Cari Blog Ini

Minggu, 20 Mei 2012

Hindari "Mencela, Memarahi, Memukul" Ketika Mendidik Anak

Penulis: Syahri Ramadhan, S.Psi



Anak-anak memiliki jiwa yang unik, sehingga menghasilkan perilaku-perilaku yang unik. Ini terlihat dalam keseharian anak saat dia bermain maupun mengungkapkan ekspresi perasaan dan pikirannya dalam sebuah permainan maupun tingkah lakunya. Tidak jarang kita lihat banyak anak yang suka bermain boneka, memelihara binatang seperti burung dan anjing, berlaku manja, meminta dibelikan mainan baru padahal mainan lamanya masih bagus, bahkan sudah menumpuk karena saking banyaknya mainan yang telah dibelikan untuknya. Tidak jarang juga anak akan menangis jika kehendak hatinya tidak terpenuhi.

Kadang, kita sebagai orang dewasa atau orang tua merasa kesal dengan sikap anak yang seperti di atas. Kita gak habis pikir "Anak kok semua keinginannya harus dipenuhi, saya kan lebih tau dari kamu...". Banyak orang tua yang saat menyikapi perilaku dan sikap anaknya. Ada orang tua yang memarahi anaknya, bahkan mencela anaknya karena anaknya susah diatur. Bahkan sunguh lebih ironis lagi jaman sekarang, orang tua tidak segan-segan memukul dan ada yang sampai membunuh anaknya karena tidak tahan dengan tuntutan anaknya. Na'uzubillahi min Dzalik.

Sebuah pelajaran bagi kita para orang tua, orang dewasa, atau guru. Pelajaran yang patut kita tauladani dan kita renungkan, kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita adalah manusia biasa, wajar jika perasaan-perasaan kesal atau jengkel dengan perilaku anak muncul dalam diri kita. Namun, kita harus bisa mengendalikan dan mengontrolnya sehingga perasaan-perasaan tersebut tidak muncul dalam tingkah laku kita. Karena perasaan atau pikiran tidak baik, akan berbahaya jika diungapkan dengan perkataan maupun perbuatan. Kita boleh merasa jengkel dan kesal pada anak, tapi jangan sampai perasaan itu kita wujudkan ke dalam perkataan-perkataan kotor atau celaan terhadap si anak, bahkan sangat tidak boleh lagi jika perasaan-perasaan tersebut sampai diwujudkan ke dalam bentuk perbuatan pemukulan atau menyakiti fisik si anak.

Sekarang kita bercermin kepada Rasulallah Saw, yaitu bagaimana beliau mendidik anak-anak yang ada di sekeliling beliau. Kita mungkin pernah mendengar dalam sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Ibunda A'isyah ra memiliki mainan boneka ketika dia kecil dan pada waktu itu dia sudah menjadi isteri Nabi Saw. Begitu juga dengan Hasan bin Ali, cucu Nabi Saw yang mempunyai seekor anak anjing mainannya. kemudian abu Umair bin Abu Thalhah yang memiliki seekor burung pipit yang menjadi mainannya. Apa yang anda bayangkan dan lakukan jika anda menjumpai hal yang demikian. Apakah anda akan memarahi A'isyah kecil karena memainkan boneka, padahal malaikat tidak akan masuk rumah orang yang ada patung di dalamnya. Atau memarahi Hasan karena dia memelihara anjing yang menjadi penyebab malaikat tidak mau masuk rumah Nabi Saw karena ada anjing di dalam rumahnya. Bahkan juga memarahi Umair karena dianggap menzalimi burung pipit yang seharusnya di biarkan terbang bebas di udara.

Para orang tua yang bijaksana, taukah anda apa yang dilakukan Nabi Saw ketika itu? Nabi Saw tidak melarang A'isyah bermain boneka, bahkan beliau membiarkan teman-teman A'isyah datang ke rumah beliau untuk bermain dengan A'isyah. Beliau juga tidak memarahi Hasan, karena Hasan memelihara anak anjing malaikat tidak mau masuk rumah beliau. Beliau juga tidak memarahi Umair karena memelihara burung pipitnya, hal ini dibiarkan Nabi karena Umair tidak menganiaya burung pipitnya.

Sungguh Rasulallah Saw adalah seorang pendidik (mu'allim) yang sempurna dan wajib untuk kita tauladani. Beliau tidak mencela atau melarang A'isyah, Hasan, dan Umair karena beliau faham bahwa anak-anak seusia mereka sangat butuh sekali dengan mainan. Beliau menyikapi hal ini dengan bijaksana, kebijaksanaan inilah yang wajib kita tauladani. Beliau sangat memahami sekali bahwa anak yang tumbuh dengan kecerian, kebahagiaan, kehangatan, pendidikan yang baik, masa kecilnya bahagia, dan fitrah kekanak-kanakannya terpuaskan nanti akan tumbuh menjadi anak yang siap menghadapi tuntutan sikap, perilaku, norma, aturan pada fase selanjutnya. Karena masa kecil mereka adalah masa kecil yang berbahagia. Hal ini bisa kita lihat pada apa yang dikemukakan Freud, yaitu seorang tokoh aliran psikoanalisis yang lebih menekankan fase-fase perkembangan manusia kepada pengalaman-pengalaman bawah sadar. Dimana, Freud dalam salah satu teorinya mengatakan bahwa ketidakmatangan pada fase awal perkembangan manusia akan mempengaruhi proses perkembangan ada fase selanjutnya. Misalnya interpretasi psikologis mengatakan bahwa orang yang candu rokok, diakibatkan fase oralnya tidak terpuaskan.

Dalam sebuar riwayat dari Anas ra bahwa Nabi saw tidak pernah mencela ataupun memarahi Anas ra. Berikut pengakuan Anas ra dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabul Adab no. 5578, dan Muslim Kitabul Fadhail no. 4269, dan selain keduanya.

"Aku telah melayani Rasulallah saw selama 10 tahun. Demi Allah, Beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikkan kepadaku, tidak pernah menanyakan, "mengapa engkau melakukannya?"' "dan tidak pula pernah menanyakan "Mengapa engkau tidak lakukan?". (HR. Bukhari dan Muslim).

Di hadis lain Anas ra juga mengatakan bahwa:

"Tidaklah sekali-kali Beliau memerintahkan sesuatu kepadaku, kemudian aku menangguhkan pelaksanaannya atau menyia-nyiakannya, lalu beliau mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku, justru Beliau membelaku; "Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan terjadi, pastilah akan terjadi". (HR. Ahmad).

Pendidikan yang diajarkan Rasulallah Saw adalah pendidikan yang mampu menumbuh kembangkan kecerdasan emosional (Emotional Quotient), kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), kecerdasan berfikir (Inteligence to Think), dan kecerdasan sosial (Social Quotient). Kalau saya boleh menyebutnya, kesemua kecerdasan itu adalah kecerdasan kenabian (Prophetic Inteligence).

Terakhir saya mengutip sebuah nasihat Al-Ghazali dari buku "Tahap Mendidik Anak, Tauladan Rasulallah Saw". Sehubungan dengan pendidikan anak Imam Al-Ghazali mempunyai nasehat yang luar biasa.

"Jangan ada banyak mengarahkan anak didik Anda dengan celaan setiap saat, karena sesungguhnya yang bersangkutan akan menjdai terbiasa dengan celaan. Akhirnya, ia akan bertambah berani melakukan keburuan dan nasehat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik selalu bersikap menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak didiknya. Untuk itu, jangan sering mencelanya, kecuali hanya sesekali saja, dan hendaklah sang ibu mempertakuti anaknya dengan ayahnya serta membantu sang ayah mencegah anak dalam melakukan keburukan. (Ihya' 'Ulumuddin juz 3).

Wallahu A'alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate