Cari Blog Ini

Sabtu, 02 November 2013

TEORI - TEORI KEBENARAN ILMIAH

Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi

PENDAHULUAN
Manusia adalah jenis makhluk yang memiliki potensi luar biasa dari bekal akal yang ada padanya. Dengan akal manusia secara terus menerus menjalani kehidupan secara dinamis, terutama perkembangan mental atau psikis. Akal menunjukkan perubahan positif (perkembangan cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia. Kapasitas berpikir akan semakin kompleks ketika manusia hidup dan tumbuh di kehidupannya. Seorang balita berpikir tentang sebuah pohon, tentu tidak sama dengan seorang dewasa yang berpikir tentang pohon. Inilah potensi akal manusia yang secara kontinu berpikir terus menerus mencari kebenaran. Kebenaran yang bisa mereka terima secara logis dan empiris atau kebenaran ilmiah. Maka perlu kita menyimak sejarah perkembangan manusia dalam mencari kebenaran yang akan kami bahas dalam makalah ini.
Makalah ini membicarakan tentang teori-teori kebenaran ilmiah atau ilmu atau dalam makalah ini kadang kami sebut kebenaran. Akan dijelaskan tentang definisi kebenaran, teori-teori kebenaran dalam bidang pengetahuan ilmiah yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran manusia, dan sifat-sifat kebenaran.
Terakhir pembahasan ini kami menyertakan evaluasi terhadap teori-teori kebanaran yang ada. Sebagai upaya mengkritisi pemikiran yang sudah ada tentang kebenaran dan memunculkan gagasan-gagasan baru yang diharapkan bisa dikembangkan di masa yang akan datang.



RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Makalah ini membahas tentang apa itu kebenaran, bagaimana teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran manusia, dan sifat-sifat kebenaran.

ARTI KEBENARAN
Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah fakta tentang realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongkret maupun abstrak (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010 : 135).
Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran, karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement (proposisi). Senada dengan Hamami, Louis Kattsoff (1996 : 178) mengatakan “kebenaran” menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan (proposisi) sunggung-sungguh merupakan halnya, bila proposisi bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu sesat atau bila proposisi itu mengandung kontradiksi (bertentangan) maka kita dapat mengatakan bahwa proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Berikut penjelasan Hamami tentang kaitan kebenaran dengan beberapa hal di atas.
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya kebenaran itu dipengaruhi oleh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki pengetahuan biasa atau common sense knowledge, maka pengetahuan seperti ini akan menghasilkan kebenaran yang bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melihat. Selanjutnya jika subjek memiliki pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang sudah memiliki objek yang khas atau spesifik dengan pendekatan metodologis yang khas pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang ada. Maka kebenaran dalam konteks ini bersifat relatif, yaitu akan selalu mendapatkan revisi atau perubahan jika ditemukan kebanaran yang baru pada penelitian-penelitian yang akhir dan mendapat persetujuan (agreement) dari konvensi ilmuan sejenis. Kemudian jenis pengetahuan pengetahuan filsafati, yaitu melalui pendekatan filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini bersifat absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran ini merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran sama.
Jenis pengetahuan yang terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam agama, yang memiliki sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan sesuai ajaran agama tertentu, kemudian di yakini sesuai dengan keyakinan subjek untuk memahaminya. Kebenaran makna kandungan kitab suci berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Kedua, kebanaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik tentang cara atau metode apa yang digunakan subjek dalam membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun pengetahuannya dengan penginderaan atau sense experience, akal pikir, ratio, intuisi, atau keyakinan. Dimana cara atau metode yang digunakan subjek akan mempengaruhi karakteristik kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode atau cara yang sama. Misalnya, jika subjek memperoleh kebenaran melalui sense experiense, maka harus dibuktikan juga dengan sense experience, bukan dengan cara yang berbeda, begitu pula dengan yang lainnya.
Ketiga, nilai kebenaran dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya kebenaran ini berkaitan dengan relasi antara subjek dan objek. Manakala subjek memiliki dominasi yang tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu akan bersifat subjektif, artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu sangat bergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika objek lebih berperan maka sifat pengetahuannya objektif, seperti ilmu alam.
Sebagai pelengkap bahasan ini, berikut kami kemukakan tiga penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian (1966 : 23) adalah sebagai berikut :
1.      Kebanaran sebagai sesuatu yang mutlak (absolut)
2.      Kebenaran sebagai subjektivitas atau pendapat pribadi
3.      Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau
Penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian merupakan polemik yang belum terselesaikan ketika seorang filsuf membicarakan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang bersifat mutlak atau absolut? Buktinya ilmu pengetahuan terus berkembang dan mempengaruhi sudut pandang manusia tentang kebenaran. Atau jangan-jangan kebenaran itu hanyalah subjektivitas seseorang atau kelompok? Bahkan jangan-jangan kebenaran merupakan hal yang sulit dan mustahil untuk di jangkau.

TEORI-TEORI KEBENARAN
Pada bagian ini akan kami bahas tentang teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran manusia. Perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog, kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles. Menurut seorang filsuf Jaspers sebagaimana dikutip oleh Hammersa bahwa sebenarnya para pemikir sekarang hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010 : 138). Hal ini tentu berdasarkan argumentasi yang kuat berdasarkan pemikiran yang mendalam, yang berlandaskan pada data-data sejarah yang ada. Plato dianggap sebagai filsuf yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang awal. Dari pemikiran Plato kemudian muncul teori-teori pengetahuan baik sebagai kritik atau sebagai support atas teori yang sudah dibangun Plato.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai teori-teori kebenaran yang kami coba rangkum dari beberapa sumber ilmiah :
1.      Teori kebenaran korespondensi
Kebenaran menurut persfektif teori korespondensi adalah pernyataan dikatakan benar jika sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. George E. Moore (dalam Sahakian dan Sahakian, 1966 : 24) mengatakan kebenaran sebagai “truth as the correspondence of ideas to reality”, yaitu kebenaran adalah kesesuaian antara ide atau gagasan-gagasan dengan realita. Sebaliknya, jika pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada, maka pernyataan tersebut dianggap sebagai penyataan yang “sesat”. Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Bang Rhoma adalah seorang penyanyi dangdut. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta yang ada di kenyataan yang sebenarnya maka itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternyata Bang Rhoma bukan seorang penyanyi dangdut, melainkan seorang Presiden. Maka pernyataan tersebut dianggap sebagai bukan “kebenaran”.
Makna “sesuai” (correspond) dalam teori ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada kritik terhadap teori kebenaran korespondensi. Kalau kebenaran selalu diukur dengan fakta-fakta yang ada, bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah ada fakta yang bersifat kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide tersebut, padahal ide-ide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indera manusia. Misalnya, Pak Soleh dikatakan sebagai seorang yang soleh, kalau pernyataan ini kemudian dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau korespondensi, maka tentu subjek akan melihat pada perilaku-perilaku beragama yang tampak pada Pak Soleh. Pertanyaannya, apakah “kesolehan” Pak Soleh bisa sepenuhnya diukur dengan observasi?, bukankah kesolehan di dominasi oleh aspek kejiwaan Pak Soleh?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah kelemahan-kelemahan para realisme atau paham yang bertolak dari kenyatan-kenyataan. Karena kebenaran korespondensi dianut oleh para realisme (Kattsoff, 1996 : 184).
2.      Teori kebenaran koherensi
Berkebalikan dengan paham korespondensi, paham koherensi dianut oleh para pendukung idealisme. Banyak kita dalam kehidupan sehari-hari menggunakan paham ini. Intinya menurut paham ini “kebenaran” adalah jika pernyataan sebjek saling berhubungan dengan pernyataan subjek yang lainnya atau jika makna yang dikandungnya saling berhubungan dengan pengalaman kita (Kattsoff, 1996 : 181). Misalnya, “Bang Rhoma adalah penyanyi dangdut”, pernyataan ini akan dianggap benar jika fakta lain mendukung pernyataan ini. Tetapi, pernyataan ini akan dianggap “sesat” apabila fakta-fakta lain yang telah ada tidak mendukung pernyataan ini atau mengandung kontradiksi.
Kritik terhadap paham ini saya sajikan dalam sebuah kasus. Di dalam penegakkan hukum di pengadilan terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan Si A terhadap Si B. Untuk membuktikan pembunuhan ini benar atau tidak, kemudian pengadilan mendatangkan beberapa saksi, yaitu Si C, Si D, dan Si E. Si C dan Si D cenderung membela Si A, mungkin karena sebagai teman, keluarga, atau karena sebab lain. Sehingga Si C dan Si D memeberikan kesaksian yang sama (koheren) atau saling berhubungan yang menyebabkan keringanan terhadap Si A. Sedangkan Si E memberikan kesaksian berbeda yang memberatkan Si A, Si E menjelaskan secara jujur fakta-fakta pembunuhan yang dia lihat. Setelah persidangan selesai, hakim menyatakan bahwa Si A tidak bersalah dan di bebaskan.
Dari contoh kasus di atas disimpulkan bahwa paham koherensi akan selalu berpihak pada pernyataan-pernyataan yang dianggap koheren, walaupun terkadang pernyataan tersebut bukan fakta yang sesungguhnya. Kemudian paham koherensi cenderung mengabaikan pernyataan lain yang dianggap tidak koheren, walaupun sesungguhnya pernyataan itu adalah fakta yang sesunggunya.
3.      Teori kebenaran pragmatis
Teori kebenaran pragmatisme adalah paham tentang kebenaran yang diukur dari kegunaannya dalam kehidupan manusia. Bagi seorang pragmatis kebenaran tentang suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 2010 : 58-59).
Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmatisme adalah sebatas kegunaan praktis dalam kehidupan. Apabila suatu proposisi memiliki kegunaan praktis maka akan dipandang sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya, apabila proposisi tidak memiliki kegunaan praktis maka tidak dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu yang tidak bersifat fungsional tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Kebenaran dalam pandangan pragmatisme akan membawa kebenaran pada masa kadaluarsa (expired). Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran akan dibuang, karena tidak lagi bersifat fungsional. Kebanaran dalam pandangan pragmatis juga tidak fleksibel bagi semua konteks, karena apabila kebenaran diukur dari segi fungsionalnya, maka bagaimana kebenaran akan berguna bagi konteks lain yang secara hakikat memiliki perbedaan signifikan dengan konteks yang lainnya.
4.      Kebanaran menurut paham-paham empiris
Definisi-definisi kebenaran menurut paham-paham empiris berdasarkan atas berbagai segi pengalaman, dan biasanya merujuk pada pengalaman inderawi seseorang. Paham tersebut memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive), atau hipotesis, dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya hipotesa (Kattsoff, 1996 : 186).
Definisi di atas mengantarkan kita pada suatu pemahaman, bahwa kebenaran menurut paham-paham empiris memiliki subjektivitas yang tinggi. Jika demikian, maka kebenaran akan memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang yang memaknainya. Disebabkan perbedaan pengalaman-pengalaman yang dimiliki subjek. Selanjutnya kebenaran akan bersifat nisbi, tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Sehingga siapa saja bisa mengklaim bahwa dia adalah yang benar.
5.      Teori kebenaran sintaksis
Penganut teori kebenaran sintaksis berpijak bahwa suatu pernyataan dikatakan benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis atau gramatika yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang di syaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Schleiemacher (Hamami, Tim Dosen Filsafat UGM, 2010).
6.      Teori kebenaran semantis
Teori ini kebanyakan dianut dan berkembang di kalangan filsuf analitika bahasa. Kebenaran menurut faham ini adalah suatu proposisi dinilai benar ditinjau dari segi arti atau makna, apakah proposisi yang merupakan pangakal tumpunya itu mempunyai referensi yang jelas. Artinya teori ini bertugas untuk mengungkap ke sahihan proposisi dalam referensinya. Pernyataan yang mengandung kebenaran adalah pernyataan yang memiliki arti atau makna yang sesungguhnya dengan merujuk pada kenyataan. Arti yang bersifat definitif, yaitu arti yang dengan jelas menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada (Hamami, Tim Dosen Filsafat UGM, 2010). Seperti “Irigasi menyebabkan kesulitan dalam mengatur pengairan”, pernyataan ini akan dikatakan benar bila menunjukkan makna yang sahih tentang bendungan dalam kenyataan yang sesungguhnya. Tentu kebenaran pernyataan diatas akan di cek langsung ke referensinya.

SIFAT KEBENARAN ILMIAH
Bagian sebelumnya telah membahas tentang pengertian kebenaran, meskipun kebenaran di maknai dengan definisi yang berbeda-beda, tapi bisa kita ambil pengertian bahwa kebenaran ilmiah atau ilmu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, metode atau cara membangun suatu pengetahuan, dan relasi antara subjek dan objek. Telah dikemukakan juga teori-teori kebenaran yang berkembang di dalam kefilsafatan.
Di bagian ini kita akan membahas mengenai sifat kebenaran ilmiah. Hamami (Tim Dosen Filsafat UGM, 2010) mengatakan bahwa kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilalui. Prosedur baku maksudnya adalah tahap-tahap yang harus dilalui dalam memperoleh pengetahuan ilmiah yang pada hakikatnya berupa teori-teori melalui metode ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu.
Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya bahwa kebenaran dari suatu teori, atau lebih tinggi dari aksioma (pernyataan yang dterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) atau paradigma, harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivitasnya.
Mengacu pada satatus ontologis objek, menurut Hamami kebenaran dalam ilmu dibedakan menjadi dua jenis teori, yaitu kebenaran korespondensi untuk ilmu-ilmu alam dan kebenaran koherensi atau konsistensi untuk ilmu-ilmu sosial, kemanusian, dan logika. Kemudian hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan dalam hal kebenaran yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan di bidangnya. Sehingga kebenaran-kebenaran dalam ilmu akan terus berubah dan berkembang berdasarkan penemuan-penemuan terbaru yang mampu menentang teori-teori terdahulu dalam bidang ilmu yang sama. Serta mendapatkan persetujuan konvensional dari para ilmuwan di bidang yang sama.

EVALUASI KRITIS
Manusia terus berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Perkembangan yang dinamis tersebut tidak luput dari peran ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Tanpa henti manusia terus belajar, dan belajar lagi, tanpa ada rasa puas. Tujuannya cuma satu yaitu mencari kebenaran ilmiah atau ilmu yang berperan fungsional dalam kehidupan manusia.
Sepanjang sejarah pemikiran manusia dalam mencari kebenaran ilmiah atau ilmu telah banyak yang mengungkapkan tentang “kebenaran”, berbagai macam argumentasi filosofi dikemukakan tentang kebenaran. Namun, setiap argumentasi selalu diiringi dengan sanggahan argumentasi filosofi juga. Sehingga kebenaran memiliki banyak definisi tergantung latar belakang isme (pemahaman) yang dianut.
Beberapa teori-teori tentang kebenaran telah kami kemukakan di bagian sebelumnya. Kritik-kritik juga telah kami kemukakan di bagian akhir pembahasan masing-masing teori yang kami kemukakan. Sehingga pada bagian ini kami hanya mengemukakan evaluasi kritis secara umum terhadap teori-teori kebenaran yang dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Dari berbagai teori kebenaran yang kami kemukakan di atas, kami menyimpulkan bahwa tidak ada teori kebanaran yang bisa diterima secara global, ini terbukti dengan munculnya teori-teori kebanaran baru sebagai sanggahan atas teori kebenaran yang sudah ada. Setiap teori yang dikemukakan terindikasi mengusung latar belakang pengetahuan yang dimiliki tokohnya. Seperti teori kebenaran korespondensi yang dilatar belakangi oleh pemahaman empirisme, teori kebenaran koherensi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman idealisme, kemudian teori kebenaran semantik dan sintaksis yang berkaitan erat dengan gramatika dan analitik bahasa. Karenanya manusia tidak bisa mengklaim bahwa dia benar hanya dari satu paradigma saja. Akan ada bantahan atau kritik dari pihak lain yang memiliki paradigma yang berbeda.
Disisi lain masih terjadi polemik dikalangan filsuf tentang kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak, kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, dan kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Tentang kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak setiap orang memiliki pemahaman masing-masing, ada yang sepakat dan ada yang menolak. Karena terbukti, sesuatu yang telah dianggap benar bisa menjadi tidak benar lagi karena ada temuan baru yang menentang kebenaran yang lama. kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak juga akan berbeda-beda bagi masing-masing orang, tergantung latar belakang pemahaman dan keyakinan yang dia anut.
Kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, kebanyakan berpendapat bahwa objektivitas bisa dicapai dengan konspirasi subjektif. Akan tetapi, hal ini tentu tidak bisa difahami sebagai sesuatu kebenaran yang sesungguhnya. Karena sudah tentu ada pihak-pihak yang tidak ikut dalam konspirasi subjektif tersebut dan menentangnya. Maka kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif juga masih menjadi polemik yang belum terselesaikan.
Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil untuk dicapai, hal ini juga masih menjadi polemik dikalangan filsuf. Banyak diantara mereka yang tidak sepakat kalau kebenaran mustahil untuk dicapai. Tapi, banyak juga diantara mereka yang setuju bahwa kebenaran yang hakiki tidak bisa dicapai, karena kebenaran yang mereka fahami selama ini hanyalalah kebenaran sebagai hasil dari konspirasi subjektif. Kalau di tarik lagi ke garis keyakinan atau aqidah tentu akan memiliki penafsiran yang berbeda lagi. Orang yang berkeyakinan tentang kebenaran agamanya tentu akan menganggap bahwa kebenaran yang hakiki atau mutlak hanyalah kebenaran dari Tuhan yang terdapat di dalam kitab suci agama mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Sahakian, William S. & Sahakian, Mabel Lewis. (1996). Ideas of The Great Philosophers. New York : Barnes and Nobel Books.

Tim Dosen Filsafat llmu UGM. (2010). Filsafat Ilmu : Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Liberti.

Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wicana Yogya.

Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Yogyakarta : Pustaka Sinar Harapan.



---000---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate