Cari Blog Ini

Rabu, 16 Mei 2012

Konversi Agama


Penulis: Syahri Ramadhan, S.Psi

Pendahuluan

Agama merupakan salah satu factor eksternal yang mempengaruhi kondisi psikologis manusia. Manusia memiliki kecendrungan untuk mengakui bahwa ada kekuatan yang Maha Dahsyat di luar dirinya yang dibahasakan dengan nama spiritual. Hardjana (2005, 24-25) mengatakan bahwa sifat spiritual paling tampak pada sifat transendennya. Transenden berarti mengatasi atau melampaui, hal baru yang belum ada dalam tahap hidup sebelumnya, hal yang demikian baru atau tinggi sehingga ada diluar segala hal yang pernah dijumpai dalam hidup sampai saat ini. Dengan sifat transendennya manusia jadi terbuka. Terbuka berarti bahwa dalam diri manusia tersedia ruang, terdapat dorongan, dan ada kemampuan untuk diisi dan dipenuhi oleh sesuatu. Berkat keterbukaannya, manusia memiliki kemungkinan, dorongan, dan kemampuan untuk mengerti, menerima, dan mencapai hal yang melampaui diri dan dunianya. Kemudian Hardjana (1995, 14-15) manusia beragama didorong oleh beberapa faktor utama, yaitu mendapatkan keamanan, mencari perlindungan dalam hidup, menemukan penjelasan atas dunia serta segala yang termaktub di dalamnya, memperoleh pembenaran atas praktik-praktik hidup yang ada, dan meneguhkan tata nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat, serta memuaskan kerinduan hidup.

Unsur penciptaan manusia itu sendiri terdiri dari ruh dan jasad. Nashori (2005, 23-24) mengatakan bahwa ruh yang ada di dalam diri manusia merupakan ruh ilahi (the spirit of god). Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi. Dengan adanya ruh ilahi ini manusia memiliki potensi-potensi ketuhanan dalam dirinya. Maksudnya, dalam diri manusia melekat sifat-sifat dasar atau potensi-potensi dasar sebagaimana yang dimiliki Allah. Kecendrungan manusia untuk bertuhan dan memiliki potensi spiritual jelas tergambarkan di dalam firman Allah Surat Al-A’araf [7] ; 172 :

“Dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbinya dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (QS. Al-A’araf [7] : 172).

Kondisi spiritual seseorang akan terlihat dalam kehidupan agamanya (religiousitas), menurut Hardjana religiousitas yaitu perasaan dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Allah, karena manusia telah mengenal serta mengalami kembali Allah, dan percaya kepada-Nya (Faoziyah, 2010, 24). Kemudian menurut Jalaluddin (2003, 69) mengatakan bahwa dorongan keberagamaan merupakan faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa seseorang akan menjadi sosok penganut agama yang taat, sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-nilai agama oleh kedua orang tuanya. Rasulallah saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah saw bersabda: “Tiada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. (HR. Muslim).

Perkembanngan religious seseorang bisa dipengaruhi oleh faktor internal (dirinya sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan dan pengalamannya). Sehingga proses internalisasi nilai-nilai agama ini akan membentuk dinamika keberagamaan seseorang. Maka tidak jarang orang yang biasanya tidak religious menjadi religious, atau sebaliknya orang yang biasanya religious tiba-tiba menjadi tidak religious. Bahkan sebagian diantara mereka mengalami religious doubt (keraguan dalam beragama) dan religious conversion (perubahan keyakinan). Sebagaimanan yang diungkapkan Anshari (1991, 39-40) bahwa munculnya religiousitas karena terdapat sumber penyebab yaitu dari dalam diri manusia, apakah itu bersumber dari perenungan (philosofis) atau dari keimanan/keyakinan (theologis) atau juga dari mekanisme psikis (psychologis). Sumber utama dari mekanisme psikis ada kemungkinan mendapat pengaruh-pengaruh dari luar atau lingkungan.

Anshari menambahkan bahwa perubahan kadang-kadang sering terjadi dalam religiousitas yang disebabkan oleh adanya perubahan kondisi psikis seseorang (religious consciousness) dan sebaliknya ada kemungkinan kondisi psikis akan berubah sedemikian rupa karena pengalaman religious (religious experience). Religiousitas ternyata bergerak secara dinamis sesuai dengan dinamika psikis dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan, bahkan keyakinan pun juga akan berubah secara dinamis pula. Dari sinilah kita akan melihat adanya satu mekanisme yang saling bertaut satu dengan yang lainnya. Secara teoligis orang yang memiliki keimanan yang mantap terhadap Tuhan, maka perubahan-perubahan dan dinamika psikis yang terjadi tidak akan keluar dari garis-garis baku yang ada dalam lingkup wawasan iman yang dimiliki, sehingga perubahan-perubahan dalam religiousitasnya senantiasa mengarah pada peningkatan bobot dan kualitas dan kalau toh terjadi perubahan iman akan mengarah kepada iman yang semakin kuat dan mantap. Tetapi, bagi orang yang belum memiliki iman yang mantap maka perubahan tersebut mengarah kepada dua kemungkinan, yaitu semakin berbobot dan berkualitas religiousitasnya dan semakin kuat dan mantap. Namun, bukan suatu hal yang mustahil apabila terjadi sebaliknya bahkan kemungkinan terjadi konversi. Kemungkinan terakhir inilah yang banyak terjadi pada mualaf.

Menurut Clark (dalam Darajat, 2005, 160) konversi agama (religious conversion) adalah suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran agama dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan suatu perubahan emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal. Dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.

Para psikolog agama berpendapat bahwa terjadinya konversi agama merupakan suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang memberi pengertian adanya perubahan arah yang sangat berarti dalam sikap terhadap ajaran agama ataupun dalam tingkah laku agama. Konversi agama menunjukan adanya suatu perubahan emosi secara mendadak (tiba-tiba/eksplosif), bisa bersifat sangat mendalam atau dangkal saja. Dan perubahan emosi tersebut bisa terjadi secara bertahap (Anshari, 1991, 13).

Fenomena mualaf merupakan salah satu bukti adanya dinamika religious pada seseorang. Dimana proses internalisasi nilai-nilai agama terus berkembang dari fase ke fase secara dinamis. Mualaf (orang yang masuk Islam) memiliki alasan masing-masing untuk memilih memeluk Islam. Sehingga realita menunjukan adanya perbedaan tingkat religiousitas pada mualaf. Misalnya di antara mereka ada yang berusaha memahami dan mengamalkan syari’at Islam secara sungguh-sungguh. Namun, ada juga yang hanya sekedar masuk Islam, tapi mereka tidak memahami dan mengamalkan syari’at Islam dengan sungguh-sungguh.

Konversi Agama
1.         Pengertian
Religiusitas berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama, kesalehan, jiwa keagamaan. Henkel Nopel (dalam Ihsanudin 2007, 6) mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan, tingkah laku keagamaan, karena religiusitas berkaitan erat dengan segala hal tentang agama.

Sedangkan menurut Susilangsih (dalam makalah Psikologi Agama, 2010) Religiousitas adalah Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai-nilai agama semenjak usia dini. Religiusitas akan terbentuk menjadi kristal nilai pada akhir usia anak dan berfungsi pada awal remaja. Kristal nilai yang terbentuknya akan berfungsi menjadi pengarah sikap dan perilaku dalam kehidupannya.

Menurut Clark (dalam Abdullah, 2006, 89-90) religious conscience adalah the inner experience of the individual when he senses a Beyond, especieally as evidenced by the effect of this experiencec on his behaviour when he actively attemps to harmonize his life with the Beyond (religious concience adalah pengalaman batin dari seseorang ketika dia merasakan adanya Tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika dia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan Tuhan).

2.         Dimensi - dimensi religiusitas
Konsep tentang adanya dimensi Rasa keagamaan memberi pengertian bahwa kehidupan keagamaan memiliki beberapa sisi. Menurut Glock (dalam Abdullah 2006, 90-93) menyebutkan ada lima (5) macam dimensi komitmen keberagamaan, yaitu ritualistic, idiological, experiental, intelectual, dan qoncequetial. Kemudian Verbit (dalam Abdullah 2006, 91) setuju dengan konsep lima dimensi itu, namun dia menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi community. Secara rinci dimensi-dimensi rasa agama dapat diutarakan sebagai berikut:

a.) Religious believe (the ideological/doctrine commitment)
Dimensi rasa percaya yang mengukur seberapa jauh seseorang mempercayai doktrin-doktrin agamanya, misalnya tentang keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, ajaran-ajaranNya, takdirNya. Kepercayaan kepada Tuhan dan sifat-sifatNya merupakan inti pokok dari adanya rasa agama. Kemudian rasa percaya kapada ajaran-ajaran Tuhannya dapat digunakan untuk mengukur kemendalaman dari rasa percaya itu. Misalnya percaya tentang kepada ajaran tentang ajaran kewjiban peribadatan, moral, keadaan kehidupan setelah mati.

b.) Religious practice (the ritualistic commitment)
Dimensi peribadatan yang mengukur seberapa jauh seseorang melaksanan kewajiban peribadatan agamanya, misalnya tentang salat, puasa, dan ibadah wajib lainnya dalam Islam. Khusus untuk pengukuran dimensi ini difokuskan pada pelaksanaan lima (5) rukun Islam, sementara pelaksanaan ibadah sunnah dapat dimasukkan untuk pengukuran dimensi lain, yaitu religious feeling. Sering kali pengukuran peribadatan dapat terjebak dalam pengukuran rutinitas ibadah.

c.)  Religious feeling (the experiental/emotion commitment)
Dimensi perasaan mengukur seberapa dalam (intensif) rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini bisa disebut sebagai esensi keberagamaan seseorang, esensi dimensi transendental, karena dimensi ini mengukur kedekatannya dengan Tuhannya. Pengukuran pada dimensi ini dapat menguatkan pengukuran pada dimensi ibadah. Pengukuran dimensi perasaan dapat dilaksanakan dengan mengamati seberapa sering seseorang merasa doanya diterima, merasa selalu dilihat Tuhan, merasa selalu dekat dengan Tuhan. Bagi orang Islam indikator dalam perilaku dapat diamati pada seberapa sering (keaktifan) dalam menjalankan ibadah sunnah, kekhusukan dalam beribadah, kemendalaman doa, berbaik sangka kepada Allah dan ikhlas menerima segala takdir Allah, dan sebagainya. Dimensi ini akan sangat berasa dampaknya pada orang-orang yang mengalami konvensi agama.

d.) Religious knowledge (the intelektual commitment)
Dimensi pengetahuan atau intelektual mengukur intelektualitas keberagamaan seseorang. Dimensi ini mengukur tentang seberapa banyak pengetahuan keberagamaan seseorang, dan seberapa tinggi motivasi dalam mencari pengetahuan tentang agamanya. Dimensi ini juga mengukur sifat dari intelektualitas keagamaan seseorang, apakah bersifat tertutup (tekstual, doctrinel) ataukah terbuka (kontekstual). Dimensi ini juga dapat untuk mengkur sikap toleransi keagamaan seseorang, baik intern agama (terhadap berbagai pendapat golongan dalam agamanya) atau antar agama (terhadap ajaran lain).

e.)  Religious effects (the concequqntial/ethics commitment)
Dimensi etika atau moral mengukur tentang pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang tidak terkait dengan perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan kesadaran moral seseorang, baik yang terkait dengan moral dalam hubungannya dengan orang lain. Bagi orang Islam pengukuran dimensi etika dapat diarahkan pada ketaatannya terhadap ajaran halal dan haram (makanan, umber pendapatan, hubungan laki-laki dan perempuan), serta hubungan dengan orang lain (baik sangka, agresif, menghargai, memuliakan).

f.)   Community (social commitment)
Dimensi sosial mengukur seberapa jauh seorang pemeluk agama terlibat secara sosial pada komunitas agamanya. Dalam Islam dimensi ini dapat disebut sebagai pengukuran terhadap kesalehan sosial. Dimensi kesalehan sosial dapat digunakan untuk mengukur konteribusi seseorang bagi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, baik berwujud tenaga, pemikiran, maupun harta.

Keenam dimensi keberagamaan ini bisa menjadi dasar dalam mengetahui perkembangan dan rasa keagamaan yang dimiliki seseorang. Hal ini karena enam dimensi ini adalah bentuk ekspresi dari keagamaan seseorang berdasarkan pada aspek-aspek dalam keberagamaan. 

3.         Perkembangan religiusitas
Tahap-tahap perkembangan rasa agama menurut susilaningsih (makalah disampaikan pada pekuliahan Psikologi Agama, 2010) adalah:

Pertama, tahap pembentukan adalah tahap dimana masuk dan mengkristalnya nilai-nilai agama, berupa nilai-nilai dasar, dan ditunjukan dengan adanya tugas-tugas keagamaan, tahap ini berada pada usia anak.

Para ahli psikologi dari berbagai mazhab, seperti psikoanalisis, behavioris, dan humanis sepakat bahwa pada masa bayi dan masa kanak-kanak awal amatlah penting dan membawa pengaruh yang terbawa terus dalam struktur kepribadian. Sebab menurut Gleason (Crapps, 1994, 14) unsur-unsur keagamaan mendasar tertanam pada masa tahap-tahap awal pertumbuhan Psikososial dan keparalelan antara tugas psikososial dan konsep religious sangat penting. Crapps (1994, 14) mengatakan bahwa dalam pengalaman hubungan antar  pribadi dengan keluarga, anak belajar pertama kali isi emosional iman religious. Pengalaman tentang konsep agama awal ini lebih berpengaruh ketimbang pendidikan agama yang sadar dikemudian hari.

Menurut Jalaluddin (2003, 70-73) ada beberapa sifat-sifat agama pada masa kanak-kanak, yaitu bersifat unreflektive (tidak mendalam), anthromorphis (konsep ketuhanan yang menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan), imitative (diperoleh melalui meniru), verbalis-ritualis (belajar mengucapkan kalimat-kalimat keagamaan dan kebiasaan), rasa heran (keheranan secara lahiriah saja). Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ramayulis (2007, 54-58).

Kedua, tahap pengembangan adalah tahap dimana mulai berfungsinya nilai-nilai dasar keagamaan kedalam konteks kehidupan dan pemaknaan nilai-nilai agama yang akan memberi rasa aman sebagai solusi kegoncangan jiwa, tahap ini berada pada usia remaja. Menurut Ramayulis (2007, 58) tahap perkembangan masa remaja menduduki tahap progresif yang mencakup masa: Juvenilitas (adolescantium), pebertas, dan nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama bagi remaja mengikuti perkembangannya itu. Maksudnya penghayatan dan tindakan keagamaan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan perkembangannya itu.

Menurut W. Starbuck (Jalaluddin, 2003, 74-77) perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya, perkembangan itu antara lain adalah:
a.       Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik lagi bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran-ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka juga tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

Pada masa remaja sifat kognitifnya berubah, dimana pada masa kanak-kanak mereka menerima nilai-nilai agama secara kongkrit, namun pada masa remaja mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai kongkrit tersebut karena pola kognitif mereka berkembang ke arah nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Rochmah, 2005, 57-58) bahwa ada empat fase perkembangan kognitif, yaitu:

1.      Fase sensori motorik, yaitu aktivitas kognitif yang didasarkan pada pengalaman langsung panca indera. Aktivitas belum menggunakan bahsa, sedangkan pemahaman intelektual muncul di akhir fase ini.
2.      Fase praoperasional, yaitu anak tidak lagi terikat pada lingkungan sensori, kesanggupan menyimpan informasi semakin besar. Anak suka meniru orang lain dan mampu menerima khayalan dan suka bercerita tentang hal-hal yang fantastis.
3.      Fase operasi kongkrit, yaitu anak mulai berfikir logis, bentuk aktivitas dapat ditemukan dengan peraturan yang berlaku. Karena anak masih berfikir harfiah sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan padanya.
4.      Fase operasional formal, yaitu anak telah mampu mengembangkan pola-pola berfikir formal, logis, rasional, bahkan abstrak, mampu menangkap arti simbolis, kiasan, dan menyimpulkan suatu berita, dan sebagainya.

Menurut hasil penelitian Allport, Gillesphy, dan Young (Jalaluddin, 2003, 74-75) menunjukan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak mempengaruhi remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.

b.      Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religious akan cenderung mendorong dirinya ke arah yang religious pula. Sebaliknya remaja yang kurang mendapatkan siraman ajaran agama akan cenderung dikuasai oleh nafsu seksualnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Dr. Kinsey (dalam Jalaluddin, 2003, 75 yang mengungkap bahwa 90% remaja di Amerika telah mengenal homoseks dan onani.

c.       Perkembangan sosial
Corak keagamaan pada remaja juga ditandai dengan adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material.

d.      Perkembangan Moral
Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi. Tipe moral yang terlihat pada remaja juga mencakupi:

1.      Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan peribadi.
2.      Adaptive, mengakui situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.      Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4.      Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5.      Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyrakat.

e.       Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaannya boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f.       Ibadah
Bagi sebagian remaja ibadah merupakan hal sepele. Ini bisa dilihat dari ketaantan mereka dalam menjalankan ibadah sehari-hari.

Pada masa remaja dikenal sebagai usia rawan akan agama yang mereka terima. Remaja akan mengalami kehidupan batin yang terombang-ambing (strum and drang). Untuk mengatasi kemelut batin itu. Maka seyogyanya mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan. Para remaja memerlukan tokoh pelindung yang mampu diajak berdialog dan berbagi rasa (Jalaluddin, 2003, 81).

Dari hasil analisis penelitiannya W. Starbuck (Ramayulis, 2007, 61-63) menemukan penyebab timbulnya keraguan dan kebimbangan itu antara lain:

1.      Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
a.       Bagi seorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
b.      Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat menunjukan keraguan daripada pria. Tetapi sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping itu keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.

2.      Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama
Pertentang-pertentangan yang terjadi didalam organisasi keagamaan dan tindak-tanduk pemuka agama yang jauh menyimpang dari nilai-nilai agama akan menimbulkan keraguan pada remaja.

3.      Pernyataan kebutuhan manusia
Manusia memiliki sifat conservative (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul kerguan.

4.      Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa dengan tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterima atau dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan akan ragu dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Islam. Namun, keraguan ini ada yang menimbulkan rasa penasaran dan kemudian mereka berusaha mencari kebenaran dengan memperbandingkan kedua ajaran tersebut. Maka tidak tertutup kemungkinan mereka pindah agama.

5.      Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang sesuai dengan tingkat pendidikan yang ia miliki akan membawa pengaruh sikap terhadap ajaran agamanya. Terutama yang mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi adanya kemampuan mereka menafsirkan ajaran agamanya.

6.      Percampuran agama dan mistik
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangn masyarakat kadang secara tak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktek kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur bagi para remaja.

Keragu-raguan yang demikian itu akan menjurus ke arah konflik dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan kepada masalah pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk dan antara yang benar dan yang salah. Beberapa bentuk konflik yang terjadi antaranya:
a.       Konflik yang terjadi sebagai antara percaya dan ragu.
b.      Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
c.       Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau jauh dari agama.
d.      Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan petunjuk ilahi.

Ketiga, tahap dinamik adalah tahap pematangan dan mulai berpengaruhnya nilai-nilai agama dalam conscience pada seluruh aspek kehidupan (agama sebagai “Way of Loife”), tahap ini berada pada usia dewasa. Menurut Sujanto (dalam Anshari, 1991, 89-90, 94) saat mengakhiri masa adolesen menuju masa dewasa pada umumnya orang akan berusaha menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya, menggariskan jalan hidupnya, bertanggungjawab, dan menghimpun norma-norma sendiri. Berdasarkan gambaran psikis tersebut, maka akan tampak kestabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup yang harus di anutnya atau agama yang harus dianutnya, menandakan bahwa agama yang dianutnya itu sudah berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang dianggap benar dan diperlukan dalam hidupnya.

Kestabilan dalam pandangan hidup keagamaan dan kelakuan religious seseorang bukan berarti bersifat statis, tetapi kestabilan yang dinamis, dimana suatu ketika akan terjadi perubahan-perubahan seiring dengan pengetahuan dan situasi-situasi yang mereka hadapi. Maka ada kemungkinan terjadinya religious konversion (pindah agama) karena seseorang mengalami kebimbangan, keraguan atau konflik. Masalah pendidikan yang melahirkan pemikiran baru atau anggapan bahwa ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan tuntutan masa dan kehidupan.

Zakiah Darajat (dalam Anshari, 1991, 97) mengemukakan faktor-faktor terjadinya konversi adalah karena pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, ajakan dan sugesti, faktor-faktor emosi, dan kemauan.

Keempat, tahap pemeliharaan adalah tahap dimana agama menguasai tujuan dan aktifitas kehidupan (wordly ascetisme). Berada pada usia lanjut, menurut Jalaluddin (2003, 105-106) ciri keberagamaan lanjut usia adalah:
1.      Kehidupan beragama pada lanjut usia sudah mencapai kemantapan.
2.      Meningkatnya kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan relitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Timbulnya rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
5.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat.

        Berdasarkan uraian perkembangan religiusitas di atas, maka James W. Flower (dalam Cremers, 1994, 96, 104, 117, 134, 160, 185, 218) membagi tahap perkembangan iman yang biasanya dilewati orang dalam pertumbuhannya:
1.      Tahap kepercayaan awal dan elementer (primal faith) usia anak 0-2 atau 4 tahun. Ditandai dengan cita rasa yang bersifat praverbal terhadap kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang yang mengasuh dan lingkungan.
2.      Tahap iman intuitif/proyektif (kira-kira umur 4-8 tahun). Dunia diberi arti lewat orang tua dan orang-orang dewasa lain yang berpengaruh, dengan memproyeksikan secara intuitif dengan meniru orang-orang dewasa.
3.      Tahap iman mistis/literal (kira-kira umur 8-12 tahun). Arti dan makna hidup, dunia, manusia diambil dari orang-orang atau kelompok yang diikuti. Iman yang diperoleh dari jemaat berupa kisah-kisah dan ajaran-ajaran suci yang membuat lingkungan hidup, dunia, manusia menjadi bermakna. Kisah dan ajaran itu dimengerti secara harfiah, literal.
4.      Tahap iman sintetis/konvensional (kira-kira umur 12-dewasa). Iman merupakan iman yang menyesuaikan dan mengambil arahnya dari kebiasaan yang ada, yang dipilih secara sadar. Iman itu membuat seimbang berbagai tuntutan yang datang dari kebiasaan-kebiasaan itu menjadi sintesis arti yang dapat dijadikan pegangan.
5.      Tahap iman individual/reflektif-sadar (sesudah umur 17 atau 18 tahun). Iman itu menjadi pola iman yang dipilih secara pribadi dan secara sadar dipisahkan dari harapan orang lain. Iman itu bersifat otonom.
6.      Tahap iman konjungtif (biasanya tengah umur atau sesudahnya). Iman itu menerima pandangan-pandangan yang berlawanan dan tak berhubungan satu sama lain dan membuatnya menjadi pola yang kokoh. Sistem imannya sendiri dipandang ada dalam keterkaitan dengan iman umat manusia.
7.      Tahap iman yang universal (usia lanjut). Iman itu adalah iman orang kudus dimana Yang Akhir, bukan dirinya, dijadikan titik tujuan.

4.         Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan religious conscience
Faktor-faktor perkembangan rasa agama menurut Susilaningsih (makalah Psikologi agama, 2010), yaitu:
a)      Pertama, faktor internal meliputi kodisi awal rasa agama (potensi), perkembangan kognisi, kondisi afeksi (emosi, motif, minat, dan sikap).
b)      Kedua, faktor eksternal meliputi pengalaman dan pengetahuan, pendidikan, dan lingkungan.
c)      Ketiga, faktor proses, yaitu terjadinya berbagai dinamika perkembangan pada masing-masing fase perkembangan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia.

Berdasarkan uraian teori yang penulis kemukakan diatas maka dinamic religious conscience yang dimaksud di dalam makalah ini adalah sekumpulan proses atau tahap-tahap internalisasi nilai-nilai agama seiring dengan perkembangan usia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (diri sendiri) dan faktor eksternal melalui pendidikan, eksperien, pengaruh lingkungan, maupun agama itu sendiri dan faktor-faktor tersebut memungkinkan terjadinya perubahan agama yang bersifat konvesi ke agama yang lain (pindah agama).


Daftar Pustaka

Abdullah, A, dkk. (2006).  Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidispliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.
Anshari, H.M. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Jiwa. Surabaya: Usaha Nasional.
Crapps, R.W. (1994). Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisus.
Cremers, A. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan: Menurut James W. Fowler, Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Daradjat, Z. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Faoziyah, Y. (2010). Hubungan Antara Tingkat Religiousitas Dengan Kecenderungan Perilaku Mengakses Situs Porno Pada Pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) “X” Di Kota Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Hardjanan, A.M. (1995). Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius.
Hardjana, A.M. (2005). Religiositas, Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius.
Ihsanudin, M. (2007). Dinamika Religusitas Pedagang Pasar Buah dan Sayur “Gemah Ripah” Gamping Sleman. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Jalaluddin, H. (2003). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rochmah, E.Y. (2005). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras
Nashori, F. (2005). Potensi-Potensi Manusia: Seri Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susilaningsih. (2010). Makalah Psikologi Agama: Perkembangan Religious Conscience. Makalah tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate