Penulis: Syahri Ramadhan, S.Psi
Realita yang
terjadi saat ini manusia di dunia menganut berbagai macam agama, seperti kita
mengenal umat Kristen, umat Katholik, umat Islam, umat, Hindu, umat Budha, umat Shinto dan sebagainya.
Selain agama juga berkembang berbagai keyakinan-keyakinan diluar agama yang
jumlah penganutnya tidak kalah banyak dengan jumlah penganut agama, secara
garis besar keyakinan ini digolongkan ke dalam animisme dan dinamisme.
Keberagaman agama di dunia menghasilkan suatu
fenomena unik, yaitu konversi agama atau perpindahan kepemelukan agama dari
agama satu ke agama yang lainnya, misalnya pindah agama dari Kristen ke Hindu,
Hindu ke Islam, dan seterusnya. Fenomena konversi agama bukanlah hal yang baru,
bahkan di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa konversi agama sudah terjadi sejak
zaman Nabi Ibrahim as. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kalam Allah (QS.
Al-an’am [6] : 76-78).
$£Jn=sù
£`y_
Ïmøn=tã
ã@ø©9$#
#uäu
$Y6x.öqx.
(
tA$s%
#x»yd
În1u
(
!$£Jn=sù
@sùr&
tA$s%
Iw
=Ïmé&
úüÎ=ÏùFy$#
ÇÐÏÈ $£Jn=sù
#uäu
tyJs)ø9$#
$ZîÎ$t/
tA$s%
#x»yd
În1u
(
!$£Jn=sù
@sùr&
tA$s%
ûÈõs9
öN©9
ÎTÏöku
În1u
úsðqà2V{
z`ÏB
ÏQöqs)ø9$#
tû,Îk!!$Ò9$#
ÇÐÐÈ $£Jn=sù
#uäu
}§ôJ¤±9$#
ZpxîÎ$t/
tA$s%
#x»yd
În1u
!#x»yd
çt9ò2r&
(
!$£Jn=sù
ôMn=sùr&
tA$s%
ÉQöqs)»t
ÎoTÎ)
ÖäüÌt/
$£JÏiB
tbqä.Îô³è@
ÇÐÑÈ
“Ketika
malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia
berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia
berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu,
pastilah aku Termasuk orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka
tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (QS.
Al-An’âm [6]
: 76-78).
Ibnu Katsir
mengatakan bahwa Allah membukakan
pandangan hati Ibrahim, agar ia semakin yakin dengan kebesaran Allah. Sebelum
menemukan Tuhan, hati Ibrahim dipenuhi dengan kegelisahan dan gersang. Kemudian
Ibrahim berikhtiar mencari Tuhan, ketika dia melihat bintang, bulan, dan
matahari dia katakan bahwa itu adalah Tuhannya. Tapi ketika semuanya itu tenggelam, dia mengatakan
bahwa dia tidak suka dengan yang tenggelam. Sampai kemudian Allah memberikan
hidayah kepada Ibrahim sehingga ia melihat keagungan Allah dan beriman kepada Allah. Ibrahim
menemukan ketenangan dengan berserah diri kepada Allah dan berlepas diri dari
bintang-bintang, bulan dan matahari sebagai sesembahan (Ad-Dimasyqi, 2000).
Konversi agama terjadi di berbagai negara di
belahan dunia. Salah satu konversi agama yang banyak terjadi adalah konversi ke
agama Islam. Dari data yang peneliti dapatkan bahwa pelaku konversi ke agama
Islam di negara-negara Eropa, seperti Francis mengalami peningkatan jumlah
muallaf dari 30 sampai 40 ribu di tahun 2003 yang dipicu oleh tragedi serangan
terhadap World Trade Centre (WTC), mereka bertanya-tanya tentang apakah
yang dikatakan Al-Qur’an, apakah yang diwajibkan terhadap seorang Muslim dalam
menjalani kehidupannya. Hal ini kemudian menimbulkan ketertarikan secara
alamiah setelah mereka mengetahui tentang ajaran Islam (sumber: Harun Yahya. Diunduh 8 agustus 2011. http://www. harunyahya. com/ indo/artikel /067.htm. Islam: Agama Yang Berkembang Paling
Pesat Di Eropa).
Di Inggris agama Islam termasuk agama yang
diminati banyak manusia sebagai tempat konversi dari agama sebelumnya yang
mereka anut. Menurut hasil penelitian yang berjudul “A Minority Within A Minority : A Report on Converts to Islam in the United Kingdom”, diperkirakan terdapat sebanyak 100 ribu warga Inggris
dari berbagai latar belakang etnis yang mengonversi agamanya ke Islam. Angka
itu memperlihatkan peningkatan tajam dibandingkan jumlah warga yang menjadi
mualaf sebanyak 60 ribu orang pada 2001 ( sumber : Budi Raharjo, di unduh
tanggal 6 Maret 2011, http://moeflich. wordpress.com /2011/01/09/ berbondong
-bondong- menjadi-mualaf/).
Umat beragama di Amerika juga banyak melakukan
konversi agama seperti yang dikatakan Hillary Rodham Clinton (dalam Los Angeles Times) mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling cepat
berkembang di Amerika, panduan dan pilar stabilitas bagi banyak orang Amerika. Bahkan
Robert Morey dalam bukunya Islamic
Invasion tidak bisa mengelak untuk menyebut Islam sebagai The World’s Fastest Growing Religion atau
agama yang paling cepat berkembang di dunia, meski dia menghujat Islam dalam
bukunya tersebut (Pihasniwati, 2007).
Di Indonesia konversi agama juga banyak terjadi karena
Indonesia merupakan negara yang mengakui berbagai macam agama yang di sahkan
secara hukum dan Undang-Undang Negara Indonesia. Undang-Undang Negara Indonesia
mengakui lima agama besar, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Khonghucu
serta keyakinan-keyakinan yang berkembang di luar agama. Abdullah (1996) mengatakan bahwa agama pertama di
Indonesia adalah agama Hindu dan Budha, kemudian masuknya agama Islam menjadi
proses awal terjadinya konversi agama, diikuti oleh perkembangan agama Krsiten
yang di bawa oleh pedagang dari Eropa pada abad 16.
Data dari sebuah lembaga yang khusus mengurus muallaf
mengatakan bahwa di Indonesia diperkirakan
peningkatan jumlah mulaf mencapai 10 sampai 15 persen setiap tahunnya. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Syafii Antonio, penasehat Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Walaupun belum ada data yang valid sebab belum
ada sistem pelaporan bila ada orang yang pindah agama dan memeluk Islam.
Sedangkan angka kasar jumlah muallaf dari PITI di awal tahun 2010 mencapai
lebih satu juta orang (sumber: Muslim Tionghoa, di unduh 12 Maret 2011, http://www.topix.com /forum/ world/ indonesia / T5EMQH2
NKR9 D3L180.
Jumlah Mallaf di Indonesia Meningkat 10 -15% Setiap Tahunnya).
Melihat lebih dekat perkembangan muallaf di Indonesia,
maka bisa kita lihat pada lembaga-lembaga atau yayasan yang menaungi para
muallaf. Di beberapa wilayah di Indonesia terdapat beberapa lembaga atau
yayasan yang berhubungan dengan muallaf, misalnya Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia (PITI), Al-Muhtadin, Pondok Diklat Mualaf Al-Hawariyyun, Yayasan
Ukhuwah Mualaf (YAUMU), dan lain-lain.
Salah satu dari lembaga atau yayasan ini yang dianggap
paling eksis adalah YAUMU (Yayasan Ukhuwah Muallaf), dimana YAUMU selain
mendidik muallaf dalam hal aqidah juga membantu muallaf mengatasi kesulitan
ekonomi, misalnya dengan memberikan bantuan modal usaha bagi muallaf yang
kehilangan pekerjaan mereka. Selain itu YAUMU juga memiliki pembinaan rutin
terhadap muallaf minimal satu kali dalam seminggu, dan melakukan kerjasama
dengan beberapa daerah di Yogyakarta untuk mengadakan pembinaan terhadap para
muallaf. Sampai saat ini sudah lebih dari 200 orang muallaf yang di Islamkan di
YAUMU, ini belum termasuk muallaf di beberapa wilayah binaan YAUMU lainnya.
Para muallaf binaan YAUMU terdiri dari latar belakang agama yang berbeda, misalnya Kristen
Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, dan lain-lain (hasil
interview dengan salah seorang pengurus YAUMU).
Fenomena mualaf, seperti yang dialami para muallaf
merupakan salah satu fenomena sosial dan keberagamaan yang menarik untuk
diteliti, karena muallaf memiliki pengalaman dan latar belakang yang berbeda
sebelum mereka memutuskan untuk memeluk Islam. Hal ini, sangat berkaitan dengan
masalah psikologis manusia disebabkan mualaf mengalami perubahan drastis dalam kehidupannya
baik dalam hubungannya secara vertical (hablumminalah) maupun
hubungannya secara horizontal (hablumminannas). Sehingga peneliti tertarik meneliti
fenomena muallaf dalam paradigma psikologi.
Dari data pre-eliminery yang peneliti dapatkan
dari dua orang muallaf dari sebuah hasil wawancara kepada muallaf FK dan Sap.
FK mengatakan “Saya mengalami keraguan, saya memaki-maki agama saya.
kok, agama tidak menjawab permasalahan hidup saya. Kemudian saya sempat menjadi
ateis, saya tidak percaya Tuhan, suka mabuk-mabukan. Tapi seiring waktu saya mencoba mempelajari
islam, sekarang saya tidak lagi mabuk-mabukan.”
Pengakuan FK di atas tidak berbeda jauh dengan apa
yang dikatakan Sap tentang proses konversi agama yang dia alami. Sap mengatakan
bahwa “Sebenarnya saya sejak SD sudah tidak suka dengan aktivitas dalam
agama saya, bahkan ketika SMP saya sudah mulai ikut-ikutan dengan teman saya
salat jumat di masjid. Orang tua saya tidak tahu, karena kalau
mereka tahu pasti mereka marah. Namun pada waktu itu saya juga masih tetap
aktif menjadi aktivis di gereja”.
Pengakuan muallaf FK dan Sap tersebut membuktikan
bahwa konversi agama yang terjadi
mengalami proses mental yang sangat rumit. Konversi agama membuat kehidupannya
berubah, yang berawal dari ketidakpuasannya terhadap keyakinan lamanya yang
tidak bisa menjawab persoalan hidupnya, kemudian dia mencari jawabannya dengan
menjadi melakukan konversi ke agama Islam. Setelah memeluk Islam dia mulai
merubah kehidupannya sebagai wujud jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
tidak dijawab oleh agama yang dia peluk sebelumnya.
Kerumitan proses
konversi agama juga terlihat dalam perjalanan seorang Willibordus Romanus
Lasiman dalam menemukan
Islam. Dia mengaku menemukan Islam
melalui dialog-dialognya dengan sahabat muslimnya. Awalnya dia berdialog dengan
seorang sahabatnya dari IAIN Sunan Kalijaga, dia kalah. Kemudian Lasiman
memperdalam ilmu agamanya di lingkungan Kristen Protestan, karena Kristen Katolik kalah dalam ilmu tafsir Alkitab. Dari hasil
perolehan ilmu disitu dia ajak lagi temannya untuk dialg, kalah lagi,
kesimpulannya Injil sukar dibuktikan secara Ilmiah. mulai ada perasaan ingin
masuk Islam dalam dirinya, namun dia masih tekun menjalankan ajaran Katholik.
Tidak sampai disitu, Lasiman kemudian belajar ilmu kebatinan dan perdukunan,
tapi Ilmu tersebut selalu bermuara kepa Islam. Akhirnya Lasiman belajar kepada
salah seeorang ulama, dari situ kemudian dia memutuskan untuk memeluk Islam
(Muaz, 2002).
Menurut paradigma psikologi, dapat dikatakan bahwa
perubahan keyakinan atau perubahan agama seperti yang terjadi pada muallaf di
atas bukanlah suatu hal yang terjadi secara kebetulan saja, dan tidak pula
merupakan pertumbuhan yang wajar, akan tetapi adalah suatu kejadian yang
didahului oleh berbagai proses dan kondisi yang dapat diteliti dan dipelajari
(Darajat, 2005). Hal ini menunjukan bahwa
keberagamaan sangat erat kaitannya dengan keadaan psikologis manusia. Lebih
memperjelas lagi, Moreno (1989) mengatakan bahwa kepercayaan beragama merupakan
sekumpulan jawaban yang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau penafsiran atas
kekuatan-kekuatan gaib terhadap berbagai pertanyaan mendasar yang ditimbulkan
oleh akal fikiran manusia. Kepercayaan beragama memberikan jawaban yang
beraneka-ragam dalam sifat dan ruang lingkup batas wilayahnya.
Lebih
lanjut Moreno (1989) mengatakan bahwa kepercayaan merupakan penerapan kongkrit
nilai-nilai yang kita miliki. Karena itu orang yang berpegang teguh pada
nilai-nilai yang sama dapat saja berbeda dalam hal bagaimana cara menerapkan
nilai-nilai tersebut, mereka bisa jadi memiliki kepercayaan yang berbeda. Kemudian
agama akan muncul sebagai akibat kemampuan manusia untuk mempertanyakan segala
macam pertanyaan yang kemudian manusia tidak dapat memberi jawaban yang
bersifat rasional dengan memuaskan. Maka jelas, bahwa proses pencarian manusia
terhadap suatu agama yang mereka yakini kebenarannya sangatlah panjang, dan
kemungkinan besar akan terjadi konversi agama.
Proses pencarian
agama ini bisa kita lihat pada orang-orang yang melakukan konversi ke agama
Islam atau muallaf. Ahmad
Yamani (Jalaluddin & Ramayulis, 1993) mengemukakan bahwa tatkala Allah
membekali insan itu dengan nikmat berfikir dan daya penelitian, diberinya pula
rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya
disamping rasa ketakutan terhadap kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal
inilah yang mendorong insan tadi untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat
melindungi dan membimbingnya di saat-saat yang gawat.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Jalaluddin
(2002) bahwa para ahli psikologi berpendapat yang menjadi pendorong terjadinya
konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern
maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang
atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan
terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa
yang demikian itu secara psikologis kehidupan batin seseorang itu menjadi
kosong dan tak berdaya sehingga mencari pelindungan ke kekuatan lain yang mampu
memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tenteram. Karena pada hakikatnya agama lahir untuk
pembebasan dari penderitaan menuju kedamaian hisup (Asy’arie, 2002).
Proses pencarian
manusia dalam mencari keamanan dan ketenangan batin ini terjadi dengan berbagai
bentuk dan proses yang panjang. Salah satunya adalah dengan menjadi muallaf. Terbukti dengan penelitian
yang dilakukan Pihasniwati (2007) bahwa dalam hasil penelitiannya mengenai
“Fenomena Muallaf : Konversi
Agama Sebagai Pemenuhan Makna Hidup” mengatakan bahwa mereka yang mengalami
keraguan dan kemudian konversi agama, justru berasal dari kalangan non-Muslim
yang taat pada agama mereka terdahulu. Ini berarti, mereka menemukan makna
hidup melalui penghayatan agama. Ketika agama yang mereka yakini mereka ragukan
kebenarannya, ada usaha (komitmen) untuk menemukan makna itu kembali dalam
ajaran agama yang lain, hingga pilihan mereka jatuh pada Islam.
Hasil penelitian Pihasniwati (2007) membuktikan
bahwa konversi agama akan membuat kehidupan seseorang akan ikut merubah perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang dia
anut. Karena nilai-nilai dan norma agama akan sangat mempengaruhi mereka
dalam menjalankan kehidupan mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Abraido-Lanza, Vasquez, dan Echeverrina (Diponegoro, 2007) bahwa perilaku yang
terdapat di dalam ajaran Islam atau Qur’an dan Hadits, misalnya berdoa, dan Brown
dan Ryan (Diponegoro, 2007) menambahkan kekhusyu’an menunjukan hasil yang
positif terhadap perilaku individu.
Hal di atas Allah gambarkan di dalam kalamNya (QS. Al-Qalam
[68] : 35:
ã@yèôfuZsùr& tûüÏHÍ>ó¡çRùQ$# tûüÏBÌôfçRùQ$%x. ÇÌÎÈ
“Maka apakah patut Kami
menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang
kafir).” (QS. Al-Qalam [68] : 35).
Beberapa contoh
pribadi luar biasa yang kita hafal namanya seperti Umar bin Khatab, Abu Bakar
Ash-Shiddiq, dan para sahabat nabi lainnya merupakan pelaku konversi agama yang
mengalami perubahan kehidupan secara luar biasa dibanding kehidupan mereka
sebelum ber-Islam.
Mengingat bahwa
konversi agama juga melalui beberapa proses mental. Sebagaimana Bainbridge,
Lofton dan Stark (Diponegoro, 2007) menyatukan tradisi dari strained theory dan social influence theory secara kreatif, mengamati bahwa perilaku
konversi agama dimulai dengan ketidakseimbangan, suatu stress, dan ketegangan
pribadi, dan berlangsung dengan kontekstualisasi pengalaman tersebut di dalam
suatu situasi kelompok. Proses konversi mulai dengan tiga predisposisi : (1)
keinginan untuk mencari jawaban tentang misteri, tragedy, dan situasi kehidupan
lewat agama, (2) rasa frustrasi yang berlangsung lama, (3) yang tidak ditemukan
jawabannya atau pemecahannya dari kehidupan keimanan individu. Perasaan-perasaan
ini membuat individu mencari agama lain.
Senyatanya
konversi agama yang dilakukan muallaf
merupakan totalitas perubahan yang terjadi pada diri individu terutama ditinjau
dari faktor psikologisnya.
Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti meninjau proses konversi agama dan pengalaman
religiusitas yang dialami muallaf.
Proses
konversi agama yang dilakukan muallaf, menurut Jalaluddin (1997)
ibarat proses pemugaran gedung, dimana bangunan lama dibongkar dan pada tempat
yang sama didirikan bangunan baru. Artinya konversi agama yang terjadi diiringi
dengan perubahan pada religiusitas yang sudah dimiliki muallaf
selama ini diganti dengan menginternalisasikan nilai-nilai agama baru yang
diyakininya, karena nilai-nilai agama yang selama ini mereka anut tidak sesuai
bahkan bertentangan dengan nila-nilai di dalam agama barunya. Segala bentuk
doktrin, ritual, perasaan, pengetahuan, etika, dan konformitas kelompok yang
selama ini harus diubah dan diganti dengan yang baru.
Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan para ahli psikologi bahwa
religiusitas terbentuk dari kecil yang kemudian mengontrol dan mengarahkan
perilaku individu sesuai dengan agama yang dia miliki pada usia selanjutnya
(Hidayati dan Purnami, 2008) atau mulai mulai berfungsi pada asuai akil baligh
karena sudah memiliki satu set nilai agama (Rochamah, 2005). Pernyataan ini dikuatkan oleh Susilangsih (2010) dia menyebut religiusitas adalah kristal-kristal
nilai agama (religious conscience)
dalam diri manusia yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai-nilai
agama semenjak usia dini. Religiusitas akan terbentuk menjadi kristal nilai
pada akhir usia anak dan berfungsi pada awal remaja. Kristal nilai yang
terbentuk akan berfungsi menjadi pengarah sikap dan perilaku dalam
kehidupannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menurut
Clark (Abdullah, dkk, 2006) bahwa religiusitas adalah pengalaman batin dari
seseorang ketika dia merasakan adanya Tuhan, khususnya bila efek dari
pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika dia secara aktif
berusaha menyesuaikan hidupnya dengan Tuhan. Pengalaman-pengalaman batin
yang dimaksud adalah pengetahuan-pengetahuan disepanjang kehidupan manusia yang
diinternalisasikan sebagai nilai-nilai agama yang menjadi pengontrol dan
pengarah perilakunya.
Religiusitas
memiliki lima macam dimensi keberagamaan yang ada pada setiap manusia, dimensi
ini akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan pengalaman manusia di dalam
menginternalisasi nilai-nilai agama. Menurut Glock dan Stark (Ancok & Suroso,
1995) dimensi religiusitas tersebut adalah dimensi keyakinan (ideologis),
dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan
(eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan
agama (intelektual). Senada dengan itu Verbit (Abdullah, dkk, 2006) setuju
dengan kelima dimensi tersebut, tetapi menurut dia harus ditambah dengan satu dimensi
lagi, yaitu community. Namun, verbit
menyebutkan dimensi-dimensi tersebut dengan istilah yang agak berbeda, yaitu
doktrin (doctrinal), ritual (ritualistic), emosi (emotion), pengetahuan (knowledge), etika atau moral (ethics), dan kumunitas (community).
Keenam
dimensi di atas akan berubah seiring dengan konversi agama yang dilakukan oleh
muallaf. Hal ini disebabkan agama mereka sebelumnya tidak mampu menjawab
persoalan hidup mereka, nilai-nilai agama selama ini yang mereka yakini mulai
mereka ragukan kebenarannya. Pernyataan ini dikuatkan dengan pendapat James
(Crapps, 1993) yang mengatakan bahwa agama-agama tetap hidup dan bertahan
karena amat bermanfaat bagi manusia di bidang hidup dimana manusia mencari
makna bagi hidupnya. Bila tidak membantu pencapaian maksud itu, agama-agama itu
diganti dengan melakukan konversi agama sebagai upaya untuk menjawab pesoalan
hidup dan mencapai kebermaknaan dalam kehidupan manusia.
Senada
dengan pendapat di atas Rogers (Calhoun & Acocella, 1995) setiap orang itu
memiliki pandangan mengenai dirinya saat ini dan diri idelanya, yaitu apa yang
seharusnya dia rasakan. Orang akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang
dirinya. Apabila terjadi ketimpangan antara kenyataan dan harapannya maka akan
terjadi ketidakpuasan, semakin besar ketimpangan tersebut maka ketidakpuasannya
akan semakin besar. Sehingga hal ini membuat orang menjadi sadar dan mencoba
untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Proses
terjadinya konversi agama pada setiap orang akan berbeda-beda sesuai dengan
pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya serta pertumbuhan jiwanya (faktor
internal) (Baharudddin & Mulyono, 2008), sedangkan Sururin (2004)
menyebutnya dengan faktor kepribadian dan pembawaan dan faktor
eksternal adalah faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal,
perubahan status, dan kemiskinan. Hal lain yang mempengaruhi proses konversi
agama, yaitu ajakan dan sugesti dan pengaruh hubungan tradisi agama (Darajat,
2005).
Perubahan kehidupan beragama yang dialami oleh para muallaf
menunjukkan dinamika proses psikologis yang luar biasa. Terutama perubahan religiusitas muallaf yang seharusnya sudah matang sebelum melakukan konversi agama
ke Islam, akan tetapi fakta menunjukan religiusitas yang dibangun sejak dia
lahir hingga ketika dia melakukan konversi agama ke-Islam berbenturan dengan
nilai-nilai agama baru yang mereka anut. Sehingga harus terjadi instalisasi
ulang nilai-nilai agama tersebut. Daftar Pustaka
Abdullah, A, dkk. (2006). Metodologi
Penelitian Agama: Pendekatan Multidispliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
UIN Sunan Kalijaga.
Abdullah, A.M. (1996). Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Ad-Dimasyqi,
Al-Imam Abul fida Ismail Ibnu Katsir. (2000) Tafsir Ibnu Katsir, Edisi
Terjemahan. Bandung: Algesindo.
Al-Maraghi, A.M. (1994). Terjemahan Tafsir
Al-Maraghi: Juz X. Semarang: CV. Toha Putra.
Ancok, D & Suroso, F.N. (1995). Psikologi Islami : Solusi Atas
Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Asy’arie, M. (2002). Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual. Yogyakarta : Lesfi.
Anshari, H.M. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Jiwa. Surabaya: Usaha Nasional.
Baharuddin & Mulyono. (2008). Psikologi Agama Dalam Persfektif Islam.
Malang : UIN Malang Press.
Calhoun, J.F & Acocella, J.R. (1995). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Semarang : IKIP Semarang Press.
Darajat, Zakiah. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
Gani, B.A. dkk. (1992). Al-Qur’an dan Tafsirnya
Jilid IV Juz 10-11-12. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf UII.
Hidayati, W & Purnami, S. (2008). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta :
Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Jalaluddin. (1997). Psikologi Agama. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. (2002). Psikologi Agama. Jakarta : Rajawali Pers.
Jalaluddin. (2003). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. (2010). Psikologi Agama. Jakarta : Rajawali Pers.
Jalaluddin & Ramayulis. (1993). Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta :
Kalam Mulia.
K. Yin, Robert. (2009). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta : Rajawali Pers.
Larry
B. Stammer, Times Religion Writer, “First Lady Breaks Ground With Muslims,” Los Angeles Times, Home
Edition, Metro Section, Part B, May 31, 1996, p. 3.
Moreno, F.J. (1989). Agama dan Akal Fikiran : Naluriah Ras Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi.
Penerjemah : Abdullah, A. Jakarta : Rajawali Pers.
Muaz,
T.A.M. (2002). Kembali ke Pangkuan Islam: Perjalanan Ruhaniah Para Muallaf.
Jakarta: Gema Insani Press.
Munawwir, A.W. (1997). Al Munawwir: Kamus
Bahasa Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
Muslim Tionghoa, http:// www. topix .com /forum /world/ indonesia
/T5EMQH2NKR9D3L180 : Jumlah mualaf Indonesia meningkat
10-15% tiap tahunnya. Di unduh tanggal 12 Maret 2011.
Mustaqien, I. (2006). Konsep Mu’allaf Dalam
Al-Qur’an: Studi Terhadap Tafsir al-Manar Karya M. Rasyid Ridha. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Pihasniwati. (2007). Fenomena Muallaf : Konversi
Agama Sebagai Pemenuhan Makna Hidup., Jurnal
Psikologi Islami, 3, 5, 17-32.
Raharjo, B. Berbondong-Bondong Menjadi Mualaf.
Sumber : http://moeflich.
wordpress.com /2011/01/09/ berbondong -bondong- menjadi-mualaf/).
Di unduh tanggal 6 Maret 2011.
Ramayulis. (2007). Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia.
Rochamah, E.Y. (2005). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Stain Ponorogo dan Teras.
Yahya,
H. http://www. harunyahya. com/ indo/artikel /067.htm. Islam: Agama Yang Berkembang Paling
Pesat Di Eropa. Diunduh 8 Agustus 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar