Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi
PENDAHULUAN
Manusia adalah
jenis makhluk yang memiliki potensi luar biasa dari bekal akal yang ada
padanya. Dengan akal manusia secara terus menerus menjalani kehidupan secara
dinamis, terutama perkembangan mental atau psikis. Akal menunjukkan perubahan
positif (perkembangan cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia.
Kapasitas berpikir akan semakin kompleks ketika manusia hidup dan tumbuh di
kehidupannya. Seorang balita berpikir tentang sebuah pohon, tentu tidak sama
dengan seorang dewasa yang berpikir tentang pohon. Inilah potensi akal manusia
yang secara kontinu berpikir terus menerus mencari kebenaran. Kebenaran yang
bisa mereka terima secara logis dan empiris atau kebenaran ilmiah. Maka perlu
kita menyimak sejarah perkembangan manusia dalam mencari kebenaran yang akan
kami bahas dalam makalah ini.
Makalah ini
membicarakan tentang teori-teori kebenaran ilmiah atau ilmu atau dalam makalah
ini kadang kami sebut kebenaran. Akan dijelaskan tentang definisi kebenaran, teori-teori
kebenaran dalam bidang pengetahuan ilmiah yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran
manusia, dan sifat-sifat kebenaran.
Terakhir
pembahasan ini kami menyertakan evaluasi terhadap teori-teori kebanaran yang
ada. Sebagai upaya mengkritisi pemikiran yang sudah ada tentang kebenaran dan
memunculkan gagasan-gagasan baru yang diharapkan bisa dikembangkan di masa yang
akan datang.
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Makalah ini
membahas tentang apa itu kebenaran, bagaimana teori-teori kebenaran sepanjang
sejarah pemikiran manusia, dan sifat-sifat kebenaran.
ARTI KEBENARAN
Benar adalah
sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah fakta tentang
realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan
sebagai suatu kata benda yang kongkret maupun abstrak (Hamami dalam Tim Dosen
Filsafat Ilmu UGM, 2010 : 135).
Lebih lanjut
Hamami mengatakan bahwa setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki
persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran,
karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu
pernyataan atau statement (proposisi). Senada dengan Hamami, Louis Kattsoff
(1996 : 178) mengatakan “kebenaran” menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan
(proposisi) sunggung-sungguh merupakan halnya, bila proposisi bukan merupakan
halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu sesat atau bila proposisi itu
mengandung kontradiksi (bertentangan) maka kita dapat mengatakan bahwa
proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat
atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Berikut
penjelasan Hamami tentang kaitan kebenaran dengan beberapa hal di atas.
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas
pengetahuan. Artinya kebenaran itu dipengaruhi oleh jenis pengetahuan yang
dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki pengetahuan biasa atau common
sense knowledge, maka pengetahuan seperti ini akan menghasilkan kebenaran
yang bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melihat.
Selanjutnya jika subjek memiliki pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang
sudah memiliki objek yang khas atau spesifik dengan pendekatan metodologis yang
khas pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang ada. Maka kebenaran
dalam konteks ini bersifat relatif, yaitu akan selalu mendapatkan revisi atau
perubahan jika ditemukan kebanaran yang baru pada penelitian-penelitian yang
akhir dan mendapat persetujuan (agreement) dari konvensi ilmuan sejenis.
Kemudian jenis pengetahuan pengetahuan filsafati, yaitu melalui pendekatan
filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang
analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini bersifat
absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran ini merupakan pendapat yang selalu
melekat pada pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari
filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran sama.
Jenis pengetahuan
yang terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam agama, yang
memiliki sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan
sesuai ajaran agama tertentu, kemudian di yakini sesuai dengan keyakinan subjek
untuk memahaminya. Kebenaran makna kandungan kitab suci berkembang secara
dinamis sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat
kitab suci tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Kedua, kebanaran dikaitkan dengan sifat atau
karakteristik tentang cara atau metode apa yang digunakan subjek dalam
membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun pengetahuannya dengan
penginderaan atau sense experience, akal pikir, ratio, intuisi, atau
keyakinan. Dimana cara atau metode yang digunakan subjek akan mempengaruhi
karakteristik kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode atau cara
yang sama. Misalnya, jika subjek memperoleh kebenaran melalui sense
experiense, maka harus dibuktikan juga dengan sense experience,
bukan dengan cara yang berbeda, begitu pula dengan yang lainnya.
Ketiga, nilai kebenaran dikaitkan dengan
ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya kebenaran ini berkaitan
dengan relasi antara subjek dan objek. Manakala subjek memiliki dominasi yang
tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu akan bersifat subjektif,
artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu sangat
bergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika
objek lebih berperan maka sifat pengetahuannya objektif, seperti ilmu alam.
Sebagai pelengkap
bahasan ini, berikut kami kemukakan tiga penafsiran utama tentang kebenaran
menurut Sahakian dan Sahakian (1966 : 23) adalah sebagai berikut :
1. Kebanaran sebagai
sesuatu yang mutlak (absolut)
2. Kebenaran sebagai
subjektivitas atau pendapat pribadi
3. Kebenaran sebagai
sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau
Penafsiran utama
tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian merupakan polemik yang belum
terselesaikan ketika seorang filsuf membicarakan kebenaran. Apakah ada
kebenaran yang bersifat mutlak atau absolut? Buktinya ilmu pengetahuan terus
berkembang dan mempengaruhi sudut pandang manusia tentang kebenaran. Atau
jangan-jangan kebenaran itu hanyalah subjektivitas seseorang atau kelompok?
Bahkan jangan-jangan kebenaran merupakan hal yang sulit dan mustahil untuk di
jangkau.
TEORI-TEORI KEBENARAN
Pada bagian ini
akan kami bahas tentang teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran
manusia. Perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato melalui
metode dialog, kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles. Menurut seorang filsuf
Jaspers sebagaimana dikutip oleh Hammersa bahwa sebenarnya para pemikir
sekarang hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat
Aristoteles (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010 : 138). Hal ini tentu
berdasarkan argumentasi yang kuat berdasarkan pemikiran yang mendalam, yang
berlandaskan pada data-data sejarah yang ada. Plato dianggap sebagai filsuf
yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan
yang awal. Dari pemikiran Plato kemudian muncul teori-teori pengetahuan baik
sebagai kritik atau sebagai support atas teori yang sudah dibangun
Plato.
Berikut ini
adalah penjelasan mengenai teori-teori kebenaran yang kami coba rangkum dari
beberapa sumber ilmiah :
1. Teori kebenaran
korespondensi
Kebenaran
menurut persfektif teori korespondensi adalah pernyataan dikatakan benar jika
sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. George E. Moore (dalam Sahakian
dan Sahakian, 1966 : 24) mengatakan kebenaran sebagai “truth as the
correspondence of ideas to reality”, yaitu kebenaran adalah kesesuaian
antara ide atau gagasan-gagasan dengan realita. Sebaliknya, jika pernyataan
bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada, maka pernyataan tersebut
dianggap sebagai penyataan yang “sesat”. Misalnya, ada pernyataan yang
mengatakan Bang Rhoma adalah seorang penyanyi dangdut. Kalau pernyataan
tersebut bersesuaian dengan fakta yang ada di kenyataan yang sebenarnya maka
itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternyata Bang Rhoma bukan seorang
penyanyi dangdut, melainkan seorang Presiden. Maka pernyataan tersebut dianggap
sebagai bukan “kebenaran”.
Makna
“sesuai” (correspond) dalam teori ini masih menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada kritik terhadap teori kebenaran
korespondensi. Kalau kebenaran selalu diukur dengan fakta-fakta yang ada,
bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah ada fakta yang bersifat
kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide tersebut, padahal
ide-ide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indera
manusia. Misalnya, Pak Soleh dikatakan sebagai seorang yang soleh, kalau
pernyataan ini kemudian dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau
korespondensi, maka tentu subjek akan melihat pada perilaku-perilaku beragama
yang tampak pada Pak Soleh. Pertanyaannya, apakah “kesolehan” Pak Soleh bisa
sepenuhnya diukur dengan observasi?, bukankah kesolehan di dominasi oleh aspek
kejiwaan Pak Soleh?.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas adalah kelemahan-kelemahan para realisme atau paham yang bertolak dari
kenyatan-kenyataan. Karena kebenaran korespondensi dianut oleh para realisme
(Kattsoff, 1996 : 184).
2. Teori kebenaran
koherensi
Berkebalikan
dengan paham korespondensi, paham koherensi dianut oleh para pendukung
idealisme. Banyak kita dalam kehidupan sehari-hari menggunakan paham ini.
Intinya menurut paham ini “kebenaran” adalah jika pernyataan sebjek saling
berhubungan dengan pernyataan subjek yang lainnya atau jika makna yang
dikandungnya saling berhubungan dengan pengalaman kita (Kattsoff, 1996 : 181).
Misalnya, “Bang Rhoma adalah penyanyi dangdut”, pernyataan ini akan dianggap
benar jika fakta lain mendukung pernyataan ini. Tetapi, pernyataan ini akan
dianggap “sesat” apabila fakta-fakta lain yang telah ada tidak mendukung pernyataan
ini atau mengandung kontradiksi.
Kritik
terhadap paham ini saya sajikan dalam sebuah kasus. Di dalam penegakkan hukum
di pengadilan terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan Si A terhadap Si B.
Untuk membuktikan pembunuhan ini benar atau tidak, kemudian pengadilan
mendatangkan beberapa saksi, yaitu Si C, Si D, dan Si E. Si C dan Si D
cenderung membela Si A, mungkin karena sebagai teman, keluarga, atau karena
sebab lain. Sehingga Si C dan Si D memeberikan kesaksian yang sama (koheren)
atau saling berhubungan yang menyebabkan keringanan terhadap Si A. Sedangkan Si
E memberikan kesaksian berbeda yang memberatkan Si A, Si E menjelaskan secara
jujur fakta-fakta pembunuhan yang dia lihat. Setelah persidangan selesai, hakim
menyatakan bahwa Si A tidak bersalah dan di bebaskan.
Dari contoh
kasus di atas disimpulkan bahwa paham koherensi akan selalu berpihak pada
pernyataan-pernyataan yang dianggap koheren, walaupun terkadang pernyataan
tersebut bukan fakta yang sesungguhnya. Kemudian paham koherensi cenderung
mengabaikan pernyataan lain yang dianggap tidak koheren, walaupun sesungguhnya
pernyataan itu adalah fakta yang sesunggunya.
3. Teori kebenaran
pragmatis
Teori
kebenaran pragmatisme adalah paham tentang kebenaran yang diukur dari
kegunaannya dalam kehidupan manusia. Bagi seorang pragmatis kebenaran tentang
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar,
jika pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis
dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 2010 : 58-59).
Dapat
dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmatisme adalah sebatas kegunaan
praktis dalam kehidupan. Apabila suatu proposisi memiliki kegunaan praktis maka
akan dipandang sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya, apabila proposisi tidak
memiliki kegunaan praktis maka tidak dipandang sebagai suatu kebenaran,
walaupun ada kemungkinan sesuatu yang tidak bersifat fungsional tersebut adalah
kebenaran yang sesungguhnya.
Kebenaran
dalam pandangan pragmatisme akan membawa kebenaran pada masa kadaluarsa (expired).
Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran akan dibuang,
karena tidak lagi bersifat fungsional. Kebanaran dalam pandangan pragmatis juga
tidak fleksibel bagi semua konteks, karena apabila kebenaran diukur dari segi
fungsionalnya, maka bagaimana kebenaran akan berguna bagi konteks lain yang
secara hakikat memiliki perbedaan signifikan dengan konteks yang lainnya.
4. Kebanaran menurut
paham-paham empiris
Definisi-definisi
kebenaran menurut paham-paham empiris berdasarkan atas berbagai segi
pengalaman, dan biasanya merujuk pada pengalaman inderawi seseorang. Paham
tersebut memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive), atau hipotesis,
dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya hipotesa (Kattsoff, 1996
: 186).
Definisi di
atas mengantarkan kita pada suatu pemahaman, bahwa kebenaran menurut
paham-paham empiris memiliki subjektivitas yang tinggi. Jika demikian, maka
kebenaran akan memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang yang
memaknainya. Disebabkan perbedaan pengalaman-pengalaman yang dimiliki subjek.
Selanjutnya kebenaran akan bersifat nisbi, tidak memiliki tolak ukur yang
pasti. Sehingga siapa saja bisa mengklaim bahwa dia adalah yang benar.
5. Teori kebenaran
sintaksis
Penganut
teori kebenaran sintaksis berpijak bahwa suatu pernyataan dikatakan benar jika
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis atau gramatika yang baku. Atau
dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari
hal yang di syaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini
berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap
pemakaian gramatika seperti Schleiemacher (Hamami, Tim Dosen Filsafat UGM,
2010).
6. Teori kebenaran
semantis
Teori ini
kebanyakan dianut dan berkembang di kalangan filsuf analitika bahasa. Kebenaran
menurut faham ini adalah suatu proposisi dinilai benar ditinjau dari segi arti
atau makna, apakah proposisi yang merupakan pangakal tumpunya itu mempunyai
referensi yang jelas. Artinya teori ini bertugas untuk mengungkap ke sahihan
proposisi dalam referensinya. Pernyataan yang mengandung kebenaran adalah
pernyataan yang memiliki arti atau makna yang sesungguhnya dengan merujuk pada
kenyataan. Arti yang bersifat definitif, yaitu arti yang dengan jelas menunjuk
ciri yang khas dari sesuatu yang ada (Hamami, Tim Dosen Filsafat UGM, 2010).
Seperti “Irigasi menyebabkan kesulitan dalam mengatur pengairan”, pernyataan
ini akan dikatakan benar bila menunjukkan makna yang sahih tentang bendungan
dalam kenyataan yang sesungguhnya. Tentu kebenaran pernyataan diatas akan di
cek langsung ke referensinya.
SIFAT KEBENARAN ILMIAH
Bagian sebelumnya
telah membahas tentang pengertian kebenaran, meskipun kebenaran di maknai
dengan definisi yang berbeda-beda, tapi bisa kita ambil pengertian bahwa
kebenaran ilmiah atau ilmu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, metode
atau cara membangun suatu pengetahuan, dan relasi antara subjek dan objek.
Telah dikemukakan juga teori-teori kebenaran yang berkembang di dalam
kefilsafatan.
Di bagian ini
kita akan membahas mengenai sifat kebenaran ilmiah. Hamami (Tim Dosen Filsafat
UGM, 2010) mengatakan bahwa kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian,
artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang
harus dilalui. Prosedur baku maksudnya adalah tahap-tahap yang harus dilalui
dalam memperoleh pengetahuan ilmiah yang pada hakikatnya berupa teori-teori
melalui metode ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu.
Lebih lanjut
Hamami mengatakan bahwa kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya
objektif, maksudnya bahwa kebenaran dari suatu teori, atau lebih tinggi dari
aksioma (pernyataan yang dterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) atau
paradigma, harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan
objektivitasnya.
Mengacu pada
satatus ontologis objek, menurut Hamami kebenaran dalam ilmu dibedakan menjadi
dua jenis teori, yaitu kebenaran korespondensi untuk ilmu-ilmu alam dan kebenaran
koherensi atau konsistensi untuk ilmu-ilmu sosial, kemanusian, dan logika.
Kemudian hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan dalam hal kebenaran
yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau
konvensi dari para ilmuwan di bidangnya. Sehingga kebenaran-kebenaran dalam
ilmu akan terus berubah dan berkembang berdasarkan penemuan-penemuan terbaru
yang mampu menentang teori-teori terdahulu dalam bidang ilmu yang sama. Serta
mendapatkan persetujuan konvensional dari para ilmuwan di bidang yang sama.
EVALUASI KRITIS
Manusia terus berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Perkembangan yang
dinamis tersebut tidak luput dari peran ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia. Tanpa henti manusia terus belajar, dan belajar lagi, tanpa ada rasa
puas. Tujuannya cuma satu yaitu mencari kebenaran ilmiah atau ilmu yang
berperan fungsional dalam kehidupan manusia.
Sepanjang sejarah pemikiran manusia dalam mencari kebenaran ilmiah atau
ilmu telah banyak yang mengungkapkan tentang “kebenaran”, berbagai macam
argumentasi filosofi dikemukakan tentang kebenaran. Namun, setiap argumentasi
selalu diiringi dengan sanggahan argumentasi filosofi juga. Sehingga kebenaran
memiliki banyak definisi tergantung latar belakang isme (pemahaman) yang
dianut.
Beberapa teori-teori tentang kebenaran telah kami kemukakan di bagian
sebelumnya. Kritik-kritik juga telah kami kemukakan di bagian akhir pembahasan
masing-masing teori yang kami kemukakan. Sehingga pada bagian ini kami hanya
mengemukakan evaluasi kritis secara umum terhadap teori-teori kebenaran yang
dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Dari berbagai teori kebenaran yang kami kemukakan di atas, kami
menyimpulkan bahwa tidak ada teori kebanaran yang bisa diterima secara global,
ini terbukti dengan munculnya teori-teori kebanaran baru sebagai sanggahan atas
teori kebenaran yang sudah ada. Setiap teori yang dikemukakan terindikasi
mengusung latar belakang pengetahuan yang dimiliki tokohnya. Seperti teori
kebenaran korespondensi yang dilatar belakangi oleh pemahaman empirisme, teori
kebenaran koherensi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman idealisme, kemudian
teori kebenaran semantik dan sintaksis yang berkaitan erat dengan gramatika dan
analitik bahasa. Karenanya manusia tidak bisa mengklaim bahwa dia benar hanya
dari satu paradigma saja. Akan ada bantahan atau kritik dari pihak lain yang
memiliki paradigma yang berbeda.
Disisi lain masih terjadi polemik dikalangan filsuf tentang kebenaran
sebagai sesuatu yang mutlak, kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, dan
kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Tentang kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak setiap orang memiliki
pemahaman masing-masing, ada yang sepakat dan ada yang menolak. Karena
terbukti, sesuatu yang telah dianggap benar bisa menjadi tidak benar lagi
karena ada temuan baru yang menentang kebenaran yang lama. kebenaran sebagai
sesuatu yang mutlak juga akan berbeda-beda bagi masing-masing orang, tergantung
latar belakang pemahaman dan keyakinan yang dia anut.
Kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, kebanyakan berpendapat bahwa
objektivitas bisa dicapai dengan konspirasi subjektif. Akan tetapi, hal ini
tentu tidak bisa difahami sebagai sesuatu kebenaran yang sesungguhnya. Karena sudah
tentu ada pihak-pihak yang tidak ikut dalam konspirasi subjektif tersebut dan
menentangnya. Maka kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif juga masih menjadi
polemik yang belum terselesaikan.
Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil untuk dicapai, hal ini juga masih
menjadi polemik dikalangan filsuf. Banyak diantara mereka yang tidak sepakat
kalau kebenaran mustahil untuk dicapai. Tapi, banyak juga diantara mereka yang
setuju bahwa kebenaran yang hakiki tidak bisa dicapai, karena kebenaran yang
mereka fahami selama ini hanyalalah kebenaran sebagai hasil dari konspirasi
subjektif. Kalau di tarik lagi ke garis keyakinan atau aqidah tentu akan
memiliki penafsiran yang berbeda lagi. Orang yang berkeyakinan tentang
kebenaran agamanya tentu akan menganggap bahwa kebenaran yang hakiki atau
mutlak hanyalah kebenaran dari Tuhan yang terdapat di dalam kitab suci agama
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Sahakian, William S. &
Sahakian, Mabel Lewis. (1996). Ideas of The Great Philosophers. New York
: Barnes and Nobel Books.
Tim Dosen Filsafat llmu UGM.
(2010). Filsafat Ilmu : Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta : Liberti.
Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar
Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wicana Yogya.
Suriasumantri, Jujun S. (2010).
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Yogyakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
---000---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar