Abdullah, 2006, 89-90) religious conscience adalah the
inner experience of the individual when he senses a Beyond, especieally as
evidenced by the effect of this experiencec on his behaviour when he actively
attemps to harmonize his life with the Beyond (religious concience adalah pengalaman batin dari seseorang ketika
dia merasakan adanya Tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti
dalam bentuk perilaku, yaitu ketika dia secara aktif berusaha menyesuaikan
hidupnya dengan Tuhan).
2.
Dimensi - dimensi religiusitas
Konsep tentang adanya dimensi Rasa keagamaan
memberi pengertian bahwa kehidupan keagamaan memiliki beberapa sisi. Menurut Glock (dalam Abdullah 2006, 90-93) menyebutkan ada lima (5) macam dimensi komitmen keberagamaan,
yaitu ritualistic, idiological,
experiental, intelectual, dan qoncequetial. Kemudian Verbit (dalam Abdullah
2006, 91) setuju dengan konsep lima dimensi itu, namun dia menambahkan satu
dimensi lagi, yaitu dimensi community.
Secara rinci dimensi-dimensi rasa agama dapat diutarakan sebagai berikut:
a.)
Religious believe (the ideological/doctrine commitment)
Dimensi rasa percaya yang mengukur seberapa
jauh seseorang mempercayai doktrin-doktrin agamanya, misalnya tentang
keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, ajaran-ajaranNya, takdirNya. Kepercayaan
kepada Tuhan dan sifat-sifatNya merupakan inti pokok dari adanya rasa agama.
Kemudian rasa percaya kapada ajaran-ajaran Tuhannya dapat digunakan untuk
mengukur kemendalaman dari rasa percaya itu. Misalnya percaya tentang kepada
ajaran tentang ajaran kewjiban peribadatan, moral, keadaan kehidupan setelah
mati.
b.)
Religious practice (the ritualistic commitment)
Dimensi peribadatan yang mengukur seberapa
jauh seseorang melaksanan kewajiban peribadatan agamanya, misalnya tentang
salat, puasa, dan ibadah wajib lainnya dalam Islam. Khusus untuk pengukuran
dimensi ini difokuskan pada pelaksanaan lima (5) rukun Islam, sementara
pelaksanaan ibadah sunnah dapat dimasukkan untuk pengukuran dimensi lain, yaitu
religious feeling. Sering kali
pengukuran peribadatan dapat terjebak dalam pengukuran rutinitas ibadah.
c.)
Religious feeling (the experiental/emotion commitment)
Dimensi perasaan mengukur seberapa dalam
(intensif) rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini bisa disebut sebagai esensi
keberagamaan seseorang, esensi dimensi transendental, karena dimensi ini
mengukur kedekatannya dengan Tuhannya. Pengukuran pada dimensi ini dapat
menguatkan pengukuran pada dimensi ibadah. Pengukuran dimensi perasaan dapat
dilaksanakan dengan mengamati seberapa sering seseorang merasa doanya diterima,
merasa selalu dilihat Tuhan, merasa selalu dekat dengan Tuhan. Bagi orang Islam
indikator dalam perilaku dapat diamati pada seberapa sering (keaktifan) dalam
menjalankan ibadah sunnah, kekhusukan dalam beribadah, kemendalaman doa,
berbaik sangka kepada Allah dan ikhlas menerima segala takdir Allah, dan
sebagainya. Dimensi ini akan sangat berasa dampaknya pada orang-orang yang
mengalami konvensi agama.
d.)
Religious knowledge (the intelektual commitment)
Dimensi pengetahuan atau intelektual
mengukur intelektualitas keberagamaan seseorang. Dimensi ini mengukur tentang
seberapa banyak pengetahuan keberagamaan seseorang, dan seberapa tinggi
motivasi dalam mencari pengetahuan tentang agamanya. Dimensi ini juga mengukur
sifat dari intelektualitas keagamaan seseorang, apakah bersifat tertutup (tekstual, doctrinel) ataukah terbuka (kontekstual). Dimensi ini juga dapat
untuk mengkur sikap toleransi keagamaan seseorang, baik intern agama (terhadap
berbagai pendapat golongan dalam agamanya) atau antar agama (terhadap ajaran
lain).
e.)
Religious effects (the concequqntial/ethics commitment)
Dimensi etika atau moral mengukur tentang
pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang tidak terkait dengan
perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan kesadaran moral seseorang,
baik yang terkait dengan moral dalam hubungannya dengan orang lain. Bagi orang
Islam pengukuran dimensi etika dapat diarahkan pada ketaatannya terhadap ajaran
halal dan haram (makanan, umber pendapatan, hubungan laki-laki dan perempuan),
serta hubungan dengan orang lain (baik sangka, agresif, menghargai,
memuliakan).
f.)
Community (social commitment)
Dimensi sosial mengukur
seberapa jauh seorang pemeluk agama terlibat secara sosial pada komunitas
agamanya. Dalam Islam dimensi ini dapat disebut sebagai pengukuran terhadap
kesalehan sosial. Dimensi kesalehan sosial dapat digunakan untuk mengukur
konteribusi seseorang bagi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, baik berwujud
tenaga, pemikiran, maupun harta.
Keenam dimensi
keberagamaan ini bisa menjadi dasar dalam mengetahui perkembangan dan rasa
keagamaan yang dimiliki seseorang. Hal ini karena enam
dimensi ini adalah bentuk ekspresi dari keagamaan seseorang berdasarkan pada
aspek-aspek dalam keberagamaan.
3.
Perkembangan religiusitas
Tahap-tahap perkembangan rasa agama menurut
susilaningsih (makalah disampaikan pada pekuliahan Psikologi Agama, 2010)
adalah:
Pertama, tahap pembentukan adalah tahap dimana masuk dan mengkristalnya
nilai-nilai agama, berupa nilai-nilai dasar, dan ditunjukan dengan adanya
tugas-tugas keagamaan, tahap ini berada pada usia anak.
Para ahli psikologi dari berbagai mazhab,
seperti psikoanalisis, behavioris, dan humanis sepakat bahwa pada masa bayi dan
masa kanak-kanak awal amatlah penting dan membawa pengaruh yang terbawa terus
dalam struktur kepribadian. Sebab menurut Gleason (Crapps, 1994, 14)
unsur-unsur keagamaan mendasar tertanam pada masa tahap-tahap awal pertumbuhan
Psikososial dan keparalelan antara tugas psikososial dan konsep religious
sangat penting. Crapps (1994, 14) mengatakan bahwa dalam pengalaman hubungan
antar pribadi dengan keluarga, anak
belajar pertama kali isi emosional iman religious. Pengalaman tentang konsep
agama awal ini lebih berpengaruh ketimbang pendidikan agama yang sadar
dikemudian hari.
Menurut Jalaluddin (2003, 70-73) ada
beberapa sifat-sifat agama pada masa kanak-kanak, yaitu bersifat unreflektive (tidak mendalam), anthromorphis (konsep ketuhanan yang
menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan), imitative
(diperoleh melalui meniru), verbalis-ritualis
(belajar mengucapkan kalimat-kalimat keagamaan dan kebiasaan), rasa heran
(keheranan secara lahiriah saja). Hal tersebut senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Ramayulis (2007, 54-58).
Kedua, tahap pengembangan adalah tahap dimana mulai berfungsinya nilai-nilai
dasar keagamaan kedalam konteks kehidupan dan pemaknaan nilai-nilai agama yang
akan memberi rasa aman sebagai solusi kegoncangan jiwa, tahap ini berada pada
usia remaja. Menurut Ramayulis (2007, 58) tahap perkembangan masa remaja menduduki
tahap progresif yang mencakup masa: Juvenilitas
(adolescantium), pebertas, dan nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan
rohaninya, maka agama bagi remaja mengikuti perkembangannya itu. Maksudnya
penghayatan dan tindakan keagamaan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan
perkembangannya itu.
Menurut W. Starbuck (Jalaluddin, 2003,
74-77) perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan
jasmani dan rohaninya, perkembangan itu antara lain adalah:
a.
Pertumbuhan
Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang
diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik lagi bagi
mereka. Sifat kritis terhadap ajaran-ajaran agama mulai timbul. Selain masalah
agama mereka juga tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan
norma-norma kehidupan lainnya.
Pada masa remaja sifat kognitifnya berubah,
dimana pada masa kanak-kanak mereka menerima nilai-nilai agama secara kongkrit,
namun pada masa remaja mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai kongkrit
tersebut karena pola kognitif mereka berkembang ke arah nilai-nilai yang
sifatnya abstrak. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang
dikemukakan oleh Piaget (dalam Rochmah, 2005, 57-58) bahwa ada empat fase
perkembangan kognitif, yaitu:
1.
Fase sensori
motorik, yaitu aktivitas kognitif yang didasarkan pada pengalaman langsung
panca indera. Aktivitas belum menggunakan bahsa, sedangkan pemahaman
intelektual muncul di akhir fase ini.
2.
Fase
praoperasional, yaitu anak tidak lagi terikat pada lingkungan sensori, kesanggupan
menyimpan informasi semakin besar. Anak suka meniru orang lain dan mampu
menerima khayalan dan suka bercerita tentang hal-hal yang fantastis.
3.
Fase operasi
kongkrit, yaitu anak mulai berfikir logis, bentuk aktivitas dapat ditemukan
dengan peraturan yang berlaku. Karena anak masih berfikir harfiah sesuai dengan
tugas-tugas yang diberikan padanya.
4.
Fase
operasional formal, yaitu anak telah mampu mengembangkan pola-pola berfikir
formal, logis, rasional, bahkan abstrak, mampu menangkap arti simbolis, kiasan,
dan menyimpulkan suatu berita, dan sebagainya.
Menurut hasil penelitian Allport, Gillesphy,
dan Young (Jalaluddin, 2003, 74-75) menunjukan bahwa agama yang ajarannya
bersifat lebih konservatif lebih banyak mempengaruhi remaja untuk tetap taat
pada ajaran agamanya.
b.
Perkembangan
Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa
remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati
perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religious akan
cenderung mendorong dirinya ke arah yang religious pula. Sebaliknya remaja yang
kurang mendapatkan siraman ajaran agama akan cenderung dikuasai oleh nafsu
seksualnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Dr. Kinsey (dalam Jalaluddin,
2003, 75 yang mengungkap bahwa 90% remaja di Amerika telah mengenal homoseks
dan onani.
c.
Perkembangan
sosial
Corak keagamaan pada remaja juga ditandai
dengan adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul
konflik antara pertimbangan moral dan material.
d.
Perkembangan
Moral
Perkembangan moral pada remaja bertitik
tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi. Tipe moral yang
terlihat pada remaja juga mencakupi:
1.
Self-directive, taat terhadap
agama atau moral berdasarkan pertimbangan peribadi.
2.
Adaptive, mengakui situasi
lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.
Submissive, merasakan adanya
keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4.
Unadjusted, belum meyakini akan
kebenaran ajaran agama dan moral.
5.
Deviant, menolak dasar dan hukum
keagamaan serta tatanan moral masyrakat.
e.
Sikap dan
Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah
keagamaannya boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan
masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil
minatnya).
f.
Ibadah
Bagi sebagian remaja ibadah merupakan hal
sepele. Ini bisa dilihat dari ketaantan mereka dalam menjalankan ibadah
sehari-hari.
Pada masa remaja dikenal sebagai usia rawan
akan agama yang mereka terima. Remaja akan mengalami kehidupan batin yang
terombang-ambing (strum and drang).
Untuk mengatasi kemelut batin itu. Maka seyogyanya mereka memerlukan bimbingan
dan pengarahan. Para remaja memerlukan tokoh pelindung yang mampu diajak
berdialog dan berbagi rasa (Jalaluddin, 2003, 81).
Dari hasil analisis penelitiannya W.
Starbuck (Ramayulis, 2007, 61-63) menemukan penyebab timbulnya keraguan dan
kebimbangan itu antara lain:
1.
Kepribadian,
yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
a.
Bagi seorang
yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan
pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat-sifat Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
b.
Perbedaan
jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan
agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat
menunjukan keraguan daripada pria. Tetapi sebaliknya dalam kualitas dan
kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping itu keraguan
wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.
2.
Kesalahan
organisasi keagamaan dan pemuka agama
Pertentang-pertentangan yang terjadi didalam
organisasi keagamaan dan tindak-tanduk pemuka agama yang jauh menyimpang dari
nilai-nilai agama akan menimbulkan keraguan pada remaja.
3.
Pernyataan
kebutuhan manusia
Manusia memiliki sifat conservative (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu).
Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia,
karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong
untuk mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang
sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul kerguan.
4.
Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa dengan tradisi
keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterima
atau dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan akan ragu dengan
ajaran-ajaran yang ada di dalam Islam. Namun, keraguan ini ada yang menimbulkan
rasa penasaran dan kemudian mereka berusaha mencari kebenaran dengan
memperbandingkan kedua ajaran tersebut. Maka tidak tertutup kemungkinan mereka
pindah agama.
5.
Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang
sesuai dengan tingkat pendidikan yang ia miliki akan membawa pengaruh sikap
terhadap ajaran agamanya. Terutama yang mengandung ajaran yang bersifat dogmatis.
Apalagi adanya kemampuan mereka menafsirkan ajaran agamanya.
6.
Percampuran
agama dan mistik
Para remaja merasa ragu untuk menentukan
antara agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangn masyarakat kadang secara
tak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktek
kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur
bagi para remaja.
Keragu-raguan yang demikian itu akan
menjurus ke arah konflik dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan
kepada masalah pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk dan antara yang
benar dan yang salah. Beberapa bentuk konflik yang terjadi antaranya:
a.
Konflik yang
terjadi sebagai antara percaya dan ragu.
b.
Konflik yang
terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan
serta lembaga keagamaan.
c.
Konflik yang
terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau jauh dari agama.
d.
Konflik yang
terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang
didasarkan petunjuk ilahi.
Ketiga, tahap dinamik adalah tahap pematangan dan mulai berpengaruhnya
nilai-nilai agama dalam conscience
pada seluruh aspek kehidupan (agama sebagai “Way of Loife”), tahap ini berada pada usia dewasa. Menurut Sujanto
(dalam Anshari, 1991, 89-90, 94) saat mengakhiri masa adolesen menuju masa
dewasa pada umumnya orang akan berusaha menemukan pribadinya, menentukan
cita-citanya, menggariskan jalan hidupnya, bertanggungjawab, dan menghimpun
norma-norma sendiri. Berdasarkan gambaran psikis tersebut, maka akan tampak
kestabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup yang harus di anutnya
atau agama yang harus dianutnya, menandakan bahwa agama yang dianutnya itu
sudah berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang dianggap benar dan diperlukan
dalam hidupnya.
Kestabilan dalam pandangan hidup keagamaan
dan kelakuan religious seseorang bukan berarti bersifat statis, tetapi
kestabilan yang dinamis, dimana suatu ketika akan terjadi perubahan-perubahan
seiring dengan pengetahuan dan situasi-situasi yang mereka hadapi. Maka ada
kemungkinan terjadinya religious
konversion (pindah agama) karena seseorang mengalami kebimbangan, keraguan
atau konflik. Masalah pendidikan yang melahirkan pemikiran baru atau anggapan
bahwa ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan tuntutan masa dan kehidupan.
Zakiah Darajat (dalam Anshari, 1991, 97)
mengemukakan faktor-faktor terjadinya konversi adalah karena pertentangan batin
(konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, pengaruh hubungan dengan tradisi agama,
ajakan dan sugesti, faktor-faktor emosi, dan kemauan.
Keempat, tahap pemeliharaan adalah tahap dimana agama menguasai tujuan dan
aktifitas kehidupan (wordly ascetisme).
Berada pada usia lanjut, menurut Jalaluddin (2003, 105-106) ciri keberagamaan
lanjut usia adalah:
1.
Kehidupan
beragama pada lanjut usia sudah mencapai kemantapan.
2.
Meningkatnya
kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.
Mulai muncul
pengakuan relitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.
Timbulnya
rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
5.
Sikap
keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama
manusia, serta sifat-sifat luhur.
6.
Perasaan
takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat.
Berdasarkan uraian
perkembangan religiusitas di atas, maka James W. Flower (dalam Cremers, 1994,
96, 104, 117, 134, 160, 185, 218) membagi tahap perkembangan iman yang biasanya
dilewati orang dalam pertumbuhannya:
1.
Tahap
kepercayaan awal dan elementer (primal
faith) usia anak 0-2 atau 4 tahun. Ditandai dengan cita rasa yang bersifat
praverbal terhadap kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang
elementer pada semua orang yang mengasuh dan lingkungan.
2.
Tahap iman
intuitif/proyektif (kira-kira umur 4-8 tahun). Dunia diberi arti lewat orang
tua dan orang-orang dewasa lain yang berpengaruh, dengan memproyeksikan secara
intuitif dengan meniru orang-orang dewasa.
3.
Tahap iman
mistis/literal (kira-kira umur 8-12 tahun). Arti dan makna hidup, dunia,
manusia diambil dari orang-orang atau kelompok yang diikuti. Iman yang
diperoleh dari jemaat berupa kisah-kisah dan ajaran-ajaran suci yang membuat
lingkungan hidup, dunia, manusia menjadi bermakna. Kisah dan ajaran itu
dimengerti secara harfiah, literal.
4.
Tahap iman
sintetis/konvensional (kira-kira umur 12-dewasa). Iman merupakan iman yang
menyesuaikan dan mengambil arahnya dari kebiasaan yang ada, yang dipilih secara
sadar. Iman itu membuat seimbang berbagai tuntutan yang datang dari
kebiasaan-kebiasaan itu menjadi sintesis arti yang dapat dijadikan pegangan.
5.
Tahap iman
individual/reflektif-sadar (sesudah umur 17 atau 18 tahun). Iman itu menjadi
pola iman yang dipilih secara pribadi dan secara sadar dipisahkan dari harapan
orang lain. Iman itu bersifat otonom.
6.
Tahap iman
konjungtif (biasanya tengah umur atau sesudahnya). Iman itu menerima
pandangan-pandangan yang berlawanan dan tak berhubungan satu sama lain dan
membuatnya menjadi pola yang kokoh. Sistem imannya sendiri dipandang ada dalam
keterkaitan dengan iman umat manusia.
7.
Tahap iman
yang universal (usia lanjut). Iman itu adalah iman orang kudus dimana Yang
Akhir, bukan dirinya, dijadikan titik tujuan.
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan religious conscience
Faktor-faktor perkembangan rasa agama
menurut Susilaningsih (makalah Psikologi agama, 2010), yaitu:
a)
Pertama, faktor internal
meliputi kodisi awal rasa agama (potensi), perkembangan kognisi, kondisi afeksi
(emosi, motif, minat, dan sikap).
b)
Kedua, faktor eksternal meliputi
pengalaman dan pengetahuan, pendidikan, dan lingkungan.
c)
Ketiga, faktor proses, yaitu
terjadinya berbagai dinamika perkembangan pada masing-masing fase perkembangan
anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia.
Berdasarkan uraian teori yang penulis kemukakan diatas maka dinamic religious conscience yang dimaksud di dalam makalah ini adalah sekumpulan
proses atau tahap-tahap internalisasi nilai-nilai agama seiring dengan
perkembangan usia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (diri sendiri)
dan faktor eksternal melalui pendidikan, eksperien, pengaruh lingkungan, maupun
agama itu sendiri dan faktor-faktor tersebut memungkinkan terjadinya perubahan
agama yang bersifat konvesi ke agama yang lain (pindah agama).
Daftar Pustaka
Abdullah, A, dkk. (2006). Metodologi
Penelitian Agama: Pendekatan Multidispliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
UIN Sunan Kalijaga.
Anshari, H.M. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Jiwa. Surabaya: Usaha
Nasional.
Crapps, R.W. (1994). Perkembangan
Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisus.
Cremers, A. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan:
Menurut James W. Fowler, Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama.
Yogyakarta: Kanisius.
Daradjat, Z. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Faoziyah, Y. (2010). Hubungan Antara
Tingkat Religiousitas Dengan Kecenderungan Perilaku Mengakses Situs Porno Pada
Pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) “X” Di Kota Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Hardjanan, A.M. (1995). Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak
Otentik. Yogyakarta: Kanisius.
Hardjana, A.M. (2005). Religiositas, Agama dan Spiritualitas.
Yogyakarta: Kanisius.
Ihsanudin, M. (2007). Dinamika
Religusitas Pedagang Pasar Buah dan Sayur “Gemah Ripah” Gamping Sleman. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga.
Jalaluddin, H. (2003). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Rochmah, E.Y. (2005). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta:
Teras
Nashori, F. (2005). Potensi-Potensi Manusia: Seri Psikologi
Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susilaningsih. (2010). Makalah
Psikologi Agama: Perkembangan Religious Conscience. Makalah tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.